"Velove, ditungguin tuh sama Pierce Brosnan di dekat pintu, seperti biasa...!" seru salah seorang teman penyanyi di kafe.Perkataan Mbak Sasha yang terkesan sambil lalu itu membuatku tersenyum. "Kok Pierce Brosnan sih, Mbak?" tanyaku sambil nyengir kuda."Ya dong, tua-tua masih ganteng kan Pierce Brosnan itu. James Bond gitu loh," jawabnya kalem. Wanita ini memang penggemar berat film 007, jadi kalau Mas Vincent disamakan dengan aktor idolanya itu berarti ia menyukainya. "Temanku kan belum tua, Mbak," kilahku."Bisa dibayangin kalau sudah tua Mas James Bond-mu ini pasti masih ganteng," tambah Mbak Sasha makin antusias."Tom Cruise saja, Sha, biar Mission Impossible," sahut Mbak Jeje tidak mau kalah. "Mbak Je, Mbak Sasha kan pilih Randy Pangalila," kekehku menggoda teman penyanyiku itu yang langsung tersenyum lebar. Ia memang istri dari Mas Randy, sang keyboardis Kafe Edelweis. Tentu saja nama belakangnya bukan Pangalila. "Ada apa ini panggil-panggil nama saya? Sudah kangen ya?" Demi
"Apaan sih tiba-tiba nanya kayak gitu? Nggak penting banget!" gerutuku menanggapi pertanyaan Erick yang memojokkanku."Nggak usah ngelak deh, kamu suka kan sama Vincent? Wallpaper di handphone-mu saja foto dia, sama Ricky pula. Seenaknya saja mengganti aku yang papa kandung Ricky, dengan laki-laki lain," tuduh Erick dengan suara yang terdengar geram. Waduh, matilah diriku! Kok dia bisa tahu tentang wallpaper itu? Aku memang nggak menggantinya karena buatku itu nggak penting, aku pun jarang memperhatikannya. "Erick, aku kan sudah bilang, fakta bahwa kamu bapak kandung Ricky nggak akan berubah. Memangnya aku bisa secara ajaib mengubah DNA Ricky darimu menjadi DNA dari pria lain? Dan kenapa wallpaper di ponselku adalah foto Mas Vincent, karena ponsel itu dari dia. Aku nggak mengubah apapun di dalamnya sejak awal dia memberikan ponsel itu. Lagian apa urusannya perasaanku sama kamu? Aku suka sama siapapun itu pilihanku, Rick. Kamu nggak berhak ikut campur." "Tentu saja ada, urusannya san
Kehidupanku yang biasa dan nggak banyak warna, dalam sekejap jadi luar biasa semenjak tinggal di rusun ini. Luar biasa dalam arti positif dan negatif. Positif karena aku bisa menemukan tempat berlindung untukku dan anakku, dan orang-orang yang sayang padaku seperti keluarga Ibu Berta, juga Mbak Ugi yang masih sesekali menyempatkan diri menengok Ricky. Ditambah tetangga sebelah tentunya, walaupun untuk sementara ini aku menetapkan jarak yang aman. Negatif karena tidak semua orang suka kepadaku. Yah, apa yang bisa mereka harapkan dari seorang wanita pelarian sepertiku? Aku tak memiliki apapun untuk dibanggakan.Awalnya sih mereka beriba hati padaku. "Aduh, kasihan sekali! Masih muda sudah diceraikan suaminya." Seseorang menyatakan keibaannya setelah mengetahui nasibku."Pasti berat ya mencari nafkah sendiri, dan membesarkan anak," begitu yang lain menunjukkan keprihatinan."Anaknya cacat pula. Bagaimana itu nanti kalau besar anaknya tidak bisa mendengar? Repot minta ampun!" Bukan hany
Dear Pembaca, Semoga Anda (saya sebut Kakak saja ya) dalam keadaaan sehat dan berbahagia. Terima kasih untuk Kakak yang sudah membaca dan terus mengikuti kelanjutan novel "Cinta dengan Restu" (CDR) ini. Bagi yang sekadar menengok pun tetap saya hargai. Saya ingin sedikit bercerita tentang awal saya menulis di GN. Saya orang yang suka membaca, dan suka bercerita/ngobrol dengan teman atau sahabat, namun tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk menjadi seorang penulis novel. Di GN lah debut saya sebagai penulis. Kala itu sekitar bulan April 2021, seorang sahabat yang menjadi Editor Akuisisi (EA) di GN bercerita tentang menulis di GN, mencari penulis, juga lomba menulis novel di GN. Dari situ saya berpikir untuk mencoba menulis juga. Setelah mencari ide cerita, saya mulai menulis sekitar akhir Mei 2021. Setelah mendapat banyak bimbingan dari EA,
"Erick ...," pekikku tertahan. Aku tak kuasa menahan rasa haru yang meluap-luap di hati. Perasaan rindu yang sekian tahun aku pendam, akhirnya terbayarkan hari ini. "Semoga mulai hari ini, dari tempat ini, kamu lebih bisa menjalani hidupmu tanpa beban, Love," ucap pria itu dengan senyuman dan sorot mata lembut. Sejak pertemuan terakhir kami, Erick memilih berdiam diri selama beberapa hari, ia tidak datang ke rusun atau menghubungiku sama sekali. Sepertinya ia berupaya merenungkan apa yang mungkin salah dalam upayanya mendapatkan hatiku kembali sehingga yang terjadi bukannya kami berbaikan, tapi malah jadi ribut. 'Love, aku banyak berpikir tiga hari ini. Aku sadar sekarang, aku egois. Harusnya aku lebih ngertiin perasaan kamu. Demi anak kita dan demi cinta yang pernah kita bangun, aku akan mencoba memperbaiki diri. Aku akan menjadi papa yang baik untuk Ricky, dan pria yang baik untukmu. Tolong jangan cabut kesempatan yang sudah kamu janjikan ya, aku akan melakukan yang terbaik,' tul
"Waktu itu Erick datang ke panti dengan wajah kusut, dan bertanya tentang keberadaanmu. Ibu sudah curiga ada yang tidak beres. Saat Ibu tanya ia malah menangis," cakap Bu Wiwin memulai ceritanya. Raut wajahnya menyiratkan keseriusan. Memang wajar sih kalau panti menjadi tempat pertama yang Erick datangi untuk mencariku. Sayangnya waktu itu justru aku malah ingin menghindari orang-orang yang aku kenal. Gila memang diriku kala itu! "Setelah ia bisa mengendalikan diri, Erick langsung mengakui dosanya karena telah bermesraan dengan mantan pacarnya di rumah kalian. Ibu sangat marah, teganya ia melakukan itu padamu. Erick memohon-mohon sambil memegang kaki Ibu. Ibu mengusirnya dan melarangnya datang ke sini lagi sebelum berhasil membawa kamu pulang," tutur Bu Wiwin berapi-api. "Dan kenyataannya Erick tidak bisa membawa saya pulang," tambahku. Aku tersenyum kecut. Bu Wiwin menatapku tajam. "Ke mana saja kamu waktu itu, Velove? Bikin geger orang sepanti saja," hardiknya cukup keras. Aku me
Siapa bilang jadi playboy atau playgirl itu menyenangkan? Mungkin bagi orang yang suka dikerumuni lawan jenis yang tergila-gila pada mereka, itu menjadi satu kebanggaan tersendiri. Tapi jauh di dalam hati, aku yakin mereka pasti pusing juga. Aku bukan playgirl, bahkan sama sekali tidak ingin menghadapi pria-pria yang suka menggodaku. Aku justru lebih suka kalau mereka bersikap biasa saja, atau seolah tidak mengenalku, buatku itu lebih baik. Menghadapi Erick dan Mas Vincent saja aku sudah pusing, apalagi ditambah pria lain. Mau bagaimana lagi, tanpa dapat kucegah ada yang menaruh hati padaku, walaupun aku tidak pernah memberi harapan. Kembalinya Erick dalam kehidupanku tidak hanya bikin heboh para penggosip di rusun. Orang yang tinggal jauh dari rusun pun tiba-tiba jadi terusik. "Mak, Bang Rio bilang mau pulang hari Minggu nanti, ambil cuti katanya jadi bisa di sini lama," ujar Selvi kepada Bu Berta pada suatu sore. Kebetulan aku dan Ricky juga tengah berada di rumah mereka."Ya sud
"Kak Velo, stop, jangan masuk sini! Gantian di depan dong," sergah Selvi saat aku hendak duduk di kursi belakang mobil Mas Vincent. Gadis itu bahkan menggunakan kedua tangannya untuk menghalangiku. Meskipun ia tak mungkin memukul atau menyakitiku, sorot matanya terlihat garang. Gadis itu serius melarangku duduk bersamanya di tengah."Eh, aku kan mesti nemenin Ricky, Vi. Ricky itu kan anakku, sudah seharusnya aku menjaganya, kenapa kamu larang?" keluhku memprotes sikapnya. Kok jadi aneh sih anak ini? Kan sudah biasa kalau kami bepergian naik mobil, aku selalu di belakang bersama Bu Berta dan Ricky. Siang ini keluarga besar 201-203 pergi bersama main ke mall, Mas Vincent mau traktir kami makan karena dia baru dapat bonus. Keluarga besar sih, tapi isinya cuma lima orang. "Heleh, berdalih saja Kakak ini. Ricky anak baik pasti maulah aku temani sama Mamak, biasa pula kami main bareng. Sekali-kali lah Kakak nemenin pak sopir. Hihi." Selvi mengerling manja, menggodaku.Walah! Jadi ini maks