Share

04. Kisah Erick

"Aku antar kamu pulang," pemuda itu berucap tegas.

"Tapi ...."

"Nggak ada tapi-tapian. Kamu mau ketemu preman lagi kayak tadi?" Kali ini ia menatapku tajam, tak ingin perintahnya ditolak.

Ini jelas bukan sebuah permintaan atau penawaran, tapi perintah.

Entah bagaimana ceritanya Erick bisa datang menyelamatkanku. Eloknya lagi dia bisa membawa serta dua orang pemuda gagah berseragam tentara bersamanya.

Terang saja ketiga preman tadi tidak mampu berkutik. Mereka cuma bisa cengengesan dan menjauh satu langkah dariku.

"Eh, sorry ye, Tong. Tadi kite cuma ngobrol bentar ame cewek loe, kagak kite apa-apain bener, masih utuh. Hehe," ucap si kepala preman sambil cengengesan. Lalu mereka mundur teratur meninggalkan kami.

Erick bisa seheroik itu ternyata. Rasanya kayak aku jadi seorang puteri yang diculik penjahat, terus diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih. So sweet banget 'kan?

Tapi sayangnya aku masih kesal sama dia, jadinya so sweet-nya dianulir saja. Sikapnya menyebalkan: melambungkan angan-anganku sampai ke langit, lalu menjatuhkanku kembali ke bumi tanpa perasaan.

"Buruan naik," kata Erick yang sudah siap di atas sepeda motornya. "Kamu mau naik sendiri atau... mau aku bantuin?"

Ada penekanan tersendiri di tiga kata terakhirnya, seperti ingin menggodaku. Setelah sekian minggu dia bersikap dingin padaku, aku melihat lagi seringaian nakalnya.

Oh, Tuhan. Aku baru sadar kalau aku merindukan kejahilannya. Sepi banget hidupku tanpa Erick.

Tanpa protes lagi aku naik ke motornya, ketimbang nanti dia bantuin tapi malah jadi modus untuk menggendong aku ala bridal style macam di novel-novel itu. Bisa-bisa aku malah halusinasi jadi pengantin, kan bahaya.

Ah, mikir apa sih aku ini? Hanya karena sedikit digoda aku kembali goyah. Ah, payah! Sadar, Velove!

Ini kali pertama aku naik motor bersama cowok yang aku suka. Rasanya tuh seperti semua yang menyebalkan kemarin lenyap dalam sekejap mata.

Eh, tapi aku kan belum menyebutkan alamatku, memangnya Erick tahu aku tinggal di mana? Tahu ah, aku malas untuk bertanya, masih canggung rasanya. Jadi aku ikut saja, percaya dia bukan orang jahat.

Belum lama kami jalan, Erick menghentikan kendaraannya di depan sebuah rumah makan Padang.

"Mau ngapain ke sini?" tanyaku heran. Perasaan Bu Wiwin tidak bilang kalau panti asuhan kami pindah tempat.

"Ngapain? Mau beli mur baut," jawab Erick seenaknya.

"Hah?" Aku semakin melongo dibuatnya.

"Ya mau makan lah, Neng. Memang kamu nggak lapar dari tadi siang cuma minum air putih?"

"Oh."

Aku tersipu malu. Ya ampun, Erick ternyata diam-diam memperhatikan aku, dia tahu aku tidak makan siang hari ini. Aku memang lapar, mungkin karena ini kerja otakku jadi sedikit melambat.

"Ayo masuk. Makan saja, aku yang bayar." Tanpa permisi dia menarik tanganku dan mengajakku memasuki warung makan itu.

Walaupun masih ada rasa canggung, aku menerima traktiran Erick. "Terima kasih, Rick. Aku memang sudah kelaparan dari tadi. Sekali lagi makasih, ya."

"Aku tahu, aku kan selalu mengawasimu." Erick menatapku misterius, namun sekejap kemudian dia fokus pada makanannya.

Dengan lahap ia menyantap nasi padang dengan rendang sapi di hadapannya. Sepertinya bukan hanya aku yang lapar, tetapi aku tak bisa makan secepat Erick.

Hanya dalam sepuluh menit lelaki itu telah menghabiskan makanannya.

"Mamaku meninggal hampir tiga tahun lalu," ujarnya tiba-tiba membuka percakapan.

Tunggu! Apakah Erick berniat curhat kepadaku? Kenapa begitu tiba-tiba bicara tentang mamanya yang sudah meninggal?

"Sedih banget, aku sama sekali nggak tahu kalau Mama selama ini menahan rasa sakit. Wanita itu selalu tersenyum, rasanya aku tidak percaya sewaktu tahu kondisi penyakit Mama sudah parah, dan tak lama kemudian Mama meninggal," kisahnya sedikit sendu.

Duh, kok tiba-tiba jadi sedih gini? Aku yang memang sedang tidak enak makan, jadi semakin lambat mengunyah makananku.

"Yang bikin aku marah, ternyata Papa sudah tahu kalau kondisi Mama tidak baik, tapi Papa tidak mau memberi perhatian lebih pada Mama. Seandainya Papa lebih peduli pada Mama, pasti sekarang Mama masih hidup." Ucapan Erick penuh penyesalan dan kepedihan.

Aku bingung harus berkomentar apa, jadi aku hanya mendengarkan. Setelah meneguk minumannya, Erick melanjutkan kembali ceritanya.

"Sejak saat itu aku marah kepada Papa. Dulu aku adalah siswa yang berprestasi, namun sejak Mama meninggal aku jadi malas belajar. Aku sering bolos, atau kalaupun aku masuk kelas aku hanya ingin bermain-main dengan teman-teman cewek, aku nggak pernah serius belajar, hingga nilaiku jeblok dan aku sempat tinggal kelas dua kali."

"Erick ...." Aku coba menginterupsi omongannya.

Pembicaraan Erick makin serius. Aku takut kalau Erick akan melibatkanku secara emosi, sedangkan hubunganku dengan dia cuma sebatas teman. Bagaimana kalau perasaanku jadi semakin terikat padanya? Aku nggak ingin membangun harapan palsu, sudah cukup kemarin-kemarin aku merasakan cinta bertepuk sebelah tangan.

Namun, tampaknya lelaki ini memang sudah bertekad untuk membuka semuanya kepadaku. Tanpa kuminta ia menceritakan kisah kelam dalam kehidupannya.

"Setelah kejadian memalukan itu, Papa mengajak aku bicara baik-baik. Papa meminta maaf, yah, semacam itulah kira-kira. Aku menerima dan memutuskan bahwa aku harus naik kelas di tahun ajaran itu, jadi aku belajar sungguh-sungguh dan berhasil. Tapi Papa kembali membuat aku kecewa, karena tiba-tiba Papa menikah dengan wanita yang tidak aku sukai, yang usianya hanya sedikit lebih tua dari kakakku."

Suara Erick terdengar makin sedih. Aku merasa dadaku mulai sesak. Perasaan empati yang membuncah menimbulkan kepiluan di hatiku.

"Aku kembali ke sikap lamaku, suka bolos, malas belajar, dan main-main dengan cewek," tambah Erick. "Sampai akhirnya kepala sekolah yang sudah dua tahun bersabar dengan kelakuanku, menghubungi Papa dan mengatakan bahwa aku akan di-DO. Papa malu. Papa marah besar kepadaku."

Si Jarjit terkekeh sendiri, seolah senang bisa membuat papanya kalang kabut. Yang kudengar hubungan antara anak dan orang tua bisa sedekat ini, sangat menyayangi seperti teman dekat, lalu berubah jadi kesal seperti sedang menghadapi musuh paling menjengkelkan.

"Papa memohon pada kepala sekolah supaya aku dibiarkan pindah ke sekolah lain, Papa sampai memohon-mohon, hingga kepala sekolah setuju. Jadilah aku dipindahkan ke sekolah kita," terangnya sembari tersenyum kepadaku.

Walah, ternyata begitu ceritanya. Rupanya apa yang Nina katakan waktu itu benar adanya. Sahabatku itu tampaknya memang cocok menjadi wartawan gosip.

"Awalnya aku berniat untuk tetap menjadi pembangkang di sekolah yang baru. Aku akan tetap suka bolos, malas belajar, dan main-main dengan cewek."

Erick menjeda perkataannya. Lalu secara tiba-tiba dia menoleh kepadaku dan menatapku sungguh-sungguh. Niatku ingin membalas tatapannya, tetapi aku malah jadi salah tingkah sendiri.

Kembali Erick mengucapkan kalimat yang membuat anganku melambung tinggi. "Tapi semua rencana itu berubah sejak aku mengenal kamu, Love."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status