Home / Romansa / Cintai aku, Berondong! / Dunia Kita Berbeda

Share

Dunia Kita Berbeda

Author: ARCELYOS
last update Last Updated: 2025-06-07 13:39:45

Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.

Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.

“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.

Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.

“Naya sayaaang!”

Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.

“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.

“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, aroma minyak telon yang lembut, dan suara rengekan kecil di telinga Meysi membuat air mata menumpuk diam-diam.

“Kalau Mama sibuk terus, aku minta satu mama lagi, boleh nggak?” tanya Naya polos.

Meysi tersentak pelan.

“Maksudnya?”

“Aku lihat di YouTube, ada anak yang punya dua mama. Satu mama yang kerja, satu mama yang main sama dia. Jadi mamanya dibagi dua!”

Meysi menahan napas.

“Kalau Mama tambah satu lagi, nanti Mama yang ini gimana?”

Naya memandang serius.

“Ya... Mama yang ini istirahat aja. Tidur. Biar Mama satunya main boneka bareng aku.”

Dan di detik itu, tangis yang Meysi tahan meleleh pelan. Ia peluk putrinya lebih erat, seolah tak akan pernah melepaskan lagi. Di kepalanya terngiang kalimat Tirta:

"Resign aja. Gue kerja, lo istirahat."

Malam itu Mama Naya sudah pulang karena jarak rumah mereka berdekatan. Saat Naya tertidur di pangkuan, ponsel Meysi berbunyi. Nama Tirta muncul di layar.

Dengan ragu, Meysi angkat.

"Ya... Tirta?"

“Teh... kamu di rumah?” tanya Tirta dengan suara lembutnya.

“Udah. Naya lagi tidur sehabis makan malam.” jawab Meysi sambil mengelus kepala putrinya. "Kenapa?"

“Gue... di luar. Bawa sesuatu. Boleh masuk?”

Meysi menoleh ke jendela dan benar saja, Tirta berdiri di depan gerbang kecil, membawa kantong belanjaan besar dan—entah kenapa—sebuah boneka beruang sebesar bantal guling. Darimana lelaki itu tahu kediamannya?!

Ia membukakan pintu tanpa banyak kata. Sosok Tirta yang fashionable itu tersenyum manis sekali. Yaa... rada mirip Bon Jovi versi muda tapi lebih Asia dan lebih ganteng

"Halo cantik." ujar Tirta. "Gue bawa boneka, lucu gak?"

“Tirta... ini rumah, bukan taman kanak-kanak.”

“Ini buat Naya bukan buat Teteh,” katanya sambil mengangkat boneka. “Gue liat boneka ini dan mikir... ‘ini anak lo banget, Teh. Gede, keras kepala, tapi lucu.’”

Meysi tertawa pelan. Ia bisa melihat ketulusan di kedua mata Tirta.

“Lo niat banget ya.”

“Gue juga bawa makanan. Ada mie goreng, ayam goreng, ada salad, ada pudding... Eh, lo gak alergi buah naga, kan?”

“Enggak. Tapi gue alergi cowok tengil.”

“Sayang banget. Soalnya gue udah niat jadi yang tengil khusus buat lo.”

Mereka duduk di ruang tamu. Tirta melihat sekeliling, matanya menyapu tumpukan mainan di pojok ruangan, rak buku yang hampir roboh, dan dinding dengan coretan krayon warna-warni.

“Ini... rumah kecil. Tapi hangat,” katanya.

“Hangat karena gak ada AC,” timpal Meysi, membuat Tirta tertawa.

Beberapa saat mereka hanya diam, hingga akhirnya Tirta membuka suara.

“Teh... boleh gue jujur?”

Meysi mengangguk, menatapnya lekat.

“Gue nggak tahu apa ini gila atau bukan, tapi... gue seneng banget setiap deket lo. Lo beda. Gak ada basa-basi, gak ada drama. Lo kuat. Tapi lo juga capek. Dan itu bikin gue pengen jagain lo seumur hidup.”

“Tirta... kita beda umur enam tahun. Lo baru mulai hidup. Gue udah lewatin badai. Gue janda, punya anak. Dunia lo sama dunia gue tuh... kayak Pluto sama Jakarta. Jangan sampai lo ambil keputusan salah karena kita udah ngelewatin satu malam bersama.” terang Meysi.

“Kalau gue bisa nyampe ke Pluto, gue ke sana. Asal ada lo di situ.” jawab Tirta enteng.

Dan mata itu, yang biasanya jenaka dan manja, sekarang serius. Jujur.

“Lo bilang gue lucu sepanjang malam. Tapi perasaan gue gak lucu. Gue emang mimpi punya keluarga kecil. Gak gede-gede amat. Tapi cukup. Lo, Naya, dan... kucing kalau bisa.” ujar Tirta sambil duduk dan bersandar.

Meysi menunduk. Adegan berubah jadi mellodrama.

“Lo gak tau apa-apa tentang jadi ayah.”

“Gue gak pernah jadi ayah. Tapi gue bisa belajar. Gue udah ngelewatin koma, Teh. Hampir mati. Sekarang... gue cuma pengen hidup buat sesuatu yang berarti.”

Suara kecil dari balik pintu tiba-tiba memotong percakapan.

“Mama?”

Mereka menoleh bersamaan. Naya berdiri mengucek mata, rambut acak-acakan, memakai baju tidur bergambar kelinci.

“Naya sayang...” Meysi berdiri.

Anak itu melihat Tirta.

“Om ini siapa?”

Tirta langsung berjongkok, senyum lebar.

“Om Tirta. Penyanyi ganteng yang suka ganggu Mama kamu sampe marah. Salam kenal Nayaaa.”

Naya memiringkan kepala.

“Om yang di TV itu ya?”

“Wah, kamu nonton TV terus ya? Kok tahu?”

“Enggak. Mama bilang jangan sering-sering. Tapi aku liat Om nyanyi... lucu banget!"

Tirta tertawa.

“Lucu kayak siapa?”

“Kayak anak embek.”

Meysi nyaris jatuh juga... karena menahan tawa.

“Naya, sini,” panggil Meysi. “Om Tirta cuma mampir sebentar. Bersikap sopan ya?”

Tapi Naya berjalan ke Tirta dan duduk di pangkuannya. Spontan. Seolah mereka sudah kenal lama. Tirta terkejut, lalu tersenyum, memeluk gadis kecil itu hati-hati.

“Om bawa boneka buat kamu,” katanya, mengeluarkan beruang besar dari kantong. "Kata Mama, Naya suka banget beruang?"

“Gemes banget!” teriak Naya. “Aku kasih nama... Ayang boleh?”

Tirta mengangguk.

“Terserah kamu, Princess. Dinamain kadal juga boleh.”

Meysi berdiri di ambang pintu, melihat dua sosok yang duduk di lantai, tertawa sambil menyusun puzzle. Di dalam dadanya ada rasa yang rumit. Haru. Takut. Rindu akan sesuatu yang belum pernah ia punya.

Kehangatan keluarga... utuh. Yang tidak bisa Meysi berikan selama ini kepada Naya.

Dan ketika Naya berkata, “Kalau aku punya dua mama, boleh gak aku punya dua papa juga?”—Meysi merasa bumi berhenti berputar sesaat.

Tirta hanya memandangnya. Seakan meminta jawaban dari mulut Meysi sendiri.

Tapi Meysi tahu, kalau laki-laki itu rela. Bahkan jika harus membalikkan dunia demi satu jawaban darinya.

"Mama galak engga Nay?" tanya Tirta sambil membuka pudding buah.

"Galak, Om Ayang... kalau Naya gak mau makan suka dicubit." jawab bocah itu polos.

"Naya ih, Mama begitu kalau Naya udah pilih-pilih makanan atau Naya buang-buang makanan!" ujar Meysi membela diri.

"Wah, kita berdua dalam bahaya Nay. Om juga suka pilih-pilih makanan." ujar Tirta sambil terkekeh. "Eh kenapa Naya manggil Om, Ayang?"

"Kan Om Ayang Omnya boneka aku juga. Jadi Naya manggilnya Om Ayang ya?"

Tirta mengusap kepala Naya sambil tersenyum. Ia melirik Meysi yang bingung saat memperhatikan mereka.

"Om Ayang jadi Papa Naya juga sekarang, jadi... Naya boleh punya Papa dua oke?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai aku, Berondong!   Dua Garis Merah

    Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.Delapan hari terlambat.Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa m

  • Cintai aku, Berondong!   Serendah Itukah Janda?

    Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”Tirta menoleh deng

  • Cintai aku, Berondong!   Hah, Suami Orang?

    Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.Memang Tirta suami orang? Ah masa?Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.Klarifikasi kentut!“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T

  • Cintai aku, Berondong!   Dunia Kita Berbeda

    Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.“Naya sayaaang!”Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, arom

  • Cintai aku, Berondong!   Gak Usah Kerja, Aku Aja Yang Kerja

    Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.“Lu kenapa sih? Udah gila?!”Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Sia

  • Cintai aku, Berondong!   Berondong Gila

    Suara ketukan itu bukan ilusi. Pintu kamar masih tertutup, tapi suara berat dan tegas di baliknya sudah cukup untuk membuat jantung Meysi nyaris copot.Sial."HRD?!" Ia berbisik keras pada Tirta. "Gue bakal dipecat! Mati gue! Artis sama penyelenggara gak boleh punya hubungan!"Tirta, bukannya panik, malah menyeringai sambil menarik kaus putih yang tergulung di lantai."Kalem, Teh. Kita gak bunuh orang. Cuma... tidur sambil berhubungan intim.""TIDUR SAMBIL—lu pikir ini lelucon?!" tanya Meysi panik."Sedikit."Meysi buru-buru meraih baju, celana, apa pun yang bisa dikenakan tanpa terlihat seperti habis... ya, habis ngapa-ngapain. Tirta malah bersiul sambil berkaca di pintu lemari. Seakan tidak punya masalah.Ketukan makin keras. Meysi keluar dari toilet setelah membersihkan diri."Meysi Pitaloka, ini menyangkut etika profesional. Kami tahu Anda di dalam!" ujar orang di luar kamar semakin keras.Meysi menelan ludah. Ia hampir tidak bisa menarik napas. Dengan langkah pelan tapi tegas, ia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status