MasukBeberapa minggu terakhir, suasana rumah Fady terasa berbeda. Umi mulai sering memperhatikan gerak-geriknya, jam pulang yang makin malam, alasan “lembur” yang terlalu sering, dan beberapa kali tidak pulang sama sekali dengan dalih “menginap di rumah teman”.
“Teman yang mana, Bang?” tanya Umi suatu malam dengan nada lembut tapi menekan. “Teman kantor, Mi,” jawab Fady santai, melepaskan dasinya. Umi menatap anak lelakinya yang kini beranjak dewasa sepenuhnya, tapi tetap jadi anak kecil di matanya. “Umi bukan mau ngatur, tapi kamu udah kepala tiga. Kalau memang ada yang kamu seriusin, bawa aja ke rumah. Jangan cuma bilang ‘teman’ terus. Umi khawatir kamu salah jalan.” Fady berhenti sejenak, lalu tersenyum menenangkan. “Aku nggak aneh-aneh, Mi. Aku cuma belum siap ngenalin siapa pun sebelum waktunya.” “Justru itu yang bikin Umi khawatir,” sahut Umi lirih. “Kamu terlalu banyak rahasia akhir-akhir ini. Kalau terus begini, Umi cariin aja jodoh buat kamu.” Ucapan itu menghantam lebih dalam dari yang Fady duga. Ia tidak bisa membayangkan harus menjalani hidup dengan orang lain, sementara di satu sisi, ada Binar, perempuan yang membuatnya pulang larut bukan karena bosan di rumah, tapi karena ingin terus memperpanjang waktu bersamanya. Sejak malam itu, ucapan Umi terus terngiang. Dan entah bagaimana, membuat Fady semakin sadar: kalau ia tidak menegaskan perasaannya, ia bisa kehilangan Binar sewaktu-waktu. --- Malam itu, hujan turun pelan di luar jendela apartemen Binar. Mereka baru saja makan malam sederhana, mi goreng instan dengan telur mata sapi dan teh hangat. Suasananya tenang, hanya suara air hujan dan denting sendok yang sesekali terdengar. “Dy, kamu besok libur kan?” tanya Binar sambil membereskan piring. “Hmm, iya. Sabtu. Kenapa?” “Enggak. Takutnya kamu harus pulang, udah malam banget soalnya.” “Kalau hujannya begini sih… kayaknya aku nginep aja di sini lagi.” Binar mengangguk kecil, lalu tersenyum tipis. “Umi nggak nyariin nanti kamu nginep lagi disini?” Fady terkekeh pendek, mencoba menutupi kegelisahannya. “Nanti aku bilang nginep di rumah teman.” “Teman yang sama terus, ga bakal curiga?” goda Binar ringan. Fady tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Binar yang sedang membereskan meja makan. Pandangannya penuh arti, semacam campuran antara kagum dan takut kehilangan. “Bin…” panggilnya pelan. Binar menoleh, “Hmm?” Fady berdiri, lalu berjalan mendekat. Ia merapikan helai rambut Binar yang menutupi pipinya, menyelipkannya ke belakang telinga. “Aku boleh ngomong sesuatu?” Nada suaranya berubah lebih dalam, lebih serius dari biasanya. Binar menatapnya heran. “Ngomong apa?” "Duduk dulu yuk!" Ajak Fady sambil mengajak Binar ke arah Sofa. Suasana hening sejenak, Fady menarik napas panjang lalu mulai mengutarakan maksudnya. “Aku sadar selama ini kita jalanin semuanya tanpa label. Kita nyaman, kita dekat, tapi nggak pernah ngomong ke mana arahnya. Dan jujur, aku nggak masalah sama itu selama aku tahu kamu cuma buat aku.” Binar terdiam. Ia tidak menyangka malam yang tenang itu akan berubah jadi seintim ini. Fady melanjutkan, “Tapi akhir-akhir ini Umi mulai nanya-nanya. Bahkan sempat bilang mau cariin jodoh buat aku. Dan entah kenapa, itu bikin aku takut banget, Bin." Binar masih diam, hanya menatap wajah Fady yang kini benar-benar terbuka, tanpa topeng apa pun. “Aku nggak mau kehilangan kamu kedua kalinya,” lanjutnya lirih. “Aku nggak bisa bayangin kalau nanti ada orang lain." “Dy…” “Aku ga akan minta langsung nikahin kamu sekarang. Tapi aku juga nggak mau hubungan ini cuma menggantung. Aku pengen kamu tahu aku udah milih kamu. Kalau kamu belum siap buat nikah, gapapa. Aku nggak akan maksa. Tapi aku mau kamu tahu aku serius, dan aku akan nyiapin semuanya pelan-pelan, sampai waktunya tepat buat ngenalin kamu ke Umi.” Binar menatapnya lama, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang keluar dari bibir Fady. Tidak ada janji muluk, tidak ada kata-kata romantis berlebihan, hanya kejujuran yang hangat dan berat di dada. “Aku nggak minta kamu ngasih status,” lanjut Fady pelan, “aku cuma minta kamu jangan pergi, jangan kasih ruang buat orang lain. Aku cuma mau kamu tahu, mulai malam ini aku nggak cuma pengen jadi seseorang yang nemenin kamu di sela waktu. Aku pengen kamu jadi rumah tempat aku pulang tiap hari, begitupun sebaliknya.” Binar terdiam cukup lama sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kamu selalu ngomong kayak gitu pas hujan ya?” candanya pelan, mencoba meredakan tegang. Fady tertawa pelan, menatapnya lembut. “Soalnya cuma pas hujan aku bisa ngomong tanpa takut kamu kabur.” Binar menunduk, lalu mengangguk pelan. “Aku nggak kemana-mana, Dy.” Fady menarik napas lega, lalu mendekat. “Udah boleh manggil sayang?” Binar terkekeh, lalu menjawab, "Emang harus ya?" "Harus, wajib! Setelah ini ga boleh panggil aku nama lagi. Itu aturan pertama." Tegas Fady. "Duh posesifnyaaa." "Boleh peluk..?" Ujar Fady manja sambil merentangkan tangannya. Binar menyambut permintaan Fady dengan membiarkan jarak di antara mereka hilang. "Malam ini, aku ga tidur di sofa lagi kan?" Fady menggoda Binar yang dijawab Binar dengan langkah kecilnya menuju kamar tidur. --- Hujan di luar belum juga reda. Lampu apartemen meredup, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampur tidur di kamar Binar. Kini mereka sudah berada di tempat tidur dengan posisi duduk dan Binar menyandarkan kepalanya di bahu Fady. Suasana di antara mereka begitu hening hingga napas masing-masing terdengar. Fady menggenggam tangan Binar. Ia tahu kata-katanya barusan bukan hal ringan, itu pengakuan sekaligus janji. Binar membalas genggaman tangan itu dengan mengeratkan jari tangannya yang bertaut dengan jari tangan Fady. “Sayang…” suaranya pelan tapi berat, seperti menahan sesuatu. “Hm?” “Boleh aku minta sesuatu?" Tanya Fady kembali serius. "Apa sayang?" Jawab Binar lembut sambil mengangkat kepalanya menghadap ke wajah Fady. "Aku... mau milikin kamu seutuhnya. Aku ga mau kamu begini sama orang lain." Binar terdiam, sesuatu di dalam dirinya berdesir, jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Ia paham maksud permintaan Fady arahnya kemana. Tak mendapat jawaban, saat itu juga Fady mendekat, menatap matanya, lalu membiarkan jarak di antara mereka lenyap perlahan. Cuma beberapa senti, dan napas mereka sudah saling bersentuhan. Semakin lama semakin dalam. Semakin dalam semakin nyaman. Hingga suara kecupan mereka berdua mengisi hening di dalam kamar. Sampai dimana Fady melepas tali piyama tak berlengan Binar dan ingin beralih mencium leher Binar. Tapi sebelum Fady sempat melanjutkan, Binar menunduk, menahan tangannya di dada Fady. “Sayang.." ucapnya pelan sambil mengatur nafasnya yang tak karuan. “Jangan dulu, ya.” Fady menatapnya dalam diam. Ada sedikit getir di matanya, tapi tak ada paksaan. Ia hanya menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Maaf ya, aku nggak bermaksud buru-buru. Aku cuma…” “Aku tahu,” potong Binar lembut. “Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi aku cuma belum siap kalau… semuanya berubah malam ini.” Fady tersenyum samar, lalu mengelus lembut kepala Binar. “Kamu nggak perlu jelasin apa pun. Aku ngerti.” Ia merapikan kembali piyama Binar. Ia menarik Binar ke dalam pelukannya, hangat, tenang, tanpa tuntutan. Beberapa saat kemudian, Binar bersandar di dadanya, membiarkan keheningan berbicara. Di antara detak jantung yang terasa di dada Fady, Binar bisa merasakan ketulusan yang tulus tanpa kata. Fady mengecup pelipisnya sekali, menahan diri dengan napas panjang. “Sayang, jujur sebagai laki-laki normal, kadang susah banget buat nggak pengen lebih dari ini.” Ia tertawa pelan, setengah gugup, setengah jujur. Binar ikut tersenyum kecil. “Aku tahu. Makasih ya, udah bisa ngerti." “Aku cuma takut kehilangan kamu kalau aku maksa sesuatu yang kamu belum siap.” Binar memeluk Fady lebih erat. Malam itu mereka tak bicara lagi, hanya saling merasakan suhu tubuh masing-masing lewat pelukan. Dan dalam diam itu, hubungan mereka bergeser pelan dari “tanpa label” menjadi “kita”. Tanpa kata resmi, tanpa janji besar. Tapi keduanya tahu, batas di antara mereka sudah berubah.Udara Bandung malam itu dingin seperti biasanya. Tetesan embun sisa-sisa hujan menempel di kaca hotel. Suasa kamar dengan lampu yang temaram seolah menjadi latar pendukung untuk dua manusia yang sedang dimabuk rindu. "Sayang.. ahh" Desahan demi desahan lolos dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. Melihat wanitanya sudah setengah "mabuk", Fady secara tiba-tiba berhenti yang membuat Binar menatapnya dengan tatapan sayu seolah berkata, "Ayo lanjutkan, sayang. Kenapa berhenti?" "Kalau kamu mau berhenti, berhenti sekarang. Selanjutnya, kamu gak akan bisa nahan aku lagi. Kita harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai." Ucap Fady sambil menelusuri tubuh polos Binar dari bibir turun ke bawah sampai perutnya. Binar sudah tak mampu berkata apapun. Kepalanya sudah tak mampu berpikir jernih, jangankan untuk menolak, bahkan kata "iya" pun sudah tak sanggup lagi dia katakan. Matanya memejam dan tubuhnya merinding hebat seolah terkena sengatan listrik yang disalurkan Fady lewat sentuhan, kec
"Sayang, serius kamu mau ngelakuin itu sekarang?" Tanya Fady memastikan kembali. "Hmm. Kamu bawa pengaman?" Tanya Binar dengan tatapan yang sulit diartikan. Fady mengernyitkan dahinya, ia pikir Binar sudah ingin berhenti tadi, tapi kemudian menggodanya lagi, sekarang? "Ahh kamu ngerjain aku ya?" Sambil merebahkan tubuhnya yang tadi setengah menindih Binar. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam gairahnya yang sudah sepenuhnya terpancing. "Gak enak kan ditarik ulur?" Ucap Binar sambil melirik Fady, seolah puas sudah berhasil mengerjainya. "Bin.." Panggil Fady dengan nada sedikit merengek tak terima. Sementara Binar hanya tertawa kecil melihat tingkah manja kekasihnya. "Ya udah ah, aku mau berendam air dingin aja." Ujar Fady sambil bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi menuju ke bath up. --- Untuk meredam hawa panas di tubuhnya akibat pergulatan yang tak tuntas, Fady berendam dalam air dingin di bath up, tentunya tanpa mengenakan baju. Ketika dia menc
Langit Bandung sore itu kembali menangis. Rintik hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Fady yang berhenti di area parkir hotel. Di jok sebelahnya, sebuket lily putih terbungkus kertas cokelat muda. Di sampingnya, sekotak kecil cokelat premium dan secarik kertas yang ditulis terburu-buru namun penuh perasaan: "Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa menjadi bagian dari hidup kamu. Terimakasih, Binar sayang." Fady menghela napas pelan. Ia tahu tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari alergi, tapi entah kenapa, langkahnya terasa ringan. Setelah merasa agak baikan, tadi ia segera pergi dari hotel untuk mencari apa yang pantas dihadiahkan pada Binar. Ia tak ingin menunggu. Ia ingin segera melihat senyum Binar, senyum yang selalu membuat hari-harinya terasa hangat. Tanpa payung, ia keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Napasnya tampak mengepul di udara dingin, namun langkahnya terus menapak cepat menuju lobi.
Setelah percakapan panjang di sofa itu, suasana kamar menjadi hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Fady bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit. Rasanya berat bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosi yang baru saja tumpah. Binar menatapnya sekilas. Ada sisa teduh di wajahnya, meski bibirnya belum sepenuhnya tersenyum. “Hmm. Udah gak ada yang mau diomongin lagi kan?” tanyanya pelan, mencoba menjaga agar suasana tak kembali tegang. Fady menegakkan tubuh, tersenyum kecil. “Udah. Makasih ya kamu masih mau dengerin.” Ia menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. “Aku pamit, ya. Takutnya kamu mau istirahat.” Binar sempat menatap heran. “Loh, pamit kemana?" “Mau booking kamar.” jawab Fady ringan, berusaha terdengar wajar. “Ngga mungkin tidur sekamar kan? Lagian kamu pasti capek, aku gak mau ganggu waktu istirahat kamu.” Binar mengangguk pelan, tidak menahan, tapi ekspresi matanya sempat berubah sejenak seolah ada rasa iba yang tidak i
Telepon di kamar hotel berdering pelan, membuat Binar yang tengah berbaring terkejut. Ia baru saja menutup laptop, bersiap tidur setelah hari panjang rapat di Bandung. Suaranya serak ketika mengangkat. “Halo?” “Selamat malam, Mbak Binar,” suara sopan dari resepsionis terdengar. “Ada tamu atas nama Fady, katanya ingin menyampaikan sesuatu secara langsung. Apakah diperkenankan untuk kami teruskan?” Binar membeku. Nama itu yang berhari-hari berusaha ia hindari muncul begitu saja, menghantam dadanya tanpa peringatan. “Dia... masih di sana?” “Masih, Mbak. Duduk di area lobi depan lift.” Binar terdiam cukup lama sebelum menjawab singkat, "Suruh naik aja, Mbak. Saya sudah mau istirahat." Suara ketukan di pintu kamar membuat Binar terdiam. Ia baru saja menerima panggilan dari resepsionis dan meski awalnya enggan, entah kenapa langkahnya justru membawanya ke arah pintu itu. Begitu daun pintu terbuka, di sanalah Fady berdiri, dengan raut lelah dan lusuh. “Boleh aku masuk?” t
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Apartemen Binar. Dan dalam tiga hari itu pula, Fady baru benar-benar menyadari bahwa tanpa Binar, hidupnya kesepian. Biasanya, sepulang kerja, jari-jarinya otomatis membuka pesan di ponsel. Mencari satu nama yang selalu ada di daftar paling atas, Binar. Sekadar menanyakan, “Udah makan?” atau, “Kamu capek ga hari ini?” Kini layar itu kosong. Tak ada balasan, tak ada kabar. Kemudian ia mengerti apa yang dirasakan Binar beberapa waktu lalu dan sangat memahami rasa muak itu. Rasanya diabaikan. Rasanya tak dianggap penting. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Di kepalanya, hanya ada satu suara, aku harus perbaiki ini. --- Keesokan harinya, Fady datang ke kantor Binar, tanpa memberi kabar dulu, tidak janji ketemu. Ia hanya menunggu di lobi, membawa kantong kertas berisi makanan kecil yang biasa disukai Binar, roti isi cokelat dan es kopi kesukaannya. Begitu Binar keluar lift, langkahnya terhenti seketika. Tatapannya ka







