Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".
Ternyata selain tengil. Tirta juga gila! "Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~" Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan? Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali. “Lu kenapa sih? Udah gila?!” Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi. “Karena kita bakal ketemu setiap hari. Siapa coba yang bikin aku jadi gila kayak gini kalau bukan kamu?” Astaga, dasar bocil! Tatapan Tirta yang tengil itu membuat Meysi kesal sekaligus gemas. Bagaimana bisa sih kemarin ia mau bercinta dengan berondong gila itu? "Jangan bawa-bawa gue ke dalam kesintingan lo," dengus Meysi sambil menyambar naskah dari meja asisten produser. “Beneran. Udah kayak vitamin C. Liat lo aja bikin jantung gue sehat.” “Kemarin lo bilang liat gue bikin jantung deg-degan. Gak konsisten.” “Ya, itu karena deg-degannya sehat. Ngerti, dong? Kayak abis jogging, tapi tanpa olahraga. Walaupun... olahraga bareng kamu lebih seru.” Seluruh kru riuh menyoraki mereka berdua. Meysi nyaris tertawa menahan malu, tapi ia memilih mempertahankan muka datarnya. Tirta itu... menyebalkan. Tapi jenis menyebalkan yang jika tidak ketemu sehari, seperti ada yang kurang. Menyebalkan, tapi membuat ketagihan. Gila. Meysi pasti sudah gila! Sampai akhirnya Meysi duduk di bangku kru, dan mendapati naskah revisi dari semalam belum diketik ulang. Ia menahan napas. Belum juga seminggu, tim barunya sudah mulai membuat Meysi sakit kepala. Tirta muncul dari ruang rias dan mendekat sambil membawa dua cup kopi. Kemudian satu cup tersebut ia sodorkan. Meysi memandangi cup kopi itu sambil menghela napas. Tirta sudah memakai baju normal untuk syuting, sepertinya ia sudah mulai menyadari posisinya. “Ini buat teteh yang selalu kerja keras padahal mukanya kayak butuh cuti dua minggu.” Meysi menatapnya, curiga. “Ada racun nggak?” “Ada, dicampur air gue. Soalnya kemarin teteh minum-" “Tirta, udah ya. Jangan sampe ini kopi gue lempar!” Tapi kopi tetap Meysi ambil. Dan tanpa sadar ia teguk sampai setengah. Semenjak Tirta hadir di hidupnya, Meysi merasa waktu berjalan dengan sangat cepat. Sial, mendengar pernyataan Tirta, ia jadi ingat kelakuannya sendiri terhadap Tirta. Jika tak salah Tirta menolak karena belum pernah melakukan. Tapi ia memaksa. M-E-M-A-K-S-A! "Tuh diminum. Gak jijik?" tanya Tirta terkekeh. "Gimana kalau beneran?" “Lo gak capek ya, Tir? Dari tadi yapping mulu.” “Capek, sih. Tapi gue lebih capek waktu gue koma dua bulan. Itu beneran kayak gelap semua. Nah, pas bangun, gue mimpi diri gue nyanyi di panggung, terus ada satu perempuan di bangku penonton... nangis. Tapi senyum. Dan Teteh tau nggak?” “Apa? Jangan bilang... mukanya mirip gue.” “Enggak. Karena itu emang lo.” Meysi melotot. “YA KALI MUKA GUE MASUK MIMPI ORANG KOMA.” “Ya 'kan mimpi gak kenal logika. Tapi serius, Teh. Dari sejak sadar, gue ngerasa hidup itu pendek banget. Jadi gue bilang ke nyokap: ‘Gue gak mau ngurusin saham dulu, gue mau nyanyi.' Dan finally kita ketemu.” Olala. Meysi hampir melupakan fakta yang satu ini. Tirta Linggabuana adalah pewaris utama Lingga Group yang merupakan orang terkaya ke tiga di Indonesia dan kelima se-Asia Tenggara. Justru karena itulah Tirta terkenal, anak orang kaya yang memilih karir sebagai penyanyi. Sial, kenapa Meysi lupa hal ini? Ia telah masuk ke jurang yang sangat berbahaya! Tidur dengan seorang pewaris. Ini gila! “Nyokap lo gak jantungan denger permintaan lo?” “Nyokap gue? Oh dia pikir itu cuma fase. Sampai akhirnya sekarang dia pasrah. Yang penting gue gak balik koma. Jadi, semua terserah gue.” Meysi terdiam. Itu... dalam. Di balik gaya tengil dan manja Tirta, ternyata ada luka yang diam-diam membuat dia lari ke panggung, tapi tetap saja. Seharusnya janda anak satu tidak terlibat dengan lelaki seperti Tirta. “Jadi sekarang lo hidup buat mimpi?” “Dan buat orang yang ada di mimpi itu.” Meysi langsung berdiri. Tidak sanggup melanjutkan pembicaraan. “GUE KE TOILET.” Tapi Tirta malah mengikuti Meysi ke arah toilet sambil terus berbicara. Sepertinya, MBTI Tirta ini ENFP. Energinya tidak habis-habis! “Teh, kamu tau gak? Kamu itu kerja terlalu keras. Bikin skrip, handle talent, handle produser nyebelin. Dan kamu masih bisa senyum kayak gak ada beban. Padahal dari awal ketemu, mata kamu udah kayak panda patah hati.” “Thanks, Tir. Gue merasa seperti maskot kebun binatang.” ujar Meysi yang mulai lelah menanggapi. “Serius! Makanya gue punya solusi buat semua masalah itu." Meysi berhenti, curiga. Apalagi hal ajaib yang akan Tirta katakan? "Apa tuh?" tanya Meysi serius. “Resign aja.” jawab Tirta enteng. Meysi menautkan kedua alisnya. “Hah?” “Resign aja. Gue yang kerja. Lo santai di rumah, atau jalan-jalan ke Cappadocia, atau jadi brand ambassador teh herbal buat emak-emak keren. Gue biayain semua. Beres, kan? Atau mau bisnis berlian, skincare, makanan, apapun itu beres, duit gue banyak.” ujar Tirta lantang. Meysi mengerjapkan mata dan tertawa terbahak-bahak. Astaga, seenteng itukah tuan muda di hadapannya bicara? “Lu pikir gue piaraan sultan apa? Gila lu ya. Gue gak ada pikiran buat jadi ani-ani!" “Bukan piaraan, emang kambing? Ini namanya pendamping hidup. Kalo lo capek, sini gue aja yang kerja. Kan enak tinggal nerima duit, anakmu juga gue nafkahin sampe S2." Meysi mendekat ke arah Tirta. Ia kemudian melipat tangannya di depan dada. “Tirta, kita baru kenal SEMINGGU. Dan lo udah nyuruh gue resign buat jadi cewek simpanan lu?” tanya Meysi dengan nada penuh penekanan. “Simpanan apa sih? Gue mau lo bahagia. Itu aja.” Meysi tertawa makin keras. Tapi di sela-sela tawanya, ada satu sudut hatinya yang tiba-tiba... hangat. Tidak pernah ada yang menawari dirinya untuk istirahat. Tidak pernah ada yang bilang “biar aku aja yang kerja.” termasuk mantan suaminya sendiri. Semua selalu bilang, “Meysi harus kuat,” “Meysi harus tahan,” “Meysi ibu tunggal, gak boleh lemah.” Lalu sekarang ada bocah tengil umur dua puluhan, anak orang kaya, penyanyi dadakan yang baru seminggu dia kenal... berkata hal yang tak pernah ia dengar seumur hidup. “Kalau lo beneran kaya... lo punya apa sih?” tanya Meysi mulai putus asa. Tirta membuka ponselnya. Geser-geser. Tunjuk satu foto: rumah tiga lantai ala Bali modern. “Villa di Ubud. Ada infinity pool. Atas nama gue pribadi, penghasilan perbulan sekurang-kurangnya 2M lah.” Foto lain: mobil sport warna merah cabe, silver, putih, hitam, dan biru. “Ini kebanyakan diparkir. Gue naik ojek lebih cepet. Ada lima kalau ga salah, hadiah dari kolega Papa.” Foto lain: tiket konser Coldplay, empat baris depan. “Gue beli cuma buat nonton satu lagu, ‘Fix You’, terus pulang.” Meysi geleng-geleng kepala. Benar... Tirta kaya raya dan ia hanya "gabut" untuk menjadi penyanyi. Jika demikian, harusnya Meysi tidak terlibat karena "strata" mereka berbeda! “Hidup lo udah sangat beruntung, Tir.” “Dan akan makin beruntung kalau lo ikut di dalam hidup gue.” Tepat saat itu, ponsel Meysi bunyi. Telepon dari ibunya. Meysi bergegas mengangkat telepon itu dan mengabaikan Tirta sejenak. “Iya, Ma?” Terdengar suara anak kecil di latar belakang. “Ma, Naya rewel nyariin kamu. Katanya dia kangen, terus gambar kamu di tembok pakai krayon.” Meysi diam. Hatinya langsung meleleh. “Ya ampun... Naya...” “Pulang agak sorean, ya? Dia minta ditemenin nonton kartun. Katanya mama sekarang sibuk terus.” Setelah telepon ditutup, Tirta diam-diam mendekat. “Naya, nama anak lo?” Meysi mengangguk. “Umur lima tahun. Pinter, cerewet, keras kepala... persis kayak bapaknya.” “Yee... giliran sifat jelek nyalahin bapaknya." komentar Tirta sambil terkekeh. "Gue boleh ketemu dia suatu hari nanti gak?” Meysi menatap Tirta lekat-lekat. “Buat apa?” “Gue penasaran aja... dia secerewet lo gak?” “Lo bakal kabur ketakutan, sumpah.” “Enggaklah. Gue suka anak kecil. Apalagi kalau dia keturunan orang yang gue suka.” Deg! Gawat. Telinga Meysi panas. Jantungnya mulai main marching band. “GUE MAU BALIK KE RUANG KERJA!” “Gue ikut!” “GAK USAH!” Tapi Tirta tetap mengikutinya di belakang. Dan dari jauh, para kru studio mulai berbisik-bisik sambil menyeringai. Hal itu baru pertama kali terjadi karena Meysi terkenal kurang ramah pada lawan jenis. “Eh, liat deh, si janda cantik dikuntit sama Fanboy-nya.” “Fanboy? Itu mah ngebet jadi suami." Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak menjadi janda, Meysi tidak peduli orang mau bilang apa. Sepertinya, Tirta memang harus hadir mewarnai hidupnya.Kota Paris... ya, kota yang selalu berhasil membuat siapa pun jatuh cinta. Malam itu, lampu kota berpendar di sepanjang jalan Champs-Élysées, berkilauan seperti ribuan bintang yang turun ke bumi. Romantis dengan suasana sedikit glommy tapi tetap indah saat ditapaki.Meysi berdiri terpaku di depan butik besar yang namanya hanya pernah ia dengar dari televisi. Walaupun ia penulis dengan nama "besar" tapi Meysi sendiri pun belum pernah berbelanja atau menyambangi tempat tersebut.“Ayo masuk,” suara Tirta terdengar ringan, tapi tangannya sudah menarik lembut tangan Meysi.“Tirta… kamu serius mau belanja di sini?” Meysi ragu, menoleh ke papan harga kecil di kaca display yang membuat matanya membelalak. Mahal banget woi! Harga sebuah gantungan kunci di sana bisa membeli sebuah rumah di Bandung timur.Pemuda itu hanya menyeringai, senyum nakal khasnya muncul. Ia kemudian melingkarkan tangannya di bahu Meysi, seperti kawan akrab.“Kamu pikir aku ajak kamu ke Paris cuma buat jalan-jalan doang
Langit Paris sore itu berwarna oranye keemasan, membalut kota dengan nuansa hangat dan romantis, yaaa kurang lebih sama seperti narasi orang-orang yang menceritakan bagaimana romantisnya kota tersebut. Mobil hitam berlogo mewah berhenti di depan hotel bintang lima yang berdiri megah di jantung kota. Tirta turun lebih dulu, lalu memutar untuk membukakan pintu Meysi. Meysi yang hampir saja tertidur langsung membuka mata ketika mereka tiba.“Selamat datang di Paris, Madame Tirta,” ujar Tirta dengan senyum menggoda."Huaaah udah sampe tah sayang?" tanya Meysi sambil mengucek mata."Udah cintaku... bobok di kamar aja yuk, kita masuk?"Meysi melangkah keluar, matanya terbelalak melihat interior hotel yang berlapis marmer putih, lampu kristal berkilauan, dan karpet merah tebal. Meysi yang setengah mengantuk itu terlihat berbinar-binar, entah bermimpi apa dirinya bisa menginjakkan kaki ke tempat semewah itu.“Astaga, Ayang… ini hotel atau istana?” tanya Meysi seperti anak kecil yang tengah k
Langit sore di bandara pribadi itu berwarna jingga keemasan ketika Tirta menggenggam tangan Meysi, membimbingnya menuju sebuah jet putih berkilau dengan logo kecil berbentuk bintang di ekornya. Ada logo bernama, 'Tirta' di sana yang terlihat sangat mewah dalam sekejap pandangan.Meysi berhenti sejenak, matanya membesar.“Ayang… ini… jet pribadi punya kamu?!"Tirta hanya terkekeh, matanya menyipit nakal. Ia kemudian menganggukkan kepalanya.“Nggak usah kaget gitu. Aku kan nggak bilang kalau aku miskin sejak awal ngejar Teteh.”Meysi memukul pelan pipinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tirta memang kaya, tapi ia tidak berekspektasi bila Tirta benar-benar sekaya itu!Bila sudah sekaya itu, kenapa ia memilih susah-susah jadi penyanyi? Ah baik... passion, itulah kira-kira jawabannya.“Tapi… aku beneran nggak nyangka. Aku pikir kita naik pesawat komersial kayak orang normal.” ujar Meysi.“Kalau ada cara yang lebih nyaman, kenapa nggak?” Tirta menariknya masuk, membukaka
Ruang keluarga terasa hening, hanya suara televisi yang memutar breaking news memenuhi udara. Di layar, wajah Prabu Linggabuana muncul singkat sebelum diganti visual ruang sidang. Tirta duduk di sofa sambil menggigit ujung jempolnya.Pembawa berita membacakan putusan dengan suara tegas, “Majelis hakim memutuskan hukuman penjara selama dua tahun kepada terdakwa Prabu Linggabuana dalam kasus korupsi dana investasi. Sementara itu, Kusumadewi, istri terdakwa, dinyatakan bebas karena tidak terbukti terlibat.”Tirta duduk di ujung sofa, rahangnya mengeras. Ia tidak bergeming hingga berita berlanjut pada liputan protes masyarakat di depan gedung pengadilan. Sejumlah poster bertuliskan Hukum Koruptor Setimpal! terguncang di tangan massa. Kenangan masa lalu bergulir, seketika Tirta gemetar karena kejadian masa lalu hingga membuatnya koma itu seakan terputar dalam benaknya.Menakutkan. Tirta benci sekali kenangan itu bergulir.Tanpa berkata apa-apa, Tirta meraih remote dan mematikan televisi. W
Notifikasi ponsel Meysi tak berhenti berbunyi sejak pagi. Setiap kali ia membuka layar, deretan berita dan postingan tentang konser terakhir Tirta memenuhi timeline. Foto-foto saat Tirta menggamit tangannya, bernyanyi tepat di depannya, hingga menciumnya di tengah sorotan lampu, tersebar ke seluruh penjuru jagat maya.Hashtag #TirtaMeysiLoveStory, #KonserTerakhirTirta, dan #LookUpAtTheStars menjadi trending di berbagai platform. Media gosip mengulasnya dari semua sudut, sementara akun-akun fanbase Tirta saling berdebat—ada yang patah hati, ada yang baper, ada pula yang masih denial.Meysi duduk di sofa ruang tengah, memegang ponsel sambil menggulir komentar-komentar netizen. Beberapa membuatnya terkejut, beberapa membuatnya tak tahan tertawa."Kok mereka bisa-bisanya mereka bahagia di atas penderitaan aku?""Kursi Indomaret mana yang harus aku kunjungi Mas Tirtaaaaaa😭""Oh gitu. Btw, langgeng-langgeng sampai maut memisahkan. Oh iya kenalin, aku maut🙂""Guys, tanya keadaan aku sekar
Lampu-lampu panggung menyala terang, membanjiri arena dengan warna-warna memukau. Sorakan penonton menggetarkan udara panas Jakarta di Istora Senayan. Berbondong-bondong fans Tirta datang dengan pakaian tercantik mereka, berfoto di vanue, berfoto di foto Tirta yang sangat besar dan lain sebagainya."Foto dulu Mbak!"Siti mengantar Meysi hari itu, sementara Naya bersama Ibu Meysi. Meysi mengenakan rok manis terusan berwarna pink seperti mic yang dipakai Tirta, ia sangat cantik dengan rambut panjang hitamnya yang diikat setengah menggunakan pita. Wajahnya dirias ala igari yang tentunya menonjolkam kecantikan Meysi yang memang sudah cantik. Bahkan beberapa fans Tirta mengajak Meysi foto bersama karena ia sangat bersinar dengan pakaian itu."Ini mah, Tirtanya juga pasti naksir sama Mbak!" celetuk salah satu fans yang berfoto.Meysi hanya menyeringai sambil melirik Siti yang cekikikan mendengar itu. Bukan hanya naksir, fansnya saja tidak tahu jika Tirta selalu 'menyusu' setiap kali mereka