Share

Bab 2

Penulis: Bertha
Carlos menggendong Verona dan berjalan keluar dengan langkah besar. Saat melewati pintu, bahunya bertabrakan dengan Tamara, membuat Tamara terhuyung dan jatuh ke ambang pintu.

Rasa sakit di punggung kaki dan betisnya membuatnya secara refleks menggenggam tepi pintu. Berbagai tatapan dari dalam ruangan tertuju padanya, dari menghina sampai mencemooh ....

Namun, Tamara sudah tidak peduli lagi. Dia perlahan berbalik, lalu bersandar pada dinding dan meninggalkan tempat itu dengan susah payah.​

Setibanya di klinik, seorang perawat mengobati lukanya. Saat melihat luka di punggung kakinya, perawat itu terkejut sampai menarik napas. Lepuh di kakinya telah membengkak sepenuhnya, yang terbesar bahkan seukuran roti kecil, sementara yang lainnya seperti untaian mutiara. Sungguh pemandangan yang mengerikan.​

"Astaga! Kok bisa sampai separah ini?" tanya perawat itu dengan kaget.​

Tamara menahan rasa sakitnya sepanjang jalan, sehingga otot-otot wajahnya menjadi kaku dan tidak mampu menjawab sepatah kata pun.

Sambil mengoleskan obat, perawat itu menghela napas dan berkata, "Tadi ada seorang wanita yang juga terkena luka bakar. Dia digendong pacarnya yang sangat panik. Pacarnya memaksa dokter kepala yang turun tangan, padahal kaki wanita itu cuma merah sedikit. Kalau nggak diobati pun akan sembuh sendiri."​

Mendengar itu, hati Tamara dipenuhi kepahitan dan kesedihan. Wanita dengan luka bakar itu, yang datang dengan digendong, pasti adalah Verona. Carlos begitu khawatir hingga perawat pun mengira mereka adalah pasangan.​

"Kalau wanita itu menderita luka sepertimu, mungkin pacarnya akan nangis saking sedihnya," lanjut perawat itu.

Luka seperti dirinya? Tamara melihat lepuh besar yang jernih dan menonjol di punggung kakinya. Jika itu Verona, Carlos mungkin akan langsung mengumpulkan semua ahli terbaik di kota untuk merawatnya.

Namun, ketika itu dirinya, dia ditinggalkan begitu saja, disuruh pergi mencari dokter sendirian tanpa sedikit pun simpati. Perbedaan perlakuan ini jelas begitu mencolok.​

Layar ponsel di tangannya menyala. Tamara melihatnya dan menemukan bahwa itu panggilan dari Carlos. Bukankah dia sedang bersama Verona? Kenapa meneleponnya? Tamara tidak ingin menjawab, jadi dia menaruh ponselnya kembali dengan layar menghadap ke bawah.​

Saat ini, perawat hendak menusuk lepuh terbesar dengan jarum karena ukurannya terlalu besar dan cairan di dalamnya tidak bisa diserap sendiri oleh tubuh.

Pada saat yang sama, Carlos tiba di klinik. Melihat Tamara duduk di tempat tidur, dia langsung bertanya, "Kenapa nggak jawab teleponku?"​

Mendengar suaranya, Tamara terkejut sejenak dan mendongak untuk menatapnya. Dia tidak ingin berdebat dengannya, bahkan tidak ingin berbicara. Jadi, dia hanya menjawab dengan nada datar, "Ponselku dalam mode senyap, aku nggak tahu."​

Carlos melirik ke arah ponselnya yang memang terbalik. Kemarahannya mereda. Saat itu, perawat menoleh menatap Carlos. Bukankah ini pria yang menggendong wanita tadi dengan panik? Dia pun bertanya, "Apa hubunganmu dengan pasien?"​

Carlos hendak menjawab, tetapi suara Verona tiba-tiba terdengar dari belakang. "Carlos, gimana keadaan Tamara?"​

Carlos menoleh ke arahnya, tidak jadi melontarkan kata "suami". Bibirnya bergerak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Tamara menyadari keraguan dan keengganannya. Dia tersenyum sinis dan berinisiatif menjawab, "Kami nggak punya hubungan apa-apa."​

Begitu mendengarnya dan melihat ekspresi tidak acuh di wajah Tamara, Carlos merasa kesal, tetapi dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya kesal.

"Dia istriku," kata Carlos sambil menatap Tamara. "Bukannya kamu sendiri yang ingin menikah denganku? Kenapa nggak mau mengakuinya di depan umum?" Dia mempertanyakan Tamara.​

Tamara menatapnya dengan alis berkerut, merasa bingung sekaligus ironis. Bukankah Carlos yang tidak ingin mengakui pernikahan mereka? Dia hanya membantunya menjawab karena pria itu tampak kesulitan.

Di belakang, wajah Verona menunjukkan keterkejutan dan kesedihan saat mendengar jawaban itu. Kemudian, dia menatap Tamara dengan penuh dendam dan kebencian. Kuku-kukunya yang indah dan berwarna pun menancap di telapak tangannya.​

Perawat itu memandang mereka bertiga dengan tatapan curiga. Setelah memahami hubungan mereka, dia berkata dengan nada tidak ramah kepada Carlos, "Orang yang nggak berkepentingan silakan keluar. Jangan ganggu pekerjaanku."​

Mendengar kata perawat itu, Carlos mengernyit dan hendak berbicara. Saat ini, perawat bergeser sedikit, jadi dia bisa melihat luka di punggung kaki Tamara. Lepuh besar itu tampak begitu mencolok. Seketika, hatinya menegang. Semua kata yang ingin diucapkan pun langsung terlupakan.

Carlos refleks mengulurkan tangan untuk menghalangi Verona yang hendak masuk, juga mendorongnya ke luar. Dia sendiri bergeser sedikit agar tidak menghalangi cahaya di pintu.

Carlos tidak pergi. Dia hanya berdiri menempel pada dinding dan tatapannya yang suram tertuju pada kaki Tamara.

Kulit pada punggung kaki hingga betisnya memerah. Di atas kulit yang merah itu, terbentuk lepuh-lepuh besar, sementara di sekelilingnya terdapat gelembung-gelembung kecil yang memenuhi permukaan kulit.

Perawat menusukkan jarum untuk membuat lubang kecil di salah satu lepuh, lalu menggunakan kain steril untuk menyerap cairan di dalamnya. Tubuh Tamara bergetar sesaat karena rasa sakit.

Dalam pandangan Carlos, Tamara yang menghasut kakeknya agar menikahkan mereka berdua. Selama dua tahun, Carlos memperlakukannya layaknya pajangan. Ini pun pertama kalinya dia menyadari betapa rapuhnya wanita itu.

"Untuk sementara jangan pakai sepatu, jangan banyak bergerak, dan gunakan obat ini tiga kali sehari," ujar perawat itu setelah menusuk lepuh terbesar.

Tamara mengangguk dan hendak berdiri, tetapi rasa sakit di punggung kakinya begitu menyiksa hingga tubuhnya bergetar.

Carlos tiba-tiba melangkah maju dan membungkuk, lalu menggendongnya. Karena kehilangan keseimbangan, Tamara refleks mencengkeram bahunya. Begitu sadar, dia buru-buru menarik tangannya kembali dan berkata, "Turunkan aku."

"Pegang yang erat. Kalau jatuh, jangan salahkan aku," balas Carlos. Dia mengubah gendongannya dari kedua tangan menjadi satu tangan, membuat Tamara tidak punya pilihan selain merangkul lehernya agar tidak terjatuh. Dengan tangan yang satu lagi, Carlos mengambil sandal dan ponsel Tamara.

Tamara menatap wajah Carlos dari samping. Bibirnya terkatup rapat. Dia tidak lagi berusaha melawan.

Dia tahu tindakan Carlos ini sama sekali tidak mengandung kasih sayang. Ini hanya rasa bersalah yang datang terlambat setelah melihatnya terluka.

Atau mungkin, dia hanya takut kakeknya, Arham, akan tahu dan menyalahkannya. Makanya, dia mencoba memperbaiki keadaan.

Carlos membawa Tamara keluar. Di luar pintu, Verona melihat pemandangan itu dan berusaha menampilkan senyuman. Dia bertanya dengan nada perhatian, "Tamara, kamu baik-baik saja?"

Tatapan Tamara dingin. Dia tidak menjawab sepatah kata pun, sama sekali tidak berniat ikut serta dalam sandiwara ini.

Namun, Carlos justru menjawab, "Verona, kaki Tamara terluka dan dia nggak bisa jalan. Aku harus menggendongnya."

Verona tetap tersenyum, lalu berucap, "Nggak perlu dijelaskan. Tamara istrimu, sudah seharusnya kamu menggendongnya, apalagi dia sedang terluka."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku Mati Bersama Kontrak yang Usai   Bab 136

    Tamara menoleh dan berkata, "Maaf, Kak Jacob. Nanti aku akan jelaskan semuanya padamu."Saat itu, Arham menatap pemuda di samping Tamara. Wajahnya penuh lebam dan memar. Arham mengerutkan dahi dan berkata, "Ini ... bekas pukulan Carlos?"Jacob menatap pria tua itu, lalu mengangguk dan memberi salam, "Halo, Pak Arham. Namaku Jacob. Dulu kita pernah bertemu saat kompetisi Universitas Asahi, Anda saat itu menjadi sponsor dan juri."Arham mengamati wajah pemuda itu. Dia merasa wajah Jacob tampak tidak asing dan berkata, "Aku ingat kamu. Anak muda yang sangat berbakat.""Maafkan aku, cucuku sampai berani memukulmu. Kalau kamu butuh ganti rugi atau kompensasi lainnya, bilang saja.""Nggak perlu, ini cuma kesalahpahaman. Satpam datang tepat waktu, aku juga nggak mengalami luka serius," jawab Jacob tenang. "Selain itu, aku akan membuat surat pernyataan damai, jadi Bapak nggak perlu khawatir," tambahnya.Mendengar hal itu, Arham memandangi pemuda ini lebih saksama. Kemudian, dia bersiap melangk

  • Cintaku Mati Bersama Kontrak yang Usai   Bab 135

    Tamara hanya berkata, "Dia ingin memperbaiki hubungan hanya untuk balas dendam. Waktu aku mengajukan cerai sebelumnya, dia menolak. Katanya dia akan menyiksaku seumur hidup dan nggak akan memberiku kebebasan.""Bukan begitu, aku nggak ...." Carlos buru-buru menggeleng, menatap Tamara."Itu kata-katamu sendiri, sekarang kamu nggak mau mengaku? Mau kupanggil Verona sebagai saksinya?" sindir Tamara."Aku ... aku cuma sekadar ngomong dulu, tapi sekarang aku benar-benar nggak bermaksud begitu! Aku bukan ingin balas dendam padamu, aku ...." Carlos mencoba membela diri, tetapi kedua tangannya sudah diborgol oleh polisi."Aku menyukaimu ...."Akhirnya, kata-kata yang menyatakan isi hatinya itu pun keluar dari mulutnya. Carlos dibawa pergi oleh polisi, tetapi dia masih menoleh memandang Tamara.Sayangnya, Tamara bahkan tidak menoleh sedikit pun, seolah-olah tidak mendengar apa-apa.Saat Carlos sudah naik ke mobil polisi, Tamara hanya berdiri terpaku di tempat. Kedua tangannya mengepal kuat agar

  • Cintaku Mati Bersama Kontrak yang Usai   Bab 134

    Jacob berdiri dengan dipapah oleh satpam. Dia memandang Tamara yang menatapnya cemas, lalu berkata dengan suara terengah-engah, "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku masih sanggup menahannya."Tamara mendekati Jacob, bahkan menyentuh lengannya untuk membantunya berdiri. Semua ini membuat Carlos kembali marah dan berusaha mendorong satpam agar bisa mendekati mereka. Dia ingin menghancurkan pria sialan itu. Dia ingin membunuhnya!Ketiga pria berbadan kekar itu menghalanginya. Sementara itu, Tamara berbalik perlahan dan menatap Carlos, lalu melangkah mendekat."Dia pria yang kamu sukai selama ini, bukan? Pria yang kamu telepon waktu itu!" teriak Carlos penuh kemarahan dan cemburu.Tamara bahkan membawa-bawa buku harian itu setelah menikah. Orang yang dicintainya diam-diam selama SMA ... apakah pria ini orangnya?"Tamara, apa kamu pernah menyukaiku sedikit saja? Sedikit saja!" teriak Carlos. Suaranya serak dan bergetar."Aku sudah bilang sejak awal, nggak pernah," jawab Tamara dengan dat

  • Cintaku Mati Bersama Kontrak yang Usai   Bab 133

    Begitu mendengar panggilan itu, rasanya kemarahan dalam diri Carlos langsung meledak. Dia langsung menjadi tegang. Bahkan tidak sempat mengaitkan sabuk pengaman, dia hanya menutup pintu mobil dengan keras dan menguncinya. Dia memutar badan dengan cepat, lalu menatap tajam ke arah sosok yang mendekat.Pria yang sedang berlari ke arah mereka itu, baru saja ditemuinya pagi ini. Kini, saat dia memperhatikan wajah pria itu lebih saksama, Carlos tiba-tiba menyadari sesuatu.Pantas saja wajah itu terasa tidak asing. Ternyata bukan mitra bisnis, melainkan pria yang sering muncul saat Tamara mengikuti lomba waktu berkuliah dulu.Kak Jacob .... Haha, ternyata pria ini. Hari ini benar-benar sial!"Pak Carlos, kenapa kamu ...." Jacob yang sudah sampai di depan mereka mengernyit. Sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya, mendadak sebuah pukulan keras mendarat di wajahnya. Lantaran tidak sempat menghindar, Jacob terkena pukulan telak. Tubuhnya langsung limbung dan nyaris terjatuh.Di dalam mobil,

  • Cintaku Mati Bersama Kontrak yang Usai   Bab 132

    Carlos hanya ingin secepatnya membawa Tamara masuk ke mobil. Setelah sampai di rumah, dia bisa bicara apa pun yang perlu dibicarakan. Dia tidak akan membiarkan Tamara bersembunyi lagi."Lepaskan aku! Cepat lepaskan aku!" teriak Tamara sambil berusaha keras melepaskan tangannya. Tubuhnya ditarik hingga terhuyung-huyung. Namun, bahkan setelah dicubit atau dicakar Tamara hingga punggung tangannya meninggalkan bekas kuku, Carlos tetap tidak bergerak sedikit pun."Gila! Sebenarnya kamu mau apa? Lepaskan atau aku teriak minta tolong!" Tamara mulai terdesak hingga panik melihat sekelilingnya untuk mencari bantuan."Teriak saja, aku cuma bawa istriku pulang ke rumah, siapa yang berani melarang?" Carlos membalas dengan galak.Mendengar sebutan itu, Tamara merasa muak dan kulit kepalanya seakan-akan merinding. Dia pun mengangkat kaki dan menendang betis pria itu. Namun, dengan satu kaki yang melangkah dan satu kaki lainnya berusaha menendang, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh ke

  • Cintaku Mati Bersama Kontrak yang Usai   Bab 131

    Sudah larut malam, tapi si gila Carlos ini ternyata masih menunggunya! Telepon semalam benar-benar sia-sia. "Kamu salah orang," bisik Tamara dengan suara rendah, lalu berusaha menarik tangannya."Aku nggak akan salah orang! Mau kamu berubah jadi abu sekalipun, aku tetap bisa mengenalimu. Tunjukkan wajahmu kalau berani!" desis Carlos sambil menggertakkan gigi.Dari mencengkeram satu tangan, dia beralih mencengkeram kedua lengan gadis itu dengan kuat hingga membuat Tamara mengerutkan alis kesakitan.Tamara mencoba mencari cara untuk melepaskan diri, atau setidaknya menekan tombol panggilan darurat di ponsel. Namun, cengkeraman Carlos membuatnya mustahil melepaskan diri.Ditambah lagi, dia memakai sepatu hak tinggi. Karena ditarik-tarik begitu saja, tubuhnya oleng hingga terjatuh ke belakang.Punggungnya membentur dada pria itu. Carlos segera memanfaatkan kesempatan itu untuk merenggut kacamatanya. Begitu melihat tatapan gadis itu yang penuh kepanikan dan amarah, Carlos langsung yakin 100

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status