Beranda / Romansa / Cintai aku, Berondong! / Gak Usah Kerja, Aku Aja Yang Kerja

Share

Gak Usah Kerja, Aku Aja Yang Kerja

Penulis: ARCELYOS
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-07 13:20:18

Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".

Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!

"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"

Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?

Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.

“Lu kenapa sih? Udah gila?!”

Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.

“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Siapa coba yang bikin aku jadi gila kayak gini kalau bukan kamu?”

Astaga, dasar bocil! Tatapan Tirta yang tengil itu membuat Meysi kesal sekaligus gemas. Bagaimana bisa sih kemarin ia mau bercinta dengan berondong gila itu?

"Jangan bawa-bawa gue ke dalam kesintingan lo," dengus Meysi sambil menyambar naskah dari meja asisten produser.

“Beneran. Udah kayak vitamin C. Liat lo aja bikin jantung gue sehat.”

“Kemarin lo bilang liat gue bikin jantung deg-degan. Gak konsisten.”

“Ya, itu karena deg-degannya sehat. Ngerti, dong? Kayak abis jogging, tapi tanpa olahraga. Walaupun... olahraga bareng kamu lebih seru.”

Seluruh kru riuh menyoraki mereka berdua. Meysi nyaris tertawa menahan malu, tapi ia memilih mempertahankan muka datarnya. Tirta itu... menyebalkan. Tapi jenis menyebalkan yang jika tidak ketemu sehari, seperti ada yang kurang. Menyebalkan, tapi membuat ketagihan. Gila. Meysi pasti sudah gila!

Sampai akhirnya Meysi duduk di bangku kru, dan mendapati naskah revisi dari semalam belum diketik ulang. Ia menahan napas. Belum juga seminggu, tim barunya sudah mulai membuat Meysi sakit kepala.

Tirta muncul dari ruang rias dan mendekat sambil membawa dua cup kopi. Kemudian satu cup tersebut ia sodorkan. Meysi memandangi cup kopi itu sambil menghela napas. Tirta sudah memakai baju normal untuk syuting, sepertinya ia sudah mulai menyadari posisinya.

“Ini buat teteh yang selalu kerja keras padahal mukanya kayak butuh cuti dua minggu.”

Meysi menatapnya, curiga.

“Ada racun nggak?”

“Ada, dicampur air gue. Soalnya kemarin teteh minum-"

“Tirta, udah ya. Jangan sampe ini kopi gue lempar!”

Tapi kopi tetap Meysi ambil. Dan tanpa sadar ia teguk sampai setengah. Semenjak Tirta hadir di hidupnya, Meysi merasa waktu berjalan dengan sangat cepat. Sial, mendengar pernyataan Tirta, ia jadi ingat kelakuannya sendiri terhadap Tirta. Jika tak salah Tirta menolak karena belum pernah melakukan.

Tapi ia memaksa. M-E-M-A-K-S-A!

"Tuh diminum. Gak jijik?" tanya Tirta terkekeh. "Gimana kalau beneran?"

“Lo gak capek ya, Tir? Dari tadi yapping mulu.”

“Capek, sih. Tapi gue lebih capek waktu gue koma dua bulan. Itu beneran kayak gelap semua. Nah, pas bangun, gue mimpi diri gue nyanyi di panggung, terus ada satu perempuan di bangku penonton... nangis. Tapi senyum. Dan Teteh tau nggak?”

“Apa? Jangan bilang... mukanya mirip gue.”

“Enggak. Karena itu emang lo.”

Meysi melotot.

“YA KALI MUKA GUE MASUK MIMPI ORANG KOMA.”

“Ya 'kan mimpi gak kenal logika. Tapi serius, Teh. Dari sejak sadar, gue ngerasa hidup itu pendek banget. Jadi gue bilang ke nyokap: ‘Gue gak mau ngurusin saham dulu, gue mau nyanyi.' Dan finally kita ketemu.”

Olala. Meysi hampir melupakan fakta yang satu ini.

Tirta Linggabuana adalah pewaris utama Lingga Group yang merupakan orang terkaya ke tiga di Indonesia dan kelima se-Asia Tenggara. Justru karena itulah Tirta terkenal, anak orang kaya yang memilih karir sebagai penyanyi. Sial, kenapa Meysi lupa hal ini? Ia telah masuk ke jurang yang sangat berbahaya!

Tidur dengan seorang pewaris. Ini gila!

“Nyokap lo gak jantungan denger permintaan lo?”

“Nyokap gue? Oh dia pikir itu cuma fase. Sampai akhirnya sekarang dia pasrah. Yang penting gue gak balik koma. Jadi, semua terserah gue.”

Meysi terdiam. Itu... dalam. Di balik gaya tengil dan manja Tirta, ternyata ada luka yang diam-diam membuat dia lari ke panggung, tapi tetap saja. Seharusnya janda anak satu tidak terlibat dengan lelaki seperti Tirta.

“Jadi sekarang lo hidup buat mimpi?”

“Dan buat orang yang ada di mimpi itu.”

Meysi langsung berdiri. Tidak sanggup melanjutkan pembicaraan.

“GUE KE TOILET.”

Tapi Tirta malah mengikuti Meysi ke arah toilet sambil terus berbicara. Sepertinya, MBTI Tirta ini ENFP. Energinya tidak habis-habis!

“Teh, kamu tau gak? Kamu itu kerja terlalu keras. Bikin skrip, handle talent, handle produser nyebelin. Dan kamu masih bisa senyum kayak gak ada beban. Padahal dari awal ketemu, mata kamu udah kayak panda patah hati.”

“Thanks, Tir. Gue merasa seperti maskot kebun binatang.” ujar Meysi yang mulai lelah menanggapi.

“Serius! Makanya gue punya solusi buat semua masalah itu."

Meysi berhenti, curiga. Apalagi hal ajaib yang akan Tirta katakan?

"Apa tuh?" tanya Meysi serius.

“Resign aja.” jawab Tirta enteng.

Meysi menautkan kedua alisnya.

“Hah?”

“Resign aja. Gue yang kerja. Lo santai di rumah, atau jalan-jalan ke Cappadocia, atau jadi brand ambassador teh herbal buat emak-emak keren. Gue biayain semua. Beres, kan? Atau mau bisnis berlian, skincare, makanan, apapun itu beres, duit gue banyak.” ujar Tirta lantang.

Meysi mengerjapkan mata dan tertawa terbahak-bahak. Astaga, seenteng itukah tuan muda di hadapannya bicara?

“Lu pikir gue piaraan sultan apa? Gila lu ya. Gue gak ada pikiran buat jadi ani-ani!"

“Bukan piaraan, emang kambing? Ini namanya pendamping hidup. Kalo lo capek, sini gue aja yang kerja. Kan enak tinggal nerima duit, anakmu juga gue nafkahin sampe S2."

Meysi mendekat ke arah Tirta. Ia kemudian melipat tangannya di depan dada.

“Tirta, kita baru kenal SEMINGGU. Dan lo udah nyuruh gue resign buat jadi cewek simpanan lu?” tanya Meysi dengan nada penuh penekanan.

“Simpanan apa sih? Gue mau lo bahagia. Itu aja.”

Meysi tertawa makin keras. Tapi di sela-sela tawanya, ada satu sudut hatinya yang tiba-tiba... hangat. Tidak pernah ada yang menawari dirinya untuk istirahat. Tidak pernah ada yang bilang “biar aku aja yang kerja.” termasuk mantan suaminya sendiri. Semua selalu bilang, “Meysi harus kuat,” “Meysi harus tahan,” “Meysi ibu tunggal, gak boleh lemah.”

Lalu sekarang ada bocah tengil umur dua puluhan, anak orang kaya, penyanyi dadakan yang baru seminggu dia kenal... berkata hal yang tak pernah ia dengar seumur hidup.

“Kalau lo beneran kaya... lo punya apa sih?” tanya Meysi mulai putus asa.

Tirta membuka ponselnya. Geser-geser. Tunjuk satu foto: rumah tiga lantai ala Bali modern.

“Villa di Ubud. Ada infinity pool. Atas nama gue pribadi, penghasilan perbulan sekurang-kurangnya 2M lah.”

Foto lain: mobil sport warna merah cabe, silver, putih, hitam, dan biru.

“Ini kebanyakan diparkir. Gue naik ojek lebih cepet. Ada lima kalau ga salah, hadiah dari kolega Papa.”

Foto lain: tiket konser Coldplay, empat baris depan.

“Gue beli cuma buat nonton satu lagu, ‘Fix You’, terus pulang.”

Meysi geleng-geleng kepala. Benar... Tirta kaya raya dan ia hanya "gabut" untuk menjadi penyanyi. Jika demikian, harusnya Meysi tidak terlibat karena "strata" mereka berbeda!

“Hidup lo udah sangat beruntung, Tir.”

“Dan akan makin beruntung kalau lo ikut di dalam hidup gue.”

Tepat saat itu, ponsel Meysi bunyi. Telepon dari ibunya. Meysi bergegas mengangkat telepon itu dan mengabaikan Tirta sejenak.

“Iya, Ma?”

Terdengar suara anak kecil di latar belakang.

“Ma, Naya rewel nyariin kamu. Katanya dia kangen, terus gambar kamu di tembok pakai krayon.”

Meysi diam. Hatinya langsung meleleh.

“Ya ampun... Naya...”

“Pulang agak sorean, ya? Dia minta ditemenin nonton kartun. Katanya mama sekarang sibuk terus.”

Setelah telepon ditutup, Tirta diam-diam mendekat.

“Naya, nama anak lo?”

Meysi mengangguk.

“Umur lima tahun. Pinter, cerewet, keras kepala... persis kayak bapaknya.”

“Yee... giliran sifat jelek nyalahin bapaknya." komentar Tirta sambil terkekeh. "Gue boleh ketemu dia suatu hari nanti gak?”

Meysi menatap Tirta lekat-lekat.

“Buat apa?”

“Gue penasaran aja... dia secerewet lo gak?”

“Lo bakal kabur ketakutan, sumpah.”

“Enggaklah. Gue suka anak kecil. Apalagi kalau dia keturunan orang yang gue suka.”

Deg!

Gawat. Telinga Meysi panas. Jantungnya mulai main marching band.

“GUE MAU BALIK KE RUANG KERJA!”

“Gue ikut!”

“GAK USAH!”

Tapi Tirta tetap mengikutinya di belakang. Dan dari jauh, para kru studio mulai berbisik-bisik sambil menyeringai. Hal itu baru pertama kali terjadi karena Meysi terkenal kurang ramah pada lawan jenis.

“Eh, liat deh, si janda cantik dikuntit sama Fanboy-nya.”

“Fanboy? Itu mah ngebet jadi suami."

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak menjadi janda, Meysi tidak peduli orang mau bilang apa. Sepertinya, Tirta memang harus hadir mewarnai hidupnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintai aku, Berondong!   Dua Garis Merah

    Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.Delapan hari terlambat.Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa m

  • Cintai aku, Berondong!   Serendah Itukah Janda?

    Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”Tirta menoleh deng

  • Cintai aku, Berondong!   Hah, Suami Orang?

    Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.Memang Tirta suami orang? Ah masa?Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.Klarifikasi kentut!“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T

  • Cintai aku, Berondong!   Dunia Kita Berbeda

    Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.“Naya sayaaang!”Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, arom

  • Cintai aku, Berondong!   Gak Usah Kerja, Aku Aja Yang Kerja

    Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.“Lu kenapa sih? Udah gila?!”Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Sia

  • Cintai aku, Berondong!   Berondong Gila

    Suara ketukan itu bukan ilusi. Pintu kamar masih tertutup, tapi suara berat dan tegas di baliknya sudah cukup untuk membuat jantung Meysi nyaris copot.Sial."HRD?!" Ia berbisik keras pada Tirta. "Gue bakal dipecat! Mati gue! Artis sama penyelenggara gak boleh punya hubungan!"Tirta, bukannya panik, malah menyeringai sambil menarik kaus putih yang tergulung di lantai."Kalem, Teh. Kita gak bunuh orang. Cuma... tidur sambil berhubungan intim.""TIDUR SAMBIL—lu pikir ini lelucon?!" tanya Meysi panik."Sedikit."Meysi buru-buru meraih baju, celana, apa pun yang bisa dikenakan tanpa terlihat seperti habis... ya, habis ngapa-ngapain. Tirta malah bersiul sambil berkaca di pintu lemari. Seakan tidak punya masalah.Ketukan makin keras. Meysi keluar dari toilet setelah membersihkan diri."Meysi Pitaloka, ini menyangkut etika profesional. Kami tahu Anda di dalam!" ujar orang di luar kamar semakin keras.Meysi menelan ludah. Ia hampir tidak bisa menarik napas. Dengan langkah pelan tapi tegas, ia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status