LOGINIvy tanpa sadar mencengkram ponselnya lebih kuat. Tiba-tiba Ivy panik.“Apa maksud Paman, Paman sudah ada di kampus?” Ivy bertanya cemas.“Pikirkanlah sendiri pakai otakmu yang sempit itu. Kamu pikir urusan kita sudah selesai? Tentu belum! Kamu masih harus membayar semua hutangmu!”“Tidak, Paman. Jangan begini. Aku pasti—”“Cepat datang ke sini!” Suara Samson memotong, terdengar lebih tegas.Sebelum Ivy membuka mulutnya, panggilan sudah diputuskan oleh Samson.Ivy segera berlari tanpa mempedulikan Clara yang berteriak memanggil namanya. Ivy keluar dari area kampus. Mencari-cari di tengah beberapa siswa yang juga sudah bersiap pulang sore itu.Saat matanya menangkap Samson beberapa meter dari posisinya, Ivy berhenti melangkah. Pria itu sedang membentak sambil mengcengkram kerah mahasiswa lain!“Beritahu aku di mana Ivana Wilson!”Ivy langsung menghampirinya dan menyambar tangan Samson. Membuat pria itu cepat menoleh kepadanya.“Paman!” Ivy memanggil.Mahasiswa yang barusan ditanyai ole
Malam tadi adalah malam paling gila yang pernah Ivy alami dalam hidupnya. Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam benaknya bahwa dirinya akan melakukan hal ‘itu’ dengan dosennya sendiri.Hanya membayangkannya saja membuat Ivy berulang kali merutuki dirinya. Ciuman Damian, usapan lembut pria itu, jemarinya yang berada di dalam tubuhnya. Ivy refleks menundukkan kepala sambil memegangi bagian di bawah perutnya.Ivy mendongak lantas memandang Damian yang berjalan dari arah dapur ke meja makan. Membawa dua piring berisi lauk sarapan hari itu.Astaga, bagaimana pria itu terlihat begitu tenangnya saat dirinya hampir gila?Seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Itulah ekspresi Damian.“Kenapa diam saja? Kamu bisa memulai sarapannya.” Suara itu pun memecah keheningan dari arah seberang.Ivy berdeham sambil mengangkat tangannya ke atas meja. Berusaha merapatkan pahanya.Mereka mengambil porsi masing-masing untuk mengisi piring mereka.Ivy berkata, “Saya sudah mengganti sprei di kamar Bapak. S
Napas Ivy yang awalnya naik turun dan begitu terburu-buru berangsur-angsur mulai tenang bersamaan dengan tubuhnya yang terlihat lemas.Damian menggeser posisi, menarik tangannya menjauh dari bagian bawah tubuh Ivy kemudian membawa tubuhnya berdiri.Gadis itu meringkuk di atas kasur. Matanya mulai terpejam kelelahan. Sementara Damian berdiri dengan pandangan lurus melihat telapak tangannya sendiri. Basah.Jakun Damian bergerak menelan ludah, dan dia mengalihkan matanya dari bagian bawah Ivy yang masih terbuka, masih basah, masih terekspos begitu sempurna di sana.Satu tangannya bergerak menaikkan selimut untuk menutupi pemandangan itu. Ivy yang sudah mulai hilang kesadaran menatapnya sambil meraih satu tangan Damian.“Saya harus pindah,” kata Ivy dengan suara sangat pelan, mengantuk.“Kamu bisa tidur di sini.” Damian menjawabnya singkat dan suara itu pun tidak terdengar lagi.Buru-buru Damian mengalihkan pandangannya dari wajah Ivy yang masih berkeringat.Damian melangkah, menghentakka
Damian menggelengkan kepalanya pelan. Berusaha melepaskan tangan Ivy yang memerangkap lehernya.“Saya tidak bisa.” Damian menolaknya halus, tapi Ivy tidak mau juga melepaskan cengkeraman pada lehernya.“Pak ... tolong,” pinta Ivy sekali lagi.“Tidak, Ivy. Kita sudah sepakat untuk tidak melewati batas itu.”Lalu Damian semakin menjauh. Tidak tergapai oleh Ivy. Hal itu membuat Ivy kecewa sambil mencakar-cakar bagian lehernya yang terasa begitu panas.Masing-masing pahanya terus menggesek satu sama lain. Ivy menggigit jemarinya dengan tubuh mengejang, meringkuk, berputar ke sana ke mari dengan tangan yang tidak mau diam.Di tengah keputusasaan itu, Ivy bangun dengan sisa-sisa kekuatannya. “Saya tidak bisa melakukannya di sini. Ranjang bapak akan kotor.”Ivy turun dari ranjang, bermaksud ingin pergi ke kamar mandi, tapi tubuhnya langsung jatuh terduduk di lantai.Damian mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat hal itu. Dibantunya Ivy sampai bisa kembali duduk di ranjang.“Saya bilang saya
Dalam kesadaran yang hampir hilang, samar-samar Ivy melihat wajah familier di tengah keramaian.“Pak Damian?”Damian bergerak. Langkah pasti yang membawa tubuhnya mendekati Ivy dan adiknya. Wajahnya tanpa ekspresi, tatapannya menusuk, seakan membekukan sekelilingnya.Ketika sampai di sofa yang menjadi tempat berpijak dua orang yang sedang bercumbu itu, Damian langsung menarik bagian baju adiknya dari belakang.“Aku tahu bajingan sepertimu tidak akan berubah.”Tubuh itu ditarik kasar oleh Damian. Dipaksa dilepaskan dari Ivy yang lemas dan bergetar di atas sofa.Damian langsung mendorong tubuh Devon ke lantai. Lengan Devon menyapu bagian atas meja. Membuat gelas ikut berhamburan bersamanya.Suara pecahan kaca menarik perhatian semua orang. Tapi bukannya takut, apalagi merasa bersalah, Devon malah menatap Damian dingin.“Aku hampir saja mencicipinya. Kenapa tiba-tiba muncul dan mengganggu kesenanganku seperti ini?” tanyanya tidak berdosa.Satu tangan Damian terayun begitu saja dan langsu
“Aneh bagaimana maksudmu? Itu ‘kan cuma jus biasa.”Devon menggeser posisinya lebih dekat dengan Ivy. Tangannya dengan lembut menyibak rambut Ivy yang menutupi lehernya. Bibirnya menyeringai melihat leher jenjang itu. Putih bersih.Ivy sedikit menegang. Sentuhan Devon terasa seperti sengatan, kulit lehernya terasa begitu sensitif!Menyadari hal yang tak normal, Ivy segera bangun dari posisi duduknya.“Sepertinya aku harus pulang.”Tapi, tangan Ivy disambar dan tubuhnya limbung kemudian jatuh di atas pangkuan Devon."Ada apa? Kenapa buru-buru begitu?"“Devon, aku benar-benar tak nyaman, aku mau pulang …”“Apa yang salah? Katakan padaku,” tanya Devon.Kepalanya pusing, tiba-tiba rasa panas itu bukan hanya ada di leher, tapi menjalar ke seluruh tubuhnya.Saat itulah Ivy sadar bahwa dirinya bukan pertama kali merasakan perasaan aneh tersebut.Minuman yang tadi diteguk olehnya itu, tampaknya mengandung hal yang sama seperti alkohol saat Ivy hampir dilecehkan pelanggan Samson.Bukankah itu







