LOGIN‘Ronn? Apa yang dia lakukan di sana?’Lorong lantai tiga fakultas masih lengang ketika Aerin berhenti melangkah. Pintu ruang dekan terbuka.Ia melihat Ronn keluar dari sana.Bukan tergesa. Bukan panik. Jasnya rapi, langkahnya terukur. Tapi ada sesuatu di bahunya—seperti beban yang baru saja diletakkan, bahu itu sedikit turun.Mata mereka bertemu. Beberapa detik saja. Tidak ada senyum. Tidak ada anggukan. Tidak ada isyarat apa pun yang bisa ditafsirkan sebagai hubungan. Hanya tatapan pendek—dan keputusan diam-diam.‘Bukankah tadi dia bilang ada pergi untuk mempersiapkan sidang perceraian? Apa ini gara-gara foto itu?’ tanya Aerin dalam hati. ‘Tidak. Tidak mungkin secepat itu.’Ronn lebih dulu memalingkan wajah. Ia melangkah pergi tanpa menoleh kembali.Aerin berdiri kaku.“Kenapa Ronn keluar dari ruang dekan?” suara Liz berbisik di belakangnya.Aerin menoleh cepat. “Mungkin soal penelitiannya.”Liz mengangkat bahu. “Sepagi ini? Woahh, dia benar-benar dosen yang berdedikasi tinggi.”Aeri
“Oh, shit.”Aerin terbangun dengan sensasi pahit di ujung lidahnya. Bukan rasa ciuman. Bukan juga panas tubuh Ronn.Alkohol.Aroma itu masih tertinggal di hidungnya—menusuk, getir, membuat perutnya sedikit bergejolak. Ia memejamkan mata, berharap kesadaran akan kembali runtuh, tapi tubuhnya justru mengingat terlalu banyak.Kilasan semalam datang tanpa izin.Napas Ronn yang berat di lehernya. Nada suaranya yang serak, mabuk, nyaris tak terkendali. Cara lidahnya menyentuh lambat, menuntut—seolah tak peduli pada logika, hanya insting.Aerin membalikkan badan dengan cepat. Ada denyut halus yang membuatnya kesal pada dirinya sendiri.“Aku benci bau alkohol,” gumamnya pelan. Tapi tubuhnya tidak sepenuhnya setuju.Bayangan semalam masih teringat jelas…***‘I said quite.’Saat itu, Ronn mengulum paksa bibirnya, bahkan menggigitnya hingga berdarah.Aerin berusaha berontak, mendorong dada Ronn. Tapi perbandingan tubuh besar Ronn dengannya jelas membuat pria itu bergeming.“Kau tidak bisa begit
“Ah, syukurlah dia datang bersama Anda. Kalau tidak, saya tidak tahu bagaimana mengantarnya pulang,” ucap Samuel begitu memastikan Ronn sudah duduk dengan nyaman di kursi belakang mobil.“Ah, maaf karena saya belum mendapatkan lisensi mengemudi,” jawab Aerin sambil sedikit menunduk.Samuel melambaikan tangannya untuk memberikan tanda jika itu tidak masalah.“Saya mengerti. Anda baru pindah beberapa bulan dari Indonesia, jadi—” Samuel berdehem saat melihat reaksi terkejut Aerin. “Dr. Nathaniel banyak menceritakan tentang Anda.”Ekspresi terkejut Aerin bertambah ketara.“Kenapa?” Aerin tak bisa menahan rasa penasarannya, kenapa pengacara perceraian Ronn tahu tentang dirinya.“Ah, kami saling mengenal sudah lama. Walaupun tidak begitu dekat. Complicated.” Samuel tersenyum canggung.Aerin mengangguk mengerti, mungkin karena sudah lama saling mengenal, Ronn menjadi lebih nyaman berbicara tentang hal di luar pekerjaan dengan pria ini. Apalagi saat Aerin memperhatikan, sepertinya mereka berd
The Old Pages meredup, menyisakan cahaya hangat yang memantul di dinding kayu tua. Suara percakapan perlahan mereda ketika Aerin melangkah ke tengah panggung kecil, mikrofon sudah berada di tangannya.Ia menarik napas.Nada pertama mengalun pelan—rendah, nyaris berbisik.Di sudut ruangan, Ronn duduk diam dengan segelas minuman yang tak disentuhnya sejak tadi. Pandangannya terkunci pada Aerin sejak ia naik ke panggung. Cara gadis itu berdiri. Cara bahunya terangkat setiap kali ia menarik napas sebelum masuk ke bait berikutnya.Dan bibir itu.Ronn menelan ludah.Bibir Aerin bergerak mengikuti lirik, lembut dan penuh kontrol. Terlalu mudah baginya untuk mengingat bagaimana bibir itu pernah menempel di bibirnya. Bagaimana Aerin berhenti di tengah ciuman, terengah, seolah takut pada apa yang akan terjadi jika ia melanjutkan.Nada suara Aerin naik, memenuhi ruangan. Ada sesuatu yang rapuh di sana. Sesuatu yang jarang ia perlihatkan di kelas. Di rumah Ronn. Atau di rumah Nenek.Ronn mengepal
“Kau kelihatan capek.”Aerin mengangkat wajahnya dari buku catatan. “Hah? Oh. Tidak. Aku baik-baik saja.”Liz menyandarkan punggung ke bangku taman, tepat di depan gedung fakultas. “Kau selalu bilang begitu akhir-akhir ini.”“Apa maksudmu?” Aerin menutup bukunya perlahan.“Tidak tahu,” sahut gadis itu santai. “Kau lebih pendiam. Tapi nilaimu justru naik. Aneh.”Aerin tersenyum kecil. Musim telah berganti. Sejak kepergian Ronn malam itu dari rumah Nenek, Aerin jarang bertemu dengannya. Aerin juga enggan bertanya. Ia takut terlalu masuk ke ranah pribadi pria itu.Aerin lebih memilih kembali ke ritme kampusnya. Pagi-pagi yang dimulai dengan teh Chamomile hangat, siang yang dihabiskan di kampus, dan sore yang sering berakhir di The Old Pages—Aerin kembali bekerja paruh waktu di sana. Ia hadir di kelas. Ia mencatat. Ia menjawab pertanyaan dosen dengan cukup percaya diri. Nilainya stabil, bahkan cenderung membaik.Semua orang akan mengatakan ia baik-baik saja. Dan mungkin, di permukaan, itu
Rumah itu ternyata benar jauh lebih luas dari yang Aerin bayangkan.Langit-langit tinggi, lorong-lorong panjang dengan karpet tebal, dan dinding yang dipenuhi lukisan keluarga—wajah-wajah asing yang menatapnya dari masa lalu. Aerin berjalan di antara Evelyn dan Elinor, langkahnya sedikit tertinggal, matanya sibuk menyerap setiap detail. Rumah ini bukan sekadar besar; ia penuh sejarah. “Bagian ini jarang dipakai,” ujar Evelyn sambil menunjuk koridor yang lebih redup. “Nenek bilang, rumah terlalu besar untuk diisi kenangan yang tidak perlu.”Aerin tersenyum kecil, meski tak benar-benar mengerti maksudnya.Mereka berbelok di sudut lorong, meninggalkan ruang-ruang utama. Suara dari lantai bawah semakin samar, digantikan oleh keheningan yang terasa intim. Di sinilah, Evelyn tiba-tiba mempercepat langkahnya.“Aku mau ambil sesuatu di gudang kecil,” katanya cepat. “Kalian duluan ke ujung lorong.”Aerin sempat membuka mulut untuk bertanya, tapi Evelyn sudah menghilang di balik pintu.Kini ha







