Share

Bibir Menipis; Tatapan Tajam

Mereka berhenti di depan toko baju. Tuan Oya sudah melangkah masuk, Airi mengikutinya dari belakangnya tanpa tahu tujuannya datang ke sana.

Pria dengan rambut ikalnya itu terus berjalan sampai akhirnya dia berhenti di bagian gaun. Gaun yang panjang, pendek, lengan panjang, lengan pendek, tidak berlengan, dan segala macam bentuk kerahnya tertata rapi di sana.

"Pilih satu gaun."

Airi menatap Tuan Oya tidak percaya. Maksudnya memilih, untuk apa?

"Kenapa harus Oya-san?" tanya Airi menyebalkan.

"Hanya tersisa waktu kurang dari satu jam. Kita harus sampai sebelum pers dimulai."

"Astaga! Kamu serius?"

"Tentu saja, Eri. Pilih satu." Tuan Oya mendekatkan bibirnya ke telinga Airi. "Dan pastikan itu membuat cintaku makin bertambah."

"Apa tanpa gaun yang ada di sini, cinta itu akan berkurang?" Airi berkacak pinggang.

Mereka belum bersama. Tapi dengan seenak diri pria berkacamata itu membahas tentang cinta yang bertambah.

"Tidak. Tapi aku menyukai saat bisa membelanjakanmu."

Airi menghela napas. Dia tidak akan menang jika terus keras kepala. Jadi mengangguk dan segera berjalan menyusuri jajaran pakaian di sana. Seorang pelayan mendatangi, mencoba membantu Airi.

"Apakah Anda sedang mencari sesuatu?" tanya si pelayan sopan.

"Ah, ya. Apa ada gaun dengan warna silver?"

"Kebetulan edisi terbaru ada dengan apa yang Nona inginkan."

"Edisi terbaru? Oh, tidak. Aku—"

"Berikan itu kepadanya," sela Tuan Oya.

"Oya-san? Sejak kapan mengikuti aku?"

"Kamu selalu dalam pandanganku, Eri."

"Hih! Aku merinding!" Airi bergidik seolah bulu kuduknya meremang.

***

Airi menjadi yang paling bersinar saat yang katanya penghormatan untuk Tuan Keiko, nyatanya hanya pertemuan biasa para pebisnis. Banyak pria paruh baya dengan wajah yang tidak asing baginya. Airi mencaritahu begitu sampai ke rumahnya.

Duduk bersandar ke ranjang, matanya menatap lekat wallpaper ponsel yang tidak pernah dia ganti sejak 7 tahun lalu.

"Jika orang-orang tadi dan Tuan Oya yang adalah kuncinya berteman, mungkin berkas itu ada hubungannya sama para pengusaha di sini."

Pikiran Airi mulai berkelana. Mencoba mengingat perkataan asisten sang papah.

"Saat itu Nona diculik, Tuan besar hanya bisa mengorbankan waktunya untuk mencari Nona. Selain tidak mendapatkan tender diincar, Tuan besar juga mendapatkan banyak gugatan karena dianggap membohongi massa dengan janji-janjinya."

"Emmm, dengan kata lain ...." Airi berusaha mengurai praduga yang ada. "Ada seseorang yang bermain di penculikan saat itu."

"Ya, aku sangat yakin begitu!" tandas Airi.

Dia lalu menghubungi seorang pria dengan jarak ribuan kilometer darinya. Pria yang katanya akan selalu menjadi teman Airi apa pun yang terjadi.

Satu kali.

Dua kali.

Sampai sepuluh kali Airi menghubungi, tidak juga mendapatkan jawaban.

Dan di sisi lain, seorang pria dengan topeng menutupi matanya tengah duduk di kursi kebesarannya. Berpuluh-puluh orang berdiri dengan tegak di depannya.

"Sudah selesai semua?" tanyanya datar.

"Sudah Bos." 2 orang yang paling depan menjawab kompak, yang lain memberi jalan saat mendengar derap si tubuh tambun dari belakang.

Kulitnya yang legam seperti kebanyakan orang dari Afrika. Langkah kaki besar dia jalankan. Sampai tiba di depan si bos. Dia membungkuk memberi hormat, melepaskan apa yang tangannya bawa.

"Bagaimana?" tanya si bos ke pria berkulit hitam itu.

"Sudah diselesaikan Bos." Dia membuka koper. Di dalamnya terdapat tubuh seorang pria yang dibuat membungkuk, dengan luka bakar di hampir seluruh kulitnya.

"Segera lakukan seperti biasa." Si bos itu berdiri. "Kita akan datang mengunjungi mereka."

"Ya, Bos," teriak yang lainnya kompak.

Karena tidak mungkin menunjukkan diri di siang hari saat pemakaman besok, semua anggota keluarganya yang berada di ibu kota Negeri Sakura itu ikut si bos memberikan penghormatan terkahir untuk Keiko.

Belasan mobil berwarna hitam mulai membelah jalanan. Mengikuti mobil si bos yang memimpin.

"Aku benar-benar kesal!"

Tung!

Ciiiit ....

Seorang gadis berhasil menghentikan mobil si bos. Botol minuman kaleng bekas itu mengenai bumper depan. Pria yang berada di kursi supir segera ingin beranjak dan mendatangi gadis itu.

Klik!

Suara seatbelt dari yang dikenakan bosnya membuat pria di kursi supir mengurungkan niat.

"Hey gadis! Apa mabukmu akan selalu membawa padaku?" tanya pria yang sudah melepas topengnya itu.

Gadis dengan wajah Semerah tomat itu mengangkat kepalanya. Tak ada satu detik, tubuhnya lunglai. Jatuh tepat di pelukan si pria.

"Merepotkan." Pria itu berdecak.

Satu lengannya menjulur mengelilingi punggung si gadis, lengan lainnya berada di belakang lutut bersiap membawa tubuh itu dalam gendongannya.

"Eeumm ...." Gadis itu bergumam panjang, yang lalu mengangkat kedua tangan. Mengalungkan tepat di leher si pria.

"Benar-benar menarik," gumam si pria. Bibirnya menipis seraya memberikan tatapan tajam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status