Home / Romansa / Cintai aku, Berondong! / Hah, Suami Orang?

Share

Hah, Suami Orang?

Author: ARCELYOS
last update Last Updated: 2025-06-07 13:53:41

Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:

“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”

Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.

Memang Tirta suami orang? Ah masa?

Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.

Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.

Klarifikasi kentut!

“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.

“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.

“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T*****r. Gue juga. Ada yang ngerekam kita waktu ketemu minggu lalu. Caption-nya pedes banget. Kayak... lo janda haus perhatian, dan gue cowok brengsek yang lagi cari sensasi.”

Meysi menelan saliva. Sial ketakutannya terjadi!

“Lo bercanda?”

“Lo kira gue lucu kalau lagi panik begini?”

“Siapa yang nyebarin?”

“Entah. Tapi feeling gue... ada yang sengaja. Dan Teh, ini baru awal. Semoga kita kuat ngadepin ini bareng-bareng."

**

Satu jam kemudian, Tirta muncul di depan rumah Meysi dengan wajah serius. Kali ini tak ada boneka atau makanan manis. Ia hanya membawa satu hal: kejujuran yang berat. Meysi menyuruh Tirta masuk, tapi lelaki itu malah mencium bibirnya.

"Tirta bisa serius enggak? Main nyosor aja." omel Meysi.

“Sorry, gue kangen banget cium Teteh." ujar Tirta dengan napas berat. "Gue tahu siapa yang mulai sebarin ini,” kata Tirta pelan.

Meysi menatapnya penuh tanya.

"Siapa?"

“Nyokap gue.”

Meysi terdiam. Ah... ternyata. Masuk nalar semuanya.

“Dia nggak suka lo dari awal gue nginep sama lo, ada suruhan yang ngasi tau. Pas tau lo janda dan punya anak, dia langsung nyari celah. Terus... kemarin malam, gue ke rumah. Mau kasih tahu dia langsung. Gue pikir dia perlu tahu dari gue, bukan dari gosip.”

“Dan?”

“Gue disiram air putih. Katanya gue bego. Katanya... lo cuma hiburan buat gue. Dan... kalau gue terus sama lo, dia bakal bikin hidup kita berdua kaya di neraka.”

Meysi tertawa pelan, sumbang. Sial, kenapa ia malah membuat masalah setelah hidupnya tenang?

“Lucu ya. Gue pikir hidup gue udah cukup neraka sewaktu menikah kemudian cerai. Salah gue malah narik lo dalam kehidupan gue.”

Tirta maju, menggenggam tangan Meysi.

“Lo gak sendirian. Gue ada. Gue mah gak akan nurutin nyokap, gue udah cukup dewasa buat nentuin jalan idup gue.”

“Lo gak bisa lawan keluarga lo sendiri, Tirta. Gue tahu posisi lo. Nyokap lo orang terpandang. Ayah lo pemilik perusahaan serta rumah sakit paling mewah di Indo. Lo anak bungsu, satu-satunya cowok. Lo pewaris.” tekan Meysi.

Tirta menghela napas. Ia menakup kedua tangannya di pipi Meysi.

“Lo pikir gue peduli semua itu?”

“Lo harus peduli! Kalau bukan buat lo, buat keluarga lo. Gue gak mau jadi alasan lo disingkirin.”

Tirta menatapnya lama, matanya penuh amarah yang ditahan.

“Teh, gue hidup bukan buat jadi pewaris. Gue udah pernah mati sebentar waktu koma itu. Sekarang, setiap kali gue napas, gue pengen itu berarti. Dan lo—sama Naya—lo bikin hidup gue berarti.” tutur Tirta sambil menempelkan keningnya di atas kening Meysi.

“Lo ngomong gitu karena kasihan.” ujar Meysi sambil menahan sentuhan tangan Tirta.

“Enggak, Teh. Karena cinta. Gue cinta sama lo.”

Meysi menggeleng. Ia merasa tak pantas mendapatkan cinta dari lelaki seperti Tirta!

“Cinta lo belum teruji.”

Tirta terdiam. Lalu perlahan, ia mundur satu langkah.

“Oke. Gue gak maksa lo percaya sekarang. Tapi lo bakal lihat nanti. Gue gak pergi.”

**

Namun, keesokan harinya, badai benar-benar datang.

Meysi menerima surat panggilan dari pihak stasiun TV tempat ia bekerja. Ada laporan bahwa salah satu scriptwriter mereka terlibat dalam ‘skandal tidak etis’ dengan seorang artis baru. Ia diminta menghadap HR.

Ia datang, duduk di ruangan dingin beraroma kopi basi itu, dan mendapati beberapa wajah atasan menatapnya seolah ia virus menular.

Satu malam yang indah, menghancurkan semuanya.

“Kami tidak bisa mempertaruhkan reputasi program kami,” kata salah satu produser senior. “Dan saat ini, keterlibatan Anda dengan Tirta Linggabuana... mengganggu.”

Meysi mendesah pelan. Ia memandangi HR dengan tatapan tajam.

“Hubungan pribadi saya bukan bagian dari pekerjaan. Itu diluar kerjasama!”

“Sayangnya, media tidak melihat batas itu.”

“Jadi maksud Anda... saya dipecat?”

“Tidak. Hanya... ‘istirahat’ sampai isu ini mereda. Maaf karena ini keputusan terbaik, kami semua akan berusaha membantu kamu meredakan skandal."

Meysi keluar dari ruangan itu dengan napas tercekat dan mata panas. Dunia seperti bersekongkol menjatuhkannya. Satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah... Naya.

Ia pulang dan mendapati gadis kecil itu sedang menggambar rumah dengan tiga orang.

Ia, Naya, dan sosok pria dengan rambut gondrong berwarna perak, seperti Tirta.

“Naya gambar apa?” tanya Meysi sambil mengelus kepala Naya.

“Naya gambar kita bertiga. Sama Om Ayang.”

Meysi memejamkan mata.

“Kalau Om Ayang gak datang lagi... Naya marah gak?”

Naya menoleh.

“Kenapa? Om Ayang gak suka ya sama Naya?”

“Bukan itu, sayang. Tapi... kadang orang dewasa gak bisa selalu bersama karena... dunia gak selalu setuju.”

Naya mengangguk pelan, lalu berkata, “Tapi aku suka Om Ayang. Baik. Om Ayang nggak suka marahin Mama kayak Papa di telepon. Om Ayang juga lucu kayak anak kambing, Naya suka sana Om Ayang.”

Dan kata-kata itu, sederhana dan jujur, menghantam jantung Meysi seperti palu. Ia meraih anak itu dan memeluknya dalam diam.

Sementara itu, di layar ponselnya yang masih terbuka, pesan dari Tirta baru saja masuk:

“Teh... gue dijemput bokap. Disuruh balik ke rumah, dicekal. Tapi gue kabur. Gue di taman deket rumah lo. Lo mau ketemu? Sekali ini aja. Kalau lo bilang enggak, gue gak akan maksa lagi.”

Meysi menatap pesan itu lama. Tangannya gemetar. Ia tahu apa pun keputusannya malam ini... akan mengubah segalanya. Ia harus berpisah dengan Tirta sebelum terlambat.

Langit mulai gelap ketika Meysi akhirnya sampai di taman tempat biasa mereka bertemu. Di bangku panjang itu, Tirta duduk dengan hoodie kelabu dan wajah lelah.

Ia berdiri saat melihatnya.

“Teh... lo dateng.”

Meysi berdiri di hadapannya, menahan ribuan kata. Naya dititipkan pada Neneknya hanya demi menemui Tirta. Apa ia mulai menyukai bocah ingusan itu?

"Kita harus akhiri semuanya, Tirta." tutur Meysi.

Belum sempat Tirta menjawab, dari kejauhan, suara rem mobil mendecit. Dua pria bersetelan gelap keluar tergesa.

“Meysi Pitaloka?” salah satu dari mereka mendekat. “Kami diminta untuk mengantarkan Anda ke kediaman Bapak Linggabuana.”

Tirta refleks berdiri di depan Meysi.

“Jangan sentuh dia.”

Pria itu menatap tajam.

“Kalau Anda ingin tetap punya karier, sebaiknya jangan cari perkara. Ini urusan keluarga.”

Meysi menggenggam tangan Tirta. Tirta mendesah dengan tatapan kesal.

“Lo ikut gue, kalau enggak, gue bakal hamilin lo!" ancam Tirta.

Dan dalam diam yang menyesakkan itu, Meysi sadar—ia harus memilih. Astaga, kenapa ia harus terlibat hal seperti ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintai aku, Berondong!   Si Paling Bucin

    Kota Paris... ya, kota yang selalu berhasil membuat siapa pun jatuh cinta. Malam itu, lampu kota berpendar di sepanjang jalan Champs-Élysées, berkilauan seperti ribuan bintang yang turun ke bumi. Romantis dengan suasana sedikit glommy tapi tetap indah saat ditapaki.Meysi berdiri terpaku di depan butik besar yang namanya hanya pernah ia dengar dari televisi. Walaupun ia penulis dengan nama "besar" tapi Meysi sendiri pun belum pernah berbelanja atau menyambangi tempat tersebut.“Ayo masuk,” suara Tirta terdengar ringan, tapi tangannya sudah menarik lembut tangan Meysi.“Tirta… kamu serius mau belanja di sini?” Meysi ragu, menoleh ke papan harga kecil di kaca display yang membuat matanya membelalak. Mahal banget woi! Harga sebuah gantungan kunci di sana bisa membeli sebuah rumah di Bandung timur.Pemuda itu hanya menyeringai, senyum nakal khasnya muncul. Ia kemudian melingkarkan tangannya di bahu Meysi, seperti kawan akrab.“Kamu pikir aku ajak kamu ke Paris cuma buat jalan-jalan doang

  • Cintai aku, Berondong!   Teror Ginanjar Lagi

    Langit Paris sore itu berwarna oranye keemasan, membalut kota dengan nuansa hangat dan romantis, yaaa kurang lebih sama seperti narasi orang-orang yang menceritakan bagaimana romantisnya kota tersebut. Mobil hitam berlogo mewah berhenti di depan hotel bintang lima yang berdiri megah di jantung kota. Tirta turun lebih dulu, lalu memutar untuk membukakan pintu Meysi. Meysi yang hampir saja tertidur langsung membuka mata ketika mereka tiba.“Selamat datang di Paris, Madame Tirta,” ujar Tirta dengan senyum menggoda."Huaaah udah sampe tah sayang?" tanya Meysi sambil mengucek mata."Udah cintaku... bobok di kamar aja yuk, kita masuk?"Meysi melangkah keluar, matanya terbelalak melihat interior hotel yang berlapis marmer putih, lampu kristal berkilauan, dan karpet merah tebal. Meysi yang setengah mengantuk itu terlihat berbinar-binar, entah bermimpi apa dirinya bisa menginjakkan kaki ke tempat semewah itu.“Astaga, Ayang… ini hotel atau istana?” tanya Meysi seperti anak kecil yang tengah k

  • Cintai aku, Berondong!   Pikiran Yang Terbang

    Langit sore di bandara pribadi itu berwarna jingga keemasan ketika Tirta menggenggam tangan Meysi, membimbingnya menuju sebuah jet putih berkilau dengan logo kecil berbentuk bintang di ekornya. Ada logo bernama, 'Tirta' di sana yang terlihat sangat mewah dalam sekejap pandangan.Meysi berhenti sejenak, matanya membesar.“Ayang… ini… jet pribadi punya kamu?!"Tirta hanya terkekeh, matanya menyipit nakal. Ia kemudian menganggukkan kepalanya.“Nggak usah kaget gitu. Aku kan nggak bilang kalau aku miskin sejak awal ngejar Teteh.”Meysi memukul pelan pipinya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tirta memang kaya, tapi ia tidak berekspektasi bila Tirta benar-benar sekaya itu!Bila sudah sekaya itu, kenapa ia memilih susah-susah jadi penyanyi? Ah baik... passion, itulah kira-kira jawabannya.“Tapi… aku beneran nggak nyangka. Aku pikir kita naik pesawat komersial kayak orang normal.” ujar Meysi.“Kalau ada cara yang lebih nyaman, kenapa nggak?” Tirta menariknya masuk, membukaka

  • Cintai aku, Berondong!   Jawaban Atas Segala Derita

    Ruang keluarga terasa hening, hanya suara televisi yang memutar breaking news memenuhi udara. Di layar, wajah Prabu Linggabuana muncul singkat sebelum diganti visual ruang sidang. Tirta duduk di sofa sambil menggigit ujung jempolnya.Pembawa berita membacakan putusan dengan suara tegas, “Majelis hakim memutuskan hukuman penjara selama dua tahun kepada terdakwa Prabu Linggabuana dalam kasus korupsi dana investasi. Sementara itu, Kusumadewi, istri terdakwa, dinyatakan bebas karena tidak terbukti terlibat.”Tirta duduk di ujung sofa, rahangnya mengeras. Ia tidak bergeming hingga berita berlanjut pada liputan protes masyarakat di depan gedung pengadilan. Sejumlah poster bertuliskan Hukum Koruptor Setimpal! terguncang di tangan massa. Kenangan masa lalu bergulir, seketika Tirta gemetar karena kejadian masa lalu hingga membuatnya koma itu seakan terputar dalam benaknya.Menakutkan. Tirta benci sekali kenangan itu bergulir.Tanpa berkata apa-apa, Tirta meraih remote dan mematikan televisi. W

  • Cintai aku, Berondong!   Hadiah Untuk Meysi

    Notifikasi ponsel Meysi tak berhenti berbunyi sejak pagi. Setiap kali ia membuka layar, deretan berita dan postingan tentang konser terakhir Tirta memenuhi timeline. Foto-foto saat Tirta menggamit tangannya, bernyanyi tepat di depannya, hingga menciumnya di tengah sorotan lampu, tersebar ke seluruh penjuru jagat maya.Hashtag #TirtaMeysiLoveStory, #KonserTerakhirTirta, dan #LookUpAtTheStars menjadi trending di berbagai platform. Media gosip mengulasnya dari semua sudut, sementara akun-akun fanbase Tirta saling berdebat—ada yang patah hati, ada yang baper, ada pula yang masih denial.Meysi duduk di sofa ruang tengah, memegang ponsel sambil menggulir komentar-komentar netizen. Beberapa membuatnya terkejut, beberapa membuatnya tak tahan tertawa."Kok mereka bisa-bisanya mereka bahagia di atas penderitaan aku?""Kursi Indomaret mana yang harus aku kunjungi Mas Tirtaaaaaa😭""Oh gitu. Btw, langgeng-langgeng sampai maut memisahkan. Oh iya kenalin, aku maut🙂""Guys, tanya keadaan aku sekar

  • Cintai aku, Berondong!   Cinta Diantara Riuh Penonton

    Lampu-lampu panggung menyala terang, membanjiri arena dengan warna-warna memukau. Sorakan penonton menggetarkan udara panas Jakarta di Istora Senayan. Berbondong-bondong fans Tirta datang dengan pakaian tercantik mereka, berfoto di vanue, berfoto di foto Tirta yang sangat besar dan lain sebagainya."Foto dulu Mbak!"Siti mengantar Meysi hari itu, sementara Naya bersama Ibu Meysi. Meysi mengenakan rok manis terusan berwarna pink seperti mic yang dipakai Tirta, ia sangat cantik dengan rambut panjang hitamnya yang diikat setengah menggunakan pita. Wajahnya dirias ala igari yang tentunya menonjolkam kecantikan Meysi yang memang sudah cantik. Bahkan beberapa fans Tirta mengajak Meysi foto bersama karena ia sangat bersinar dengan pakaian itu."Ini mah, Tirtanya juga pasti naksir sama Mbak!" celetuk salah satu fans yang berfoto.Meysi hanya menyeringai sambil melirik Siti yang cekikikan mendengar itu. Bukan hanya naksir, fansnya saja tidak tahu jika Tirta selalu 'menyusu' setiap kali mereka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status