LOGINNapas Ivy yang awalnya naik turun dan begitu terburu-buru berangsur-angsur mulai tenang bersamaan dengan tubuhnya yang terlihat lemas.Damian menggeser posisi, menarik tangannya menjauh dari bagian bawah tubuh Ivy kemudian membawa tubuhnya berdiri.Gadis itu meringkuk di atas kasur. Matanya mulai terpejam kelelahan. Sementara Damian berdiri dengan pandangan lurus melihat telapak tangannya sendiri. Basah.Jakun Damian bergerak menelan ludah, dan dia mengalihkan matanya dari bagian bawah Ivy yang masih terbuka, masih basah, masih terekspos begitu sempurna di sana.Satu tangannya bergerak menaikkan selimut untuk menutupi pemandangan itu. Ivy yang sudah mulai hilang kesadaran menatapnya sambil meraih satu tangan Damian.“Saya harus pindah,” kata Ivy dengan suara sangat pelan, mengantuk.“Kamu bisa tidur di sini.” Damian menjawabnya singkat dan suara itu pun tidak terdengar lagi.Buru-buru Damian mengalihkan pandangannya dari wajah Ivy yang masih berkeringat.Damian melangkah, menghentakka
Damian menggelengkan kepalanya pelan. Berusaha melepaskan tangan Ivy yang memerangkap lehernya.“Saya tidak bisa.” Damian menolaknya halus, tapi Ivy tidak mau juga melepaskan cengkeraman pada lehernya.“Pak ... tolong,” pinta Ivy sekali lagi.“Tidak, Ivy. Kita sudah sepakat untuk tidak melewati batas itu.”Lalu Damian semakin menjauh. Tidak tergapai oleh Ivy. Hal itu membuat Ivy kecewa sambil mencakar-cakar bagian lehernya yang terasa begitu panas.Masing-masing pahanya terus menggesek satu sama lain. Ivy menggigit jemarinya dengan tubuh mengejang, meringkuk, berputar ke sana ke mari dengan tangan yang tidak mau diam.Di tengah keputusasaan itu, Ivy bangun dengan sisa-sisa kekuatannya. “Saya tidak bisa melakukannya di sini. Ranjang bapak akan kotor.”Ivy turun dari ranjang, bermaksud ingin pergi ke kamar mandi, tapi tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai.Damian mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat hal itu. Dibantunya Ivy sampai bisa kembali duduk di ranjang.“Saya bilang saya
Dalam kesadaran yang hampir hilang, samar-samar Ivy melihat wajah familier di tengah keramaian.“Pak Damian?”Damian bergerak. Langkah pasti yang membawa tubuhnya mendekati Ivy dan adiknya. Wajahnya tanpa ekspresi, tatapannya menusuk, seakan membekukan sekelilingnya.Ketika sampai di sofa yang menjadi tempat berpijak dua orang yang sedang bercumbu itu, Damian langsung menarik bagian baju adiknya dari belakang.“Aku tahu bajingan sepertimu tidak akan berubah.”Tubuh itu ditarik kasar oleh Damian. Dipaksa dilepaskan dari Ivy yang lemas dan bergetar di atas sofa.Damian langsung mendorong tubuh Devon ke lantai. Lengan Devon menyapu bagian atas meja. Membuat gelas ikut berhamburan bersamanya.Suara pecahan kaca menarik perhatian semua orang. Tapi bukannya takut, apalagi merasa bersalah, Devon malah menatap Damian dingin.“Aku hampir saja mencicipinya. Kenapa tiba-tiba muncul dan mengganggu kesenanganku seperti ini?” tanyanya tidak berdosa.Satu tangan Damian terayun begitu saja dan langsu
“Aneh bagaimana maksudmu? Itu ‘kan cuma jus biasa.”Devon menggeser posisinya lebih dekat dengan Ivy. Tangannya dengan lembut menyibak rambut Ivy yang menutupi lehernya. Bibirnya menyeringai melihat leher jenjang itu. Putih bersih.Ivy sedikit menegang. Sentuhan Devon terasa seperti sengatan, kulit lehernya terasa begitu sensitif!Menyadari hal yang tak normal, Ivy segera bangun dari posisi duduknya.“Sepertinya aku harus pulang.”Tapi, tangan Ivy disambar dan tubuhnya limbung kemudian jatuh di atas pangkuan Devon."Ada apa? Kenapa buru-buru begitu?"“Devon, aku benar-benar tak nyaman, aku mau pulang …”“Apa yang salah? Katakan padaku,” tanya Devon.Kepalanya pusing, tiba-tiba rasa panas itu bukan hanya ada di leher, tapi menjalar ke seluruh tubuhnya.Saat itulah Ivy sadar bahwa dirinya bukan pertama kali merasakan perasaan aneh tersebut.Minuman yang tadi diteguk olehnya itu, tampaknya mengandung hal yang sama seperti alkohol saat Ivy hampir dilecehkan pelanggan Samson.Bukankah itu
“Menggodamu itu memang sangat mudah. Apa kamu tidak tahu wajahmu sangat memerah sekarang?” Devon terkekeh pelan.Buru-buru Ivy membuka pintu mobil dan langsung meloloskan tubuhnya keluar.Pria itu pasti gila. Bisa-bisanya menggodanya seperti itu.Ivy langsung berlari tanpa menoleh lagi. Memegangi dadanya seolah jantungnya akan meleleh dan keluar dari dada.Rupanya bukan hanya Devon yang gila, tapi dirinya juga. Bagaimana bisa ia salah tingkah hanya karena ucapan Devon? Manis, katanya?Ivy menepuki pipinya yang terasa panas.Clara memanggilnya dari kejauhan ketika Ivy memijak area taman kampus. Gadis itu melambai dan berlari sangat cepat, membuat Ivy balas melambai dan tersenyum kepada temannya itu. Sedangkan Clara langsung menarik tangan Ivy. “Aku sudah sejak tadi menunggumu karena ada hal sangat penting yang ingin aku bicarakan denganmu.”“Soal apa?”“Soal kamu tentu saja. Tidak kusangka aku memiliki teman yang selalu saja menjadi bahan gosipan utama di kampus.”Ivy sama sekali tida
“Kenapa kamu tidak akur dengan Pak Damian? Bukankah kalian saudara?”Devon diam cukup lama. Fokusnya tidak pecah sedikit pun dengan jalanan di depannya.“Kepribadian kita berbeda. Mungkin kamu tahu. Damian itu orang yang serius dan punya tujuan untuk masa depannya, sementara aku sebaliknya.”Ivy merasa itu masuk akal. Damian memang sangat serius, sedangkan Devon … sangat tengil, seolah semua hal adalah candaan baginya.Mobil terus melaju. Bangunan besar yang sudah Ivy hafal terlihat di depan sana.“Sebaiknya turunkan aku di depan apartemen saja,” kata Ivy.“Kenapa?”Untuk sesaat, Ivy menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Merasa tidak nyaman mengatakan hal itu, tapi lebih baik jujur di awal daripada membuat Devon terus mendatanginya tanpa alasan jelas.“Sebenarnya, setelah kedatanganmu ke kampus waktu itu, Pak Damian memberi pesan kepadaku untuk tidak dekat-dekat denganmu.”Hening untuk sejenak, sampai akhirnya suara tawa Devon memenuhi mobil. Pria itu sampai memukul-mukul setir mobil







