Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:
“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.” Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan. Memang Tirta suami orang? Ah masa? Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah. Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi. Klarifikasi kentut! “Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak. “Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal. “Nama Teteh mulai disebut-sebut di T*****r. Gue juga. Ada yang ngerekam kita waktu ketemu minggu lalu. Caption-nya pedes banget. Kayak... lo janda haus perhatian, dan gue cowok brengsek yang lagi cari sensasi.” Meysi menelan saliva. Sial ketakutannya terjadi! “Lo bercanda?” “Lo kira gue lucu kalau lagi panik begini?” “Siapa yang nyebarin?” “Entah. Tapi feeling gue... ada yang sengaja. Dan Teh, ini baru awal. Semoga kita kuat ngadepin ini bareng-bareng." ** Satu jam kemudian, Tirta muncul di depan rumah Meysi dengan wajah serius. Kali ini tak ada boneka atau makanan manis. Ia hanya membawa satu hal: kejujuran yang berat. Meysi menyuruh Tirta masuk, tapi lelaki itu malah mencium bibirnya. "Tirta bisa serius enggak? Main nyosor aja." omel Meysi. “Sorry, gue kangen banget cium Teteh." ujar Tirta dengan napas berat. "Gue tahu siapa yang mulai sebarin ini,” kata Tirta pelan. Meysi menatapnya penuh tanya. "Siapa?" “Nyokap gue.” Meysi terdiam. Ah... ternyata. Masuk nalar semuanya. “Dia nggak suka lo dari awal gue nginep sama lo, ada suruhan yang ngasi tau. Pas tau lo janda dan punya anak, dia langsung nyari celah. Terus... kemarin malam, gue ke rumah. Mau kasih tahu dia langsung. Gue pikir dia perlu tahu dari gue, bukan dari gosip.” “Dan?” “Gue disiram air putih. Katanya gue bego. Katanya... lo cuma hiburan buat gue. Dan... kalau gue terus sama lo, dia bakal bikin hidup kita berdua kaya di neraka.” Meysi tertawa pelan, sumbang. Sial, kenapa ia malah membuat masalah setelah hidupnya tenang? “Lucu ya. Gue pikir hidup gue udah cukup neraka sewaktu menikah kemudian cerai. Salah gue malah narik lo dalam kehidupan gue.” Tirta maju, menggenggam tangan Meysi. “Lo gak sendirian. Gue ada. Gue mah gak akan nurutin nyokap, gue udah cukup dewasa buat nentuin jalan idup gue.” “Lo gak bisa lawan keluarga lo sendiri, Tirta. Gue tahu posisi lo. Nyokap lo orang terpandang. Ayah lo pemilik perusahaan serta rumah sakit paling mewah di Indo. Lo anak bungsu, satu-satunya cowok. Lo pewaris.” tekan Meysi. Tirta menghela napas. Ia menakup kedua tangannya di pipi Meysi. “Lo pikir gue peduli semua itu?” “Lo harus peduli! Kalau bukan buat lo, buat keluarga lo. Gue gak mau jadi alasan lo disingkirin.” Tirta menatapnya lama, matanya penuh amarah yang ditahan. “Teh, gue hidup bukan buat jadi pewaris. Gue udah pernah mati sebentar waktu koma itu. Sekarang, setiap kali gue napas, gue pengen itu berarti. Dan lo—sama Naya—lo bikin hidup gue berarti.” tutur Tirta sambil menempelkan keningnya di atas kening Meysi. “Lo ngomong gitu karena kasihan.” ujar Meysi sambil menahan sentuhan tangan Tirta. “Enggak, Teh. Karena cinta. Gue cinta sama lo.” Meysi menggeleng. Ia merasa tak pantas mendapatkan cinta dari lelaki seperti Tirta! “Cinta lo belum teruji.” Tirta terdiam. Lalu perlahan, ia mundur satu langkah. “Oke. Gue gak maksa lo percaya sekarang. Tapi lo bakal lihat nanti. Gue gak pergi.” ** Namun, keesokan harinya, badai benar-benar datang. Meysi menerima surat panggilan dari pihak stasiun TV tempat ia bekerja. Ada laporan bahwa salah satu scriptwriter mereka terlibat dalam ‘skandal tidak etis’ dengan seorang artis baru. Ia diminta menghadap HR. Ia datang, duduk di ruangan dingin beraroma kopi basi itu, dan mendapati beberapa wajah atasan menatapnya seolah ia virus menular. Satu malam yang indah, menghancurkan semuanya. “Kami tidak bisa mempertaruhkan reputasi program kami,” kata salah satu produser senior. “Dan saat ini, keterlibatan Anda dengan Tirta Linggabuana... mengganggu.” Meysi mendesah pelan. Ia memandangi HR dengan tatapan tajam. “Hubungan pribadi saya bukan bagian dari pekerjaan. Itu diluar kerjasama!” “Sayangnya, media tidak melihat batas itu.” “Jadi maksud Anda... saya dipecat?” “Tidak. Hanya... ‘istirahat’ sampai isu ini mereda. Maaf karena ini keputusan terbaik, kami semua akan berusaha membantu kamu meredakan skandal." Meysi keluar dari ruangan itu dengan napas tercekat dan mata panas. Dunia seperti bersekongkol menjatuhkannya. Satu-satunya yang terlintas di benaknya adalah... Naya. Ia pulang dan mendapati gadis kecil itu sedang menggambar rumah dengan tiga orang. Ia, Naya, dan sosok pria dengan rambut gondrong berwarna perak, seperti Tirta. “Naya gambar apa?” tanya Meysi sambil mengelus kepala Naya. “Naya gambar kita bertiga. Sama Om Ayang.” Meysi memejamkan mata. “Kalau Om Ayang gak datang lagi... Naya marah gak?” Naya menoleh. “Kenapa? Om Ayang gak suka ya sama Naya?” “Bukan itu, sayang. Tapi... kadang orang dewasa gak bisa selalu bersama karena... dunia gak selalu setuju.” Naya mengangguk pelan, lalu berkata, “Tapi aku suka Om Ayang. Baik. Om Ayang nggak suka marahin Mama kayak Papa di telepon. Om Ayang juga lucu kayak anak kambing, Naya suka sana Om Ayang.” Dan kata-kata itu, sederhana dan jujur, menghantam jantung Meysi seperti palu. Ia meraih anak itu dan memeluknya dalam diam. Sementara itu, di layar ponselnya yang masih terbuka, pesan dari Tirta baru saja masuk: “Teh... gue dijemput bokap. Disuruh balik ke rumah, dicekal. Tapi gue kabur. Gue di taman deket rumah lo. Lo mau ketemu? Sekali ini aja. Kalau lo bilang enggak, gue gak akan maksa lagi.” Meysi menatap pesan itu lama. Tangannya gemetar. Ia tahu apa pun keputusannya malam ini... akan mengubah segalanya. Ia harus berpisah dengan Tirta sebelum terlambat. Langit mulai gelap ketika Meysi akhirnya sampai di taman tempat biasa mereka bertemu. Di bangku panjang itu, Tirta duduk dengan hoodie kelabu dan wajah lelah. Ia berdiri saat melihatnya. “Teh... lo dateng.” Meysi berdiri di hadapannya, menahan ribuan kata. Naya dititipkan pada Neneknya hanya demi menemui Tirta. Apa ia mulai menyukai bocah ingusan itu? "Kita harus akhiri semuanya, Tirta." tutur Meysi. Belum sempat Tirta menjawab, dari kejauhan, suara rem mobil mendecit. Dua pria bersetelan gelap keluar tergesa. “Meysi Pitaloka?” salah satu dari mereka mendekat. “Kami diminta untuk mengantarkan Anda ke kediaman Bapak Linggabuana.” Tirta refleks berdiri di depan Meysi. “Jangan sentuh dia.” Pria itu menatap tajam. “Kalau Anda ingin tetap punya karier, sebaiknya jangan cari perkara. Ini urusan keluarga.” Meysi menggenggam tangan Tirta. Tirta mendesah dengan tatapan kesal. “Lo ikut gue, kalau enggak, gue bakal hamilin lo!" ancam Tirta. Dan dalam diam yang menyesakkan itu, Meysi sadar—ia harus memilih. Astaga, kenapa ia harus terlibat hal seperti ini?Dua minggu berlalu tanpa Tirta. Meysi mengabaikan pesan Tirta ataupun telefonnya. Bukan pertama kali kehilangan, akan tetapi Meysi merasa hampa dan sakit yang teramat sangat.Sial. Sepertinya ia benar-benar patah hati. Ya... tidak bisa dipungkiri karena berhubungan badan adalah mengikat hormon kedua manusia, dan untuk perempuan... mereka cenderung jadi ketergantungan.Pagi itu terlalu sunyi untuk sebuah rumah yang biasanya dipenuhi suara Naya bernyanyi kecil. Bahkan ketukan sendok di gelas kopi terasa seperti letusan kecil yang menggetarkan dada Meysi. Ia menatap meja makan dengan tatapan kosong, lalu pandangannya jatuh pada kalender dinding di sebelah kulkas. Saat itulah Meysi menyadari sesuatu.Delapan hari terlambat.Tangan Meysi gemetar saat meraih ponsel dan membuka aplikasi catatan siklus. Hatinya berdegup pelan tapi pasti. Ia mencoba mengingat terakhir kali ia benar-benar merasa "normal". Tidak pusing, tidak mual, tidak sesak.Tidak… terlambat. Belakangan ini Meysi tidak bisa m
Sore menjelang malam itu, taman kecil di sudut kota menjadi saksi bisu dua dunia yang bersinggungan. Tirta berdiri di hadapan Meysi, mencoba menahan dua pria bersetelan gelap yang mendekat dengan raut tegas.“Saya gak akan pergi,” ucap Meysi pelan, tapi tegas. "Saya mau sama Tirta."Salah satu pria bertubuh kekar maju setengah langkah.“Kami hanya ingin mengantar Ibu Meysi. Tidak ada maksud buruk. Kami diutus oleh keluarga Linggabuana.”“Gue bagian dari keluarga itu, dan gue gak nyuruh,” potong Tirta, suaranya berubah dingin. "Lo semua mau dipecat?"Pria itu memandang Tirta dengan tatapan datar.“Tapi Anda juga tahu, keputusan keluarga besar bukan hanya urusan Anda seorang.”Meysi menahan napas, merasakan bagaimana situasi bisa lepas kendali dalam satu detik. Ia menarik lengan Tirta, memaksa lelaki itu mundur.“Sudah, Tirta. Aku ikut bicara. Tapi hanya bicara, ya?” Meysi menatap pria itu. “Saya akan ikut, tapi Tirta tetap di sini. Ini antara saya dan keluarga Anda.”Tirta menoleh deng
Pagi itu, suara centang dari aplikasi chatting membangunkan Meysi sebelum alarm sempat berdering. Ia meraih ponsel dengan mata setengah tertutup, lalu terdiam melihat pesan masuk dari nomor tak dikenal:“Masih berani dekat-dekat sama suami orang, Bu Janda? Tidak tahu malu.”Sekujur tubuh Meysi menegang. Jantungnya berdetak tak karuan. Belum sempat ia mencerna maksud pesan itu, satu pesan lain menyusul—kali ini foto dirinya dan Tirta yang sedang tertawa bersama, diambil diam-diam dari kejauhan.Memang Tirta suami orang? Ah masa?Meysi langsung duduk. Ruangan terasa sempit, dadanya sesak. Ia menoleh ke arah kamar Naya yang masih tertutup rapat. Bocah itu masih tidur, syukurlah.Tak lama kemudian, ponselnya kembali berdering. Kali ini panggilan dari Tirta. Meysi menghela napas. Pasti Tirta akan klarifikasi.Klarifikasi kentut!“Teh, udah bangun? Udah buka media sosial belum?” tanya Tirta dengan suara serak.“Belum. Kenapa?” tanya Meysi setengah kesal.“Nama Teteh mulai disebut-sebut di T
Hari-hari terasa berbeda bagi Meysi semenjak Tirta ada di hidupnya.Sore itu langit menggantung abu-abu di atas atap rumah kontrakan kecil yang ditempati Meysi dan putrinya, Naya. Setelah tiga hari syuting beruntun dan revisi skrip yang tak kunjung selesai, akhirnya ia pulang lebih cepat. Jam baru menunjukkan pukul lima lewat dua puluh menit ketika ia membuka pintu rumah dan mencium aroma bubur ayam buatan ibunya yang menggoda.“MAAAA!” teriak Naya dari ruang tengah begitu melihat Meysi masuk. Bocah lima tahun itu berlari tanpa alas kaki, ikatan rambut yang sudah berantakan, pipi belepotan krayon warna oranye.Meysi menjatuhkan tasnya dan langsung berlutut, merentangkan tangan.“Naya sayaaang!”Anak kecil itu riang dan menyambut sang Mama. Mereka berdua berpelukan dengan erat.“Kenapa Mama lama banget sih? Aku gambar Mama di tembok sampe dua kali!” omelnya sambil memeluk leher Meysi erat-erat.“Iya, Maaf... Mama kerja, sayang.” Meysi memeluk anak itu lama sekali. Tubuh mungilnya, arom
Pagi itu, studio stasiun televisi sedang ribut. Bukan karena masalah teknis, bukan juga karena script yang belum selesai, melainkan karena satu makhluk bernama Tirta berdiri di tengah set, memakai kimono satin emas dan sepatu boots kulit ular. Di tangannya ada cangkir teh yang entah kenapa pura-pura diseruput sambil menyanyikan lagu opening sinetron jadul, "Keluara Cemara".Ternyata selain tengil. Tirta juga gila!"Harta yang paling berharga... adalah teman kaya... mutiara tiada tara adalah... Teteh Janda~"Meysi baru masuk dan langsung berhenti di pintu, speechless. Matanya menyipit. Beberapa staff tertawa dan menyuruh Meysi mendekat pada Tirta. Dengan langkah ogah-ogahan, Meysi mendekat ke arah Tirta sambil menahan malu. Jika seperti itu, Tirta memperjelas bila keduanya ada apa-apa bukan?Meysi akhirnya berjalan mendekat. Tatapannya kesal sekali.“Lu kenapa sih? Udah gila?!”Tirta berbalik, melemparkan senyum yang sangat manis kepada Meysi.“Karena kita bakal ketemu setiap hari. Sia
Suara ketukan itu bukan ilusi. Pintu kamar masih tertutup, tapi suara berat dan tegas di baliknya sudah cukup untuk membuat jantung Meysi nyaris copot.Sial."HRD?!" Ia berbisik keras pada Tirta. "Gue bakal dipecat! Mati gue! Artis sama penyelenggara gak boleh punya hubungan!"Tirta, bukannya panik, malah menyeringai sambil menarik kaus putih yang tergulung di lantai."Kalem, Teh. Kita gak bunuh orang. Cuma... tidur sambil berhubungan intim.""TIDUR SAMBIL—lu pikir ini lelucon?!" tanya Meysi panik."Sedikit."Meysi buru-buru meraih baju, celana, apa pun yang bisa dikenakan tanpa terlihat seperti habis... ya, habis ngapa-ngapain. Tirta malah bersiul sambil berkaca di pintu lemari. Seakan tidak punya masalah.Ketukan makin keras. Meysi keluar dari toilet setelah membersihkan diri."Meysi Pitaloka, ini menyangkut etika profesional. Kami tahu Anda di dalam!" ujar orang di luar kamar semakin keras.Meysi menelan ludah. Ia hampir tidak bisa menarik napas. Dengan langkah pelan tapi tegas, ia