Suara ketukan itu bukan ilusi. Pintu kamar masih tertutup, tapi suara berat dan tegas di baliknya sudah cukup untuk membuat jantung Meysi nyaris copot.
Sial. "HRD?!" Ia berbisik keras pada Tirta. "Gue bakal dipecat! Mati gue! Artis sama penyelenggara gak boleh punya hubungan!" Tirta, bukannya panik, malah menyeringai sambil menarik kaus putih yang tergulung di lantai. "Kalem, Teh. Kita gak bunuh orang. Cuma... tidur sambil berhubungan intim." "TIDUR SAMBIL—lu pikir ini lelucon?!" tanya Meysi panik. "Sedikit." Meysi buru-buru meraih baju, celana, apa pun yang bisa dikenakan tanpa terlihat seperti habis... ya, habis ngapa-ngapain. Tirta malah bersiul sambil berkaca di pintu lemari. Seakan tidak punya masalah. Ketukan makin keras. Meysi keluar dari toilet setelah membersihkan diri. "Meysi Pitaloka, ini menyangkut etika profesional. Kami tahu Anda di dalam!" ujar orang di luar kamar semakin keras. Meysi menelan ludah. Ia hampir tidak bisa menarik napas. Dengan langkah pelan tapi tegas, ia mendekat ke pintu. Tirta hendak mengikut, tapi Meysi menatapnya tajam. "Kamu diem. Jangan bikin suara. Jangan keluar. Jangan napas keras-keras!" omel Meysi. Tirta menjawab dengan kedipan jahil. Meysi membuka pintu hanya selebar satu bahu. Di depannya berdiri seorang pria berjas abu-abu dengan name tag bertuliskan Widi Hartanto – Human Resource Department. Wajahnya dingin. Di belakangnya, ada dua staf lain—satunya membawa map, satunya memegang tablet. “Kita bisa bicara di bawah, Bu Meysi?” Widi bicara seperti membaca naskah berita kriminal. Meysi menarik napas panjang, menyembunyikan keringat dingin di punggungnya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak? Maaf lama, saya barusan ke toilet.” “Ini menyangkut insiden semalam.” Deg! “Insiden apa ya?” Meysi mencoba bersikap tidak tahu apa-apa. “Kami menerima laporan bahwa talent baru, Tirta Linggabuana, terlihat memasuki kamar Anda lewat CCTV hotel pada pukul 01.04 dini hari. Dan belum keluar sampai sekarang.” Meysi ingin menenggelamkan diri di bawah lantai. Astaga, bagaimana bisa kejadian yang bahkan Meysi tidak ingat jelas itu ketahuan oleh perusahaan tempat ia bekerja? “Ini pelanggaran kode etik. Talent tidak diperkenankan menjalin hubungan pribadi dengan tim produksi sebelum kontrak berjalan.” Di dalam kamar, Tirta bersin kecil. Widi memicingkan mata. “Ada orang lain di dalam?” “Tidak!” jawab Meysi terlalu cepat. “Itu... TV. Film horor Thailand.” Widi mengangguk. “Baiklah. Kami tunggu Anda di ruang pertemuan lantai tujuh. Lima belas menit.” Setelah mereka pergi, Meysi menutup pintu dan memukul Tirta memakai bantal. Sial! Kenapa Meysi harus bercinta dengan talentnya sendiri sih? “Lu bikin gue di ujung karier!” ujar Meysi dengan lirih. "Gimana dong kalau dipecat? Anak gue makan apa?" Tirta mengangkat tangan, “Oke, aku ngaku salah. Tapi serius, Teh... harusnya kita bisa jujur. Gak usah tutup-tutupi. Biarin aja mereka tahu. Toh kita sama-sama mau dan udah di usia legal. Mereka juga pahamlah~" “Gila, ya? Ini bukan film drama yang lo bisa ‘tiba-tiba’ jatuh cinta sama senior lo dan happy ending. Ini dunia nyata. HRD. Kontrak. Nama baik. Gue janda, Tirta. Janda anak satu. Kalau ketahuan beginian, abis! Lu... lu artis terkenal Tirta!” Tirta duduk di tepi tempat tidur, wajahnya berubah serius. Tapi tetap saja, lelaki muda sulit dipercaya. “Justru karena Teteh janda, kamu harus bahagia. Dan kalau semalam bikin kamu senang dan lupa sebentar soal tekanan hidup, kenapa harus malu?" Meysi terdiam. Ada bagian dari dirinya yang ingin percaya. Tapi dia terlalu lama hidup dengan logika. Dengan skrip. Dengan batas. Tidak bisa... hubungannya dengan Tirta tidak boleh berlanjut. ** Ruang pertemuan lantai tujuh sunyi. AC-nya terlalu dingin. Meysi duduk di satu sisi meja oval, sementara tiga orang dari HRD duduk di seberang. Tak satu pun dari mereka tersenyum. Padahal biasanya mereka ramah apalagi tahu bila karya Meysi selalu melekat di hati pemirsa selama ini. Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga! “Meysi, kami sudah mengetahui apa yang terjadi semalam antara anda dan Tirta. Kami tidak akan menjatuhkan keputusan sekarang,” kata Widi. “Tapi kami akan mengadakan evaluasi. Kalau perlu, rolling jabatan.” “Pak, saya profesional. Saya tahu batas. Ini kesalahpahaman....” “Kami punya rekaman. Hotel ini punya kebijakan internal. Anda tidak bisa mengelak untuk bukti yang ada.” Meysi membuka mulut, tapi sebelum ia bicara, pintu terbuka. Tirta masuk, santai, senyum, dan memakai kaus hitam polos dengan celana jeans yang membuatnya terlihat seperti pemuda 20-an yang siap ngopi di Senopati. Gaya pakaiannya santai, tapi ia tetap tampan dan tak ada yang bisa mengubah kenyataan itu. “Pagi semuanya,” katanya santai. “Maaf untuk semua yang membuat gaduh, saya yang salah.” “Maaf?” Widi menatap Tirta tajam. “Saya yang ngotot ketemu Bu Meysi tengah malam. Bukan untuk hal pribadi. Tapi saya panik soal skrip. Saya takut gak cocok main di acara ini. Jadi saya minta arahan langsung dari head writer.” Meysi melotot. Ngomong apaan, sih, ini bocah? “Terus kami bahas alur sampai pagi. Saya baru sadar setelah subuh. Bu Meysi profesional. Saya yang impulsif. Jangan salahkan dia.” tutur Tirta. "Kita semua sudah dewasa, jadi seharusnya hal seperti ini tidak perlu sampai HRD perusahaan turun tangan kan?" Widi dan tim saling pandang. Mereka menulis sesuatu. Sunyi. Menegangkan. Meysi sedikit ingin tertawa. Membahas script? Dua orang dewasa berlawanan jenis di dalam Hotel membahas hal yang bisa dibahas di Cafe! Apa ada orang yang akan mempercayai alibi itu? “Saya paham,” kata Widi akhirnya. “Tapi ini tetap jadi catatan.” “Gak masalah, Pak,” Tirta tersenyum. “Tulis aja saya di kolom, saya gak keberatan. Asalkan... Bu Meysi tidak perlu menghadapi punishment." Setelah keluar dari ruangan, Meysi menoleh marah. Ia tidak mengerti dengan Tirta, kenapa ia seakan punya power? HRD-nya pun terlihat tunduk pada kalimat Tirta. “Kenapa lu bela gue kayak gitu?” tanya Meysi sengit. “Karena Teteh gak salah,” jawab Tirta. “Gue juga nggak. Kita cuma... dua orang yang sama-sama kesepian dan akhirnya ketemu di satu malam absurd. Dan semesta kayaknya sengaja bikin gitu.” Meysi ingin menyangkal. Tapi sulit. Apalagi saat Tirta berkata dengan nada yang terlalu tulus untuk jadi akting. Ah sial... seharusnya Meysi lebih berhati-hati lagi! “Lagipula, kalau lo gak mau deket sama gue, kenapa semalam nyanyi lagu Rita Sugiarto sambil narik gue ke dalam lift?” “ITU GUE MABOK!” Tirta tertawa puas. “Dan lo cium gue duluan. Dua kali. Di pipi sama di jidat. Masih di dalam lift sampe orang-orang sekitar kita malu. Ya... gue juga malu dikit. Hehe." Meysi menutup wajah dengan tangan. Astaga... apa-apaan dirinya itu? “Gue resign aja lah.” Tirta mencubit pelan lengan Meysi. “Jangan. Kalau lo resign, gue juga cabut. Lo yang bikin gue semangat ambil proyek ini. Sumpah.” “Gombal.” “Sungguh. Gue gak akan ganggu lo, kecuali lo mau.” ujar Tirta yang jadi ikut berkata lo-gue. Meysi menatapnya. Lama. Di antara kegilaan pagi ini, ada ketenangan aneh yang tiba-tiba muncul. Seperti... pulang. Padahal mereka baru kenal dua hari. Dan sebelum mereka berpisah ke studio masing-masing, Tirta berbisik pelan di telinga Meysi: “Teh... ini baru episode satu. Jangan tutup bukunya dulu. Jangan campakin gue... ya?” ** Di malam harinya, Meysi duduk di depan laptop, mencoba menyelesaikan skrip episode perdana. Tangannya tak berhenti mengetik. Tapi pikirannya terbang ke pagi tadi. Ke tatapan Tirta. Ke keberaniannya mengambil alih kesalahan. Ah gila. Sepertinya Meysi mulai memikirkan Tirta! Lalu notifikasi masuk. 📩 [Tirta Linggabuana mengirim voice note] “Teh... lo tau gak? Gue baru nyadar satu hal. Ternyata lo penulis film-film terkenal di Indonesia ya? Wihhh... udah cantik, cerdas lagi! Gue nonton beberapa filmya dan gue suka. Siapa sangka gue malah suka banget sama penulisnya? Okey... jangan tidur terlalu malam, good night Princess. See you~ Meysi memutar ulang. Sekali. Dua kali. Dan senyum yang tak bisa ia tahan, akhirnya muncul juga. Ah sial. Tembok pertahanannya mulai runtuh! Berondong gila. Ini tidak seharusnya terjadi kan? Memang boleh Meysi seperti ini?Suara hujan deras di luar jendela kontrakan rumah Meysi itu menjadi musik latar yang paling pas malam ini. Di dalam kamar sederhana berlampu putih, Meysi tengah duduk bersandar di kepala ranjang dengan rambut basah yang sudah dikeringkan dengan handuk. Putrinya-Naya- sudah tidur sejak satu jam lalu, biasanya Meysi akan menyusul tidur setelah putrinya. Akan tetapi Meysi tidak bisa tidur karena masih merasakan mual.Tubuhnya dibalut dress tipis yang longgar, dan di bawah perutnya yang mulai sedikit menonjol, tangannya bertumpu dengan lembut.Tirta baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya basah, kaus hitam menempel pada tubuhnya yang atletis. Matanya langsung menangkap sosok Meysi di tempat tidur, dan seketika hatinya terasa penuh. Penuh dengan rasa bersalah, cinta, dan tekad yang tak tergoyahkan.Tirta memilih tinggal dan menemani Meysi meskipun keluarganya terus melayangkan ancaman. Akan tetapi, bocah tengil itu memilih Meysi, ia tidak merasa takut sama sekali dengan ribuan ancaman
Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.Delapan hari terlambat.Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa m
Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”Tirta menoleh deng
Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.Memang Tirta suami orang? Ah masa?Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.Klarifikasi kentut!“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T
Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.“Naya sayaaang!”Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, arom
Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.“Lu kenapa sih? Udah gila?!”Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Sia