Share

Setelah Pertemuan

Hening lama. Hanya ada dentingan jam yang menemani kesunyian.

"Airi."

"Eh, i–iya?"

"Sebelum menjawab, apa kamu tau siapa aku?"

Airi kembali diam. Bergeming. Memutar bola matanya mencari objek yang bisa matanya pijaki. Tidak lama anggukan dia berikan.

"Ya, penerus Oyama Group yang siap menjadi pengusaha muda sukses selanjutnya," jawab Airi mencoba riang, berbanding terbalik dengannya yang tadi terlena dalam tatapan pria yang melepas kacamata itu.

Dia tentu mengenal Tuan Oya seperti yang dikatakan para polisi kemarin. Pria yang saat ini di usia akhir dua puluhan itu sedang berjalan nanjak pada karir bisnisnya.

Sayang sekali harus tersandung karena masalah kematian Keiko, si pria yang ternyata pengusaha muda itu digadangkan akan menjadi mitra bisnis dan menjanjikan kesuksesan bagi perusahaan Oyama Group.

"Apa sungguh mengenal? Mengapa di pikiranmu itu selalu ada uang?"

"Cih." Airi jadi menoleh ke si pria. "Hidup itu harus realistis."

Airi membuka matanya lebar-lebar. Bersikap angkuh. Berharap Tuan Oya percaya dengan kalimatnya barusan.

"Baiklah. Jika tentang uang, kamu tidak akan langsung memberikan tendangan itu pada Tuan Keiko, mengingat siapa pria itu."

"Kamu tau tentang malam itu?" tanya Airi, jadi mengerutkan kening serta mata yang menyipit.

Pria berambut ikal di depannya meloloskan tawa kecil.

"Ayolah, apa ada yang tidak tau tentang kalian?"

Airi buru-buru menunduk, jadi tidak tahu saat Tuan Oya tersenyum menyeringai.

"Ya, itu kesalahan temanku karena memposting foto saat tangan Keiko menyentuh bokongku," ucapnya lirih.

"Apa kamu nyaman membicarakan ini?" Nadanya seolah mencemooh Airi?

Keterlaluan! Airi langsung mendengus sebal, memburu Tuan Oya dengan pukulan ringan di dada bidang pria itu.

***

Secangkir susu putih tersaji di mejanya. Dalam gelas panjang yang Airi yakini pria itu sangat menyukai susu.

"Seperti anak kecil," gumam Airi.

Dia sudah berganti pakaian dengan kemeja putih milik Tuan Oya. Dari semua pakaian pria itu yang berwarna hitam, hanya ada 2 kemeja putih dan satu kemeja berwarna hijau gelap.

"Oya-san!" panggil Airi melambaikan tangannya.

"Hati-hati," ucap lirih Tuan Oya.

"Hai, apa menikmati suasana pagi ini adalah satu kebiasaanmu?"

Tuk!

"Mengapa kamu sangat penasaran?" tanya Tuan Oya, mengangkat wajahnya agar bisa menatap langsung mata Airi.

"Hemp, itu ..., aku juga ingin." Airi meraih gelas berisi susu dan meneguknya cepat.

"Hati-hati Eri."

"Huh!" Airi menaruh kembali gelas yang masih ada isinya itu.

Di depan mata si gadis, Tuan Oya meraih gelas susu itu dan meminumnya tepat di mana jejak lipstik Airi berada.

"Manis," ucap pria itu.

"Aaaakh ..., kenapa harus begitu Tuan?" Airi tampak frustrasi.

Dia jelas mengetahui jika meminum dalam gelas yang sama adalah ciuman bibir secara tidak langsung. Airi sering melihatnya dari serial drama yang ditonton, bagaimana bisa saat ini dia mengalaminya sendiri?

"Hanya ingin minum," balas Tuan Oya seakan tak peduli.

Pria itu pergi dengan wajah datar. Padahal tanpa diminta, bibirnya menipiskan senyuman.

"Oh iya." Dia tiba-tiba memutar tubuhnya karena teringat sesuatu.

Pandangan mata langsung tertuju pada gadis yang masih bergeming di tempatnya. Hening sejenak. Tuan Oya terpaku pada sudut bibir Airi yang tersisa cairan putih.

Langkah kaki dibawa kembali mendekati Airi.

"Tentang konprensi pers kematian Tuan Keiko, acaranya siang ini."

"Apa aku terbawa dan harus hadir?" tanya Airi, tersadar dari lamunannya.

Tuon Oya menggeleng, lalu mengangguk. "Kematiannya akan dinyatakan bunuh diri, tapi kamu harus datang untuk bertemu dengan pebisnis yang akan mengakuisisi perusahaan Tuan Keiko."

Airi mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia mengerti di balik rencana yang dipikirkan pria yang hari ini mengajaknya untuk bersama.

"Tapi, kenapa harus bunuh diri? Apa sudah ada bukti? Bukannya semacam dibakar?"

"Itu bukan luka bakar, Eri."

Airi diam. Sebelumnya tidak pernah terlibat permasalahan yang merepotkan. Bekas luka bakar pun Airi tidak terlalu paham seperti apa bentuknya.

"Eri, apa pernah melihat Tuan Keiko mempunyai musuh?"

Airi cepat menggeleng. "Aku hanya mengenalnya di hari sebelum bertemu. Dan sialnya, kenapa dia tidak melakukan panggilan apa-apa setelah bertemu denganku?"

"Lalu tentang tanda di sini." Tuan Oya menyentuh dadanya sendiri. "Kapan kamu mengetahuinya?"

"Dia menggugah foto sebelum pertemuan kami. Saat dia berada di pesta kolam renang."

Tuan Oya mangut-mangut. Sepertinya mengetahui sesuatu.

"Bertahan lah. Kami pasti bisa menghapus kamu sebagai pelaku, juga menghapus tuduhan bunuh diri."

"Apa Oya-san bisa menjamin namaku akan bersih?"

"Ya, aku akan menjaminnya."

Bibir si gadis mengulas senyuman tipis. Mengangguk, lalu pamit untuk kembali ke dalam. Dia akan berada di perpustakaan pribadi milik rumah itu.

"Aku akan menyusul."

Airi mengangguk, langkahnya meninggalkan Tuan Oya.

Pria yang sudah kembali mengenakan kacamatanya ini merasa muak. Entah permainan siapa. Ia diam memikirkan sesuatu. Merogoh ponsel dan segera mengubungi seseorang. Menempelkan ponselnya ke telinga.

"Halo Kime," sapa pria itu ke seberang telepon.

"Sampaikan, kita maju setelah pertemuan selesai."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status