Share

03. Bukan Permainan

Sejak hari itu Erick mulai mendekati aku. Lelaki itu tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk menggangguku, entah melalui senyuman, perkataan hingga perhatian.

Aku yang awalnya menilai dia sebagai tukang tebar pesona, tiba-tiba menjadi bodoh dan membiarkannya. Entahlah, senyuman dan tatapannya yang membius itu seolah sudah melumpuhkan akal sehatku.

Ada-ada saja kelakuannya. Saat aku sedang fokus belajar, dia meletakkan kepalanya di meja dengan posisi miring menghadap aku. Lantas dia akan memandangiku sambil senyum-senyum nggak jelas. Aku jadi salah tingkah.

Kalau kutanya, "Ngapain sih ngelihatin aku terus?" dia akan menjawab, "Karena kamu cantik, Love." Lalu aku tersipu dan semakin salah tingkah.

Gila saja, aku yang selalu menjaga diri agar tidak dekat dengan cowok manapun, bahkan sering bersikap ketus jika ada yang mendekati, justru sekarang seperti terkena hipnotis Erick, dan tak mampu menolak rayuannya.

Saat awal perkenalan dia memanggilku 'Love', bagian dari namaku itulah yang akhirnya biasa dia gunakan untuk menyebutku. Bagaimana aku tidak baper coba dipanggil dengan sebutan semesra itu?

Erick juga punya modus lain. Di jam istirahat, saat dia tidak ke kantin, lelaki muda itu tiba-tiba bertanya padaku tentang pelajaran yang katanya sulit ia pahami. "Love, tadi yang diterangin sama Pak Anwar itu gimana sih? Aku kurang paham."

Tanpa menaruh curiga sedikitpun aku menerangkan kepadanya, tapi dia malah kembali memandangiku bahkan beberapa kali menyenggol tanganku dengan tangannya, seolah-olah itu satu tindakan yang tidak sengaja.

"Kamu ini gimana sih? Katanya minta diterangin, tapi malah nggak fokus, ngelihatin aku terus?" tanyaku dengan nada sewot. Lama-lama kesal juga kalau aku sudah serius bantuin Erick, tapi dia malah seenaknya gitu.

Dengan santai cowok itu menjawab, "Aku 'kan lagi perhatiin kamu yang nerangin. Jago juga ya, sudah seperti guru saja," dalihnya tanpa menyiratkan penyesalan.

"Alasan saja! Kalau memang kamu memperhatikan penjelasanku tadi, coba kerjakan soal nomor lima," tantangku sengit. Aku yakin dia pasti kebingungan dan tidak bisa mengerjakannya. Cowok player kayak dia yang pernah tinggal kelas dua kali, ngerti apa sih tentang pelajaran sulit macam ini?

Namun, di luar dugaan Aliando rasa balado itu bisa menyelesaikan soal sulit itu dengan cepat. Dan aku hanya bisa terbengong-bengong.

"Kok bisa ...?" cicitku tak habis pikir.

"Jelas bisa dong, 'kan kamu neranginnya dengan cinta dan kesabaran," jawabnya sembari menyentuh daguku dan sedikit mendorongnya naik. "Mulutnya ditutup, Love, nanti ada kecoa masuk lho." Kemudian dengan santai dia melenggang ke luar kelas bersama seringaian jahilnya.

Rasanya aku ingin membenturkan kepalaku ke tembok saking malunya.

Dia juga sering memberi aku makanan atau minuman. Sepertinya Erick tahu kantongku yang tipis tak kuasa memanjakan lidahku dengan makanan di kantin setiap hari.

"Ini bayaran karena kamu sudah nerangin soal matematika yang sulit kemarin," katanya, membuatku tak kuasa menolak.

Tapi yang paling membuatku besar kepala dan yakin bahwa Erick suka padaku adalah kenyataan bahwa dia hanya mendekati aku. Berarti dia bukan playboy seperti pemikiranku semula.

Pernah satu kali aku melihat Merry, siswi paling modis dari kelas sebelah menggoda Erick, tapi cowok itu mengabaikannya. Cewek-cewek lain yang mendekatinya pun hanya ia balas dengan senyuman seperlunya.

Anganku sudah terbang ke mana-mana, bahkan kadang aku membayangkan Erick menyatakan cinta kepadaku dan meminta aku jadi pacarnya. Ih, gila memang! Aku bahkan mulai mengabaikan prinsip untuk tidak berpacaran dulu sebelum lulus sekolah.

Aku jadi sering senyum-senyum sendiri karena membayangkan sikap Erick yang manis, hingga ditegur oleh Nina atau Sandra.

"Woy, sadar! Kesambet loe, Vel?" tanya Nina mengagetkanku.

"Halah, biasa, yang lagi kasmaran sama Aliando," timpal Sandra yang membuat Nina terbahak.

"Nah, apa gue bilang, kemakan omongan loe sendiri kan? Jatuh hati juga loe sama si Jarjit."

"Ish ...," desisku tak sanggup menyangkal. Wajahku pasti merona, karena rasanya begitu panas.

"Kok Jarjit sih, Nin? Orang ganteng gitu kok." Sandra yang polos memang sering tidak memahami jalan pikiran Nina yang penuh imajinasi. Aku sendiri juga penasaran sih kok Erick bisa disebut 'Jarjit' sama si Nina.

"Jelaslah! Nama tengahnya kan 'Marvelous, Marvelous'. Wakakakak." Nina ngakak setelah menirukan teman Upin Ipin tersebut.

Astaga! Ada-ada saja sih, Nin!

Mereka berdua mendesak aku untuk menceritakan tentang aku dan Erick. Jadilah aku curhat sama mereka.

"Kalau dari yang gue lihat nih ya, doi kayaknya emang naksir sama elo, Vel. Gue sama Sandra dukung deh," ucap Nina yang diamini dengan anggukan Sandra.

"Makasih, ya. Kalian emang sahabat terbaik gue."

Dukungan Nina dan Sandra membuat aku semakin yakin dengan Erick. Hari-hariku terasa semakin indah.

Akan tetapi angan-angan itu harus kandas di tengah jalan.

Secara mengejutkan Erick berubah sikap. Dia tidak lagi tersenyum kepadaku, tidak lagi bersikap mesra, apalagi memberi perhatian lebih.

Aku mencoba mencari tahu jika ada kesalahan yang aku lakukan, tapi aku tak menemukannya.

"Kamu kenapa sih jadi begitu sama aku?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Gengsi sebenarnya, tapi aku tidak kuat terus dipermainkan kayak gini.

"Memangnya aku kenapa sama kamu?" dia balik bertanya dengan nada dingin.

"Ya ... kamu beda aja." Duh, aku tidak mungkin mengatakan aku kehilangan perhatian dia.

"Nggak ada yang beda, dari dulu juga aku gini kok," jawabnya tanpa menunjukkan perasaan apapun.

Sakit banget hatiku mendengar jawabannya, tapi aku berupaya menutupinya. Aku tak ingin terlihat lemah, apalagi perasaanku sampai diketahui oleh Erick. Jangan sampai!

'Sadar, Velove, dia itu playboy. Palingan kemarin dia cuma tebar pesona sama kamu, nggak lebih dari itu,' batinku menegur, berupaya menyadarkan diriku sendiri yang kebanyakan halu.

Bahkan saat secara tidak sengaja penghapus Erick jatuh dari meja, dan aku mengambilkannya, tanggapannya hanya berupa dengusan, buang muka. Jangankan memandang, melirikku pun dia tidak mau.

Dasar, Jarjit!

Tapi yang paling bikin aku sakit hati adalah sikapnya yang secara tiba-tiba jadi akrab dengan cewek-cewek lain di depan mataku.

Erick secara terang-terangan bercanda akrab dengan Merry yang selama ini selalu ia hindari.

"Kamu tahu nggak bedanya kamu dan lantai porcelain di ruang kepala sekolah?"

"Apa tuh?" Merry menanggapi Erick dengan genit.

"Kalau lantai porcelain di ruang kepala sekolah tuh kinclong. Kalau kamu bening, cantik, dan kinclong."

"Ah, kamu bisa saja sih, Rick." Lalu mereka tertawa bersama, seolah mengejek aku yang lewat di situ.

Hatiku rasanya bagai teriris sembilu, pedih banget. Tapi aku menegarkan diri sendiri agar tidak menangis.

Mungkin memang lebih baik aku melupakan Erick, tidak ada yang bisa diharapkan dari lelaki penggoda seperti dia.

"Kamu sama Erick kenapa?" Di satu kesempatan Nina mencoba mengajakku bicara. Rupanya dia memperhatikan perubahan sikap kami.

"Nggak tahulah, Nin. Tiba-tiba aja dia cuek sama gue, entah salah gue apa."

"Emang nggak jelas si Jarjit itu," geram Nina.

"Biarinlah, aku capek, Nin. Lebih baik aku hentikan sekarang daripada semakin lama, aku semakin sakit hati. Mendingan aku fokus sama ulangan umum yang semakin mendekat." Aku mencoba tersenyum guna membesarkan hati Nina.

Biarpun Nina kadang suka ngomong seenaknya, dia sahabat yang paling peka dan perhatian. Dia bisa melihat bahwa aku telah jatuh cinta kepada Erick, hanya untuk patah hati dalam waktu singkat.

"Hmm, sabar ya, Vel. Bisa jadi Erick sedang mencoba memahami perasaannya sendiri ke kamu. Selama ini mungkin dia tidak sadar kalau dia sudah beneran naksir kamu, dipikirnya kamu sama dengan cewek-cewek yang lain, ternyata ada yang beda. Dua tiga kue basah, hati Jarjit jadi gelisah."

"Hahaha. Apaan sih, Nin?"

Nina memang termasuk orang yang berpikiran dewasa. Kadang dia bisa sangat bijaksana, nggak seperti pembawaannya yang pecicilan. Pecicilan tapi lucu, sih, dan bisa menghibur sahabatnya.

"Sudahlah, Nin. Aku udah nggak ngarep kok. Aku cuma mau ngarep bisa dapat nilai bagus di ulangan umum," ucapku yakin.

Sahabatku itu mengacungkan jempolnya kepadaku.

Dengan dukungan Nina aku kembali berfokus pada studiku. Dia selalu berupaya menemani dan menyemangati aku. Tak kupedulikan lagi Erick yang bersikap cuek sedingin kulkas lima pintu.

Waktu terus berlalu dan masa ulangan umum semakin mendekat. Banyak tugas yang harus kami kerjakan.

Hingga suatu hari aku dan Nina mengerjakan tugas bersama seusai sekolah sampai hari menjelang sore.

"Duh, masih ada nggak ya angkot yang menuju rumah? Udah sore nih," desah Nina saat kami berjalan bersama menuju terminal angkot.

"Harusnya sih masih. Nah, itu masih ada satu, Nin," seruku sembari menunjuk mobil angkot yang menuju daerah tempat tinggal Nina.

"Bang, tungguin!!" Nina berlari menuju mobil angkot yang akan membawanya pulang.

"Kamu gimana, Vel? Angkotmu masih lama nggak? Duh, aku nggak bisa nemenin, mesti cepat pulang nih karena aku harus jagain adikku di rumah," sesal Nina yang malam ini harus ditinggal ibunya menjaga neneknya yang sedang opname di rumah sakit.

"Nggak apa-apa, Nin. Duluan saja, paling bentar lagi angkotku datang."

"Hati-hati ya, Vel. Jaga diri," teriak Nina yang berlalu bersama mobil angkotnya.

"Kamu juga." Aku melambaikan tangan kepadanya.

Suasana terminal angkot sore itu sebenarnya masih cukup ramai, tapi entah mengapa aku mulai merasa tidak nyaman, terutama saat ada tiga pemuda mendekatiku.

Tampang mereka seperti preman. Mereka tertawa menyeringai saat melihatku.

"Sendirian aja, Neng?"

"Mau Abang temani?"

Aku tidak berpikir mereka akan berani melakukan kejahatan di tempat umum, tapi mana tahu aku dilecehkan sama mereka. Aku takut.

Mereka semakin merapat kepadaku, bahkan ada yang berani mencolek lenganku.

"Jangan macam-macam, Bang. Nanti saya teriak lho," ancamku galak, padahal aku sudah ketakutan setengah mati.

"Alah, tenang saja, Neng. Orang-orang sini sudah pada kenal kami. Kalau Neng ikut Abang nanti kita bisa senang-senang; mau makan, mau belanja, Abang bayarin, deh. Betul kan, teman-teman?" kata pemuda berkaos merah yang tampaknya pemimpin mereka.

"Betul! Hahaha." Kedua temannya menimpali.

Makin ngeri saja aku jadinya. 'Oh, Tuhan, tolonglah hamba,' rapalku dalam hati. Detak jantungku rasanya tidak karuan.

Kemudian seperti keajaiban pertolongan datang.

"Sayang, kamu di sini rupanya. Dari tadi aku nyariin kamu," seru seseorang mendekati kami.

Aku dan ketiga preman itu menoleh ke sumber suara. Jantungku semakin berdetak kencang, namun kali ini karena alasan yang berbeda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status