Budhe Ning dan Bu Ratmi menoleh secara bersamaan ke arah Ayu yang tengah membawa nampan. Kedua wanita paruh baya ini tersenyum pada Ayu seolah tak terjadi apa-apa. Sang Ibu justru memanggil putrinya dan menyuruh untuk duduk di dekatnya.
“Sini, Nduk!” panggil Bu Ratmi kemudian menggeser duduknya dan menepuk-nepuk sisi di sampingnya.
Dengan sedikit gondok, Ayu pun menuruti Ibunya, melirik ke arah Danang yang duduk dengan mata mulai memerah. Pasti sakit sekali apa yang dirasakan oleh Danang. Ayu sendiri juga merasa sakit hati dengan apa yang barusan diucapkan oleh Ibunya.
“Bu, kenapa Ibu ngomong gitu? Ibu dan Budhe nggak serius kan dengan yang tadi?” tanya Ayu setengah merengek.
“Ora serius piye to Nduk (Tidak serius bagaimana, Nak), ya jelas Budhe dan Ibumu serius dengan apa yang kami katakan,” kata Budhe Ning mengambil alih.
Ayu menoleh
Budhe Ning terus saja bicara tentang kebaikan lelaki yang akan dijodohkan dengan Ayu. Di mata wanita paruh baya ini, sosok lelaki yang akan dikenalkan padanya adalah sosok yang sempurna. Terlebih lagi saat membahas tentang weton yang dimiliki oleh lelaki itu.Ingin sekali Ayu menutup dua telinganya dengan telapak tangan. Mungkin juga ingin segera pergi dari tempat mereka berkumpul. Namun jika hal itu dilakukan, tentu saja akan menimbulkan keributan nantinya.Yang bisa dilakukan Ayu hanya diam berdiri dan mendengarkan perkataan kedua wanita paruh baya itu hingga selesai. Setelah mereka selesai barulah Ayu bisa menjawab ucapan mereka.“Wira itu secara bibit, bobot, bebetnya jelas dan semuanya baik. Dia punya usaha hotel yang ramai, tentunya dia bakal bisa menghidupimu. Keluarganya terhormat, dari keturunan yang baik dan yang paling penting hitungan weton kalian itu cocok Nduk,” jelas Budhe Ning.
Bu Ratmi mencoba untuk mengejar Ayu yang melangkah lebar menuju kamar tidurnya. Bagaimanapun putrinya harus mengerti dan sepaham dengan dirinya. Namun baru bergerak selangkah Budhe Ning sudah mencegah dengan menyentuh pundak Ibu Ayu.“Mi, udah biarin aja, namanya anak lagi dimabuk cinta ya begitu itu, percuma saja ngomong sama dia pasti nggak akan didengarkan. Ini semua pasti karena pengaruh dari laki-laki itu!” cergah Budhe Ning.“Sepertinya begitu Mbak Yu,” jawab Bu Ratmi kemudian kembali duduk di sofa.Budhe Ning pun mengambil ponsel dari dalam saku dan menghubungi kenalannya melalui pesan di aplikasi hijau.“Sik yo dhik, aku tak nelpon wong tuwone Wira, njaluk potone (Sebentar ya dhik, aku mau telepon orang tuanya Wira buat minta fotonya),” kata Budhe Ning yang disambut antusias oleh Bu Ratmi.Budhe Ning pun mulai berbasa-basi dengan Bu Las
Karena tak kunjung dapat balasan dari Danang, Ayu pun berinisiatif untuk mendatangi kekasihnya itu ke kantornya dan membawakan sarapan favoritnya, pecel ndeso sajian kuliner khas kota Solo yang berisi nasi merah, sayuran lengkap dengan sambal wijennya. Tak lupa Ayu membawakan tempe mendoan dan peyek kacang sebagai pelengkap.“Mas … Mas Danang!” panggil Ayu saat melihat kekasih hatinya sudah turun dari mobil sedannya.Mau tak mau Danang pun berhenti dan menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Perempuan yang dikasihnya berdiri di sana dengan seragam putih khas rumah sakit yang dibalut cardigan biru muda.Sebenarnya ia malas untuk bertemu Ayu kali ini, tapi karena ini di kantor dan sudah banyak rekan kerjanya yang datang maka ia pun menemui Ayu.“Kamu ada apa ke sini?” tanya Danang.“Aku pengin ngobrol sama Mas,” pinta Ayu.
Setelah mengantarkan gadisnya menuju mobil, Danang pun melangkah dengan lebar-lebar, tak ingin terlambat mengkuti pertemuan pagi, apalagi ia juga belum sempat sarapan.Harus diakui kalau ia memang beruntung mendapatkan kiriman dari Ayu. Danang memang tak pernah sarapan di rumah saat bekerja, demi mengejar waktu. Setidaknya jika sarapan di kantor, ia masih bisa absen lebih awal dan tidak khawatir akan terlambat, meskipun menu yang disajikan itu-itu saja.Danang langsung membawa bekal pemeberian Ayu ke pantry dan menikmati pecel ndeso kesukaannya.“Wuih enake,” gumam Danang mulai menyantap sarapan paginya.“Selamat pagi Pak Danang, kayaknya enak banget tuh,” suara seorang perempuan mengejutkannya.“Pagi Bu Dinda, sarapan dulu Bu,” kata Danang berbasa-basi.Dinda adalah rekan satu divisi dengannya. Sebenarnya dia anak orang ka
Ayu mengangguk hormat dan melemparkan senyum pada seorang wanita yang nyaris berpapasan di rumahnya. Wanita itu begitu anggun dengan gambis berwarna kalem dan beraksen rample batik pada bagian bawahnya. Jilbab yang dikenakan berwarna senada, tanpa aksesoris dan variasi jilbab yang beraneka macam model. Namun kesemuanya tak meninggalkan kesan elegan.Ini pertama kalinya Ayu melihat sosok wanita di hadapannya, dan tentunya ia merasa asing. Namun atas nama kesopanan dan keramahan ia pun menunduk hormat. Apalagi, di belakang wanita ini Ibu dan Budhenya terlihat begitu akrab.“Baru pulang Nduk?” tanya Bu Ratmi.“Njih (Ya) Bu,” jawab Ayu dengan sopan.“Ini kenalin temennya Budhe Ning Bu Lastri, Ibunya Wira,” tunjuk Bu Ratmi.Kemudian wanita paruh baya ini pun melirik ke arah tamunya yang anggun dan mulai membicarakan tentang Ayu putrinya.&nbs
“Yu, sini sebentar!” panggil Ibunya yang tengah menikmati sajian teh kental khas kota Solo.Hampir saja perempuan ini melengos saat Ibunya memanggil. Seakan ia sudah tahu apa yang akan disampaikan oleh Ibunya kali ini, apalagi kalau bukan masalah perjodohannya dengan lelaki pilihan ibunya.“Njih Bu, wonten napa (Iya, Bu ada apa)?” tanya Ayu dengan sopan.Walaupun ia sudah menduga kemana arah pembicaraan mereka kali ini, tapi Ayu tetap berusaha untuk bersikap sopan, dan berharap dugaannya salah.“Duduk dulu Yu,” kata Ibu memintanya untuk mengambil tempat berseberangan dengannya.Bu Ratmi pun menoleh dan mengangguk pada kakaknya. Wanita paruh baya ini sengaja memberi kesempatan pada kakaknya untuk menyampaikan sesuatu yang sepertinya tidak perlu untuk ditunda-tunda lagi.“Yu, Bu Lastri tadi bilang sama Budhe dan Ibumu,
Dengan sabar dan telaten, Danang membantu Dinda untuk memberikan solusi. Rekan kerjanya belum juga mencapai setengah dari target bulanannya.“Hmmm jadi begitu ya Bu Dinda,” kata Danang sambil mengangguk-angguk setelah mendengarkan cerita bagaimana Bu Dinda menawarkan produk investasi dari bank tempat mereka bekerja.“Mmm cara saya salah ya Pak?” tanya Bu Dinda sambil menunduk menyembunyikan wajahnya.Tampaknya Dinda malu setelah menceritakan caranya yang menggunakan metode hard selling yang tentunya akan membuat calon nasabah kabur. Sembenarnya bukan ia tak mengerti tentang soft selling yang sekarang sangat ideal digunakan oleh para sales, tapi inilah cara agar ia bisa berdekatan dengan Danang.“Oh nggak … nggak kok,” balas Danang sambil melayangkan tangan di udara.“Oh, tapi kenapa susah banget buat closing ya? Padahal ya aduh gim
Ekspresi canggung tak dapat disembunyikan oleh Danang saat harus duduk berdua dengan Dinda, rekan sekerjanya. Pemuda berkulit sawo matang itu makan dengan cepat dan berharap agar bisa segera selesai dan pulang ke rumah. Berbeda dengan Dinda, momen ini justru dirasanya begitu istimewa. Sepertinya ia mengambil kesempatan untuk bisa berlama-lama dengan rekan sekerjanya ini. Uhuk! Danang terbatuk lantaran ia makan dengan cepat, seperti tidak sempat mengunyah. Buru-buru Dinda membuka tutup botol air mineral milik Danang dan memberikannya pada lelaki itu. “Minum dulu Pak, kayaknya keburu banget. Emang ada apaan sih?” tanya Dinda mulai mencoba menarik perhatiannya. “Aduh alasan apa ya, nggak mungkin juga aku ngomong yang sebenarnya,” batin Danang. “Nggak,” jawab Danang. “Atau Bapak tidak nyaman ngobrol dengan saya? Memangnya saya salah ya Pak ngajak Bapa