Kereta api berhenti di Stasiun Gambir Jakarta Pusat, saat hari menjelang malam. Semua penumpang berebutan turun. Tetapi Panji dan Amanda tidak buru-buru keluar, karena memang di pintu keluar gerbong memang sangat padat. Sambil menunggu kerumunan orang itu mereda, Panji kembali menyandarkan badannya ke sandaran kursi yang ia duduki.
"Abis ini cari makan dulu, ya," kata Amanda, sembali menyimpuni beberapa barang yang sempat dikeluarkannya selama perjalanan. Cermin untuk memeriksa wajahnya agar tetap cantik dan bersih, juga beberapa buku, yang malah tidak terlalu diperhatikan, karena sepanjang kereta berjalan, yang ada Panji selalu mengajaknya bicara. Katanya takut pada mabuk perjalanan. Mereka akui, ini pertama kalinya naik kereta api untuk perjalanan yang sangat jauh.
Panji hanya menyahut, "He-em." Kelihatan capeknya. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. "Eh, Yank." Ia menatap Amanda dan mengajaknya bicara serius.
"Apa?" tanya Amanda. Ia juga merasa ada hal penting yang ingin Panji katakan.
"Kita itu belum tahu mau tinggal di mana, loh!" Kenapa ini laki-laki baru terpikirkan soal ini sekarang? Setelah sepanjang jalan isinya bergombal ria, sok-sok berpuisi saat melihat pemandangan indah di sepanjang jalan tadi?
"Coba hayo, kita mau tinggal di mana?" Amanda tampak santai saja menjawab kepanikan Panji yang datang terlambat itu.
Panji langsung berdiri, dia panik sendiri. "Ayo, cepetan turun. Gak jadi laper, deh. Malah bingung."
"Bingung kenapa?" tanya Amanda yang masih saja bersikap santai.
"Loh, kita mau tinggal di mana kalau gak mikir dari sekarang?" Panji mengungkapkan kepikirannya.
Amanda tidak tahan. Ia tertawa. "Duduk lagi, deh! Itu masih rame orang di pintu. Aku gak mau jatuh trus keinjek-injek orang." Ia menarik Panji agar kembali duduk di kursinya. "Aku itu punya kerabat di Jakarta. Kakaknya Ayah."
Panji melongo. Tampak sedikit lega. "Aku boleh ikut nginep di sana?"
"Kamu beruntung, Yank. Budhe itu mengelola banyak rumah kontrakan. Kamu bisa tinggal di salah satu rumahnya. Tapi jangan lupa bayar."
Kepanikan pun sirna, berganti dengan senyum. "Baiklah, Sayang! Aku lega, dan..." Perutnya pun mulai konser. "... laper."
Amanda gemas. Ia mencubit dagu Panji. "Kamu, nih..."
Setelah ruang di pintu keluar gerbong lebih lengang, mereka pun turun.
Tangan kanan Panji menyeret kopernya. Sedangkan tangan kiri menggandeng tangan Amanda. Gadis itu juga tangan yang lain memanggul sebuah tas berisi pakaian, dan ada selempang tas kecil berisi uang dan benda-benda kecil lainnya.
"Nanti kamu bilang ke Budhe, aku siapamu?" tanya Panji, ketika mereka tiba di depan sebuah gang, berjalan menuju ke rumah kerabat kekasihnya.
"Aku gak biasa bohong sama keluarga. Ya, karena kamu pacar aku, begitulah aku akan bilang." Amanda menjawab dengan santai.
Mereka berjalan berdua membelah kesunyian malam. Kok bisa kemalaman? Karena mereka terlalu lama makan di warung pinggir di jalan, ditambah guyonan Panji yang selalu saja berinovasi. Amanda memegang secarik kertas berisikan alamat rumah sang Budhe, yang didapat dari sepupunya yang bernama Vero, anaknya sang Budhe. Sesuai dengan yang tertulis, rumah Budhe terletak paling ujung di gang ini. Paling besar dan berlantai dua. Amanda memeriksa waktu di arlojinya. Masih pukul delapan malam, semoga belum pada tidur.
Sampailah mereka berdua di depan rumah yang mereka cari. Amanda belum pernah ke sini. Hanya keluarga Budhe yang beberapa kali pulang ke Jember saat liburan panjang. Bahkan, waktu ayahnya meninggal, sang Budhe tidak bisa pulang karena banyak sebab. Hanya sempat menelepon ke telepon tetangga untuk mengucapkan bela sungkawa.
Amanda melangkah masuk ke dalam halaman rumah yang pintu pagarnya masih belum ditutup rapat. Terdengar suara samar dari acara televisi. Panji mengikuti di belakangnya.
Tangan kanan Amanda menekan bel pintu berwarna merah yang letaknya di kisi-kisi pintu rumah itu. "Ting tong!" Begitu bunyinya.
"Iya, sebentar!" sahut suara seorang perempuan dari dalam.
Amanda hafal suara itu. Suaranya Vero. Meski bisa dibilang jarang bertemu, tetapi telepon terakhir saat mereka membahas soal Amanda mau Ke Jakarta, membuat gadis itu bisa mengingat suara sang sepupu, yang usianya sebaya dengannya.
Pintu yang terbuat dari kayu mahoni berukir khas Jepara itu terbuka. Vero melihat Amanda berdiri di depannya. "Manda!!" Ia begitu antusias menyebut nama sepupunya. Langsung memeluk gadis itu. "Mama, Manda dateng, nih!"
Kemudian, seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan keluar dari kamarnya, mengenakan daster. Ia menyambut Amanda. "Astaga, Cah Ayu! Akhirnya sampai juga kamu ke sini. Ayo, masuk." Ia mempersilakan Amanda dan Panji masuk ke dalam ruang tamunya yang luas, terdiri dari satu set sofa berlapis kulit berwarna cokelat, dan meja kayu dengan papan kaca, berlapis taplak motif kotak-kotak, dan satu vas berisi bunga palsu. "Vero memang bilang kamu sudah berangkat, makanya Budhe suruh dia siapin kamar buat kamu. Budhe sempet khawatir kamu nyasar."
Amanda tersenyum. "Ya, sempet nanya-nanya orang tadi, Budhe, sampai akhirnya ketemu gang ini."
"Syukurlah," ucap wanita bernama Puspa itu. Lantas ia melihat Panji yang sedari tadi hanya menyimak, setelah salim padanya dan duduk di sebelah Amanda. "Ini Den Bagus siapa, Manda?"
"Oh iya, sampai lupa," ucap Amanda. "Budhe, kenalin, dia Panji, ehm..."
"Pacarmu, ya?" Vero datang membawa nampan berisi minuman dan langsung main tebak.
Amanda mengangguk. "Iya. Pacar aku."
Puspa tersenyum. "Terima kasih ya, Le, sudah nemenin Manda sampai ke sini. Manda sudah gak punya orang tua. Tapi masih punya kamu, suatu keberkahan tersendiri yang Budhe rasakan. Gak terlalu khawatir, gitu."
"Budhe jangan khawatir. Saya sama Manda saling menjaga satu sama lain," ujar Panji.
"Ya udah. Ini sudah malem, kalian pasti capek karena perjalanan jauh. Manda bisa istirahat di kamarnya Vero, Nak Panji di kamar tamu samping, ya. Besok baru dibahas rencana-rencana ke depan." Begitu kata Puspa.
Vero dengan senang hati mengajak Manda istirahat di kamarnya. Membantunya membawakan tas. Sedangkan Panji sudah lebih dulu pergi ke kamar tamu yang dimaksud, dengan diantar oleh Puspa.
"Oh ya, Vero, Pak Dhe kok gak kelihatan?" tanya Amanda, ketika sudah bebersih diri dan mau tidur.
"Papa sama Mas Gibran pergi ke Lampung nganterin barang," jawab Vero. Selain punya bisnis kontrakan, orang tua Vero punya pabrik sepatu lokal, dan barangnya didistribusikan di sekitaran Jakarta, Jawa Barat hingga ke Lampung. "Eh, itu pacarmu, ganteng yo!" Mendadak Vero bahas Panji.
"Ya, dong," kata Amanda. "Dia itu segalanya buat aku." Lalu ia berbaring, memeluk guling. "Kamu sendiri, sudah ganti pacar berapa kali, nih?"
"Enak aja ganti pacar berapa kali." Vero tertawa pelan. "Aku itu belum pernah pacaran. Meskipun ada beberapa temen sekolah yang sempet naksir. Tapi aku belumlah mau mikirin gitu, Nda. Masih fokus ama ujian masuk universitas ini."
"Pilih dia yang sayang sama kamu, peduli, dan perhatian," kata Amanda dengan suara khas orang capek, tapi terdengar serius.
Vero tersenyum. Sepertinya sudah ada seseorang yang ia pikirkan. "Ada sih, yang seperti itu. Tapi aku..." Ia menoleh pada Manda yang ternyata sudah tidur. Mungkin kecapekan. Ia menarikkan selimut untuknya. Meski mereka jarang bertemu, tetapi waktu kecil dulu, sebelum pindah ke Jakarta, mereka adalah saudara yang baik.
Keesokan paginya, semua pemuda dan pemudi itu bangun pagi. Anak-anak perempuan sudah bangun lebih dulu membantu Puspa membuat sarapan. Amanda membuatkan teh hangat untuk Panji. Dia hafal kebiasaan pacarnya itu, kalau pagi harus minum minuman hangat yang manis. Saat masih sekolah, kalau pergi liburan bareng teman-teman mereka, hal seperti itulah yang Panji lakukan, dan Amanda mengingatnya.
"Kamu dan Panji sudah berapa lama pacaran, Nduk?" tanya Puspa, sambil meracik bumbu untuk soto betawi.
"Setahunan, Budhe," jawab Amanda. "Pas masih kelas dua."
"Anaknya kelihatan baik, ya," kata Puspa. "Jarang loh, ada cowok muda begitu mau nemenin ceweknya perjalanan jauh begini."
"Hmm, Budhe," panggil Amanda dengan sopan. "Sebenernya Panji juga mau kuliah di Jakarta ini. Dia mau masuk kedokteran. Tapi belum menemukan tempat tinggal. Kan, Budhe ada bisnis rumah kontrakan, Panji mau ngontrak salah satunya."
Puspa tersenyum. "Untung kamu bilang sekarang. Ada tuh, satu rumah, penghuninya mau mengakhiri masa kontraknya minggu depan. Panji bisa tinggal di sana."
"Beneran, Budhe?" Amanda tidak mengira, permulaan hidup di kota besar bisa semudah ini. Mendapat anggukan bersahaja dari sang budhe. "Budhe, Manda gak tahu harus bilang apa untuk mengungkapkan rasa terima kasih ini."
Puspa masih dengan tersenyum. "Manda, Budhe ini sangat menyayangi kedua orang tuamu, juga kamu. Di awal berbisnis dulu, kalau bukan ibumu yang menjual satu-satunya perhiasan yang dia miliki untuk dipinjamkan ke kami sebagai modal bikin sepatu, mungkin kami tidak bisa seberhasil sekarang. Sudah sepatutnya Budhe membalas kebaikan mereka melalui kamu, anaknya."
Sarapan bersama pagi itu, diisi keceriaan dari guyonan Panji. Pemuda itu begitu cepat akrab dengan keluarga Amanda ini.
"Dulu di sekolah, Manda ini jual mahal banget loh, sama aku. Sekarang, ganti dia yang tergila-gila." Ia bercanda soal awal mula kenal dengan Manda, setelah ditanya oleh Puspa.
"Ih, enak aja. Yang tergila-gila itu loh, siapa?" Amanda menampiknya juga dengan bercanda. "Bo'ong nih, gak usah didengerin."
Vero pun menyahut, "Bilang aja kalau saling tergila-gila satu sama lain!" Menambahkan guyonan renyah bagi mereka semua.
Selesai sarapan, rencananya, Amanda dan Panji mau melihat-lihat pendaftaran kuliah di kampus yang mereka inginkan.
Lalu, Puspa berkata, "Pakai aja motornya Gibran, biar gak usah keluar ongkos bayar taksi. Juga biar gak macet."
Sejoli itu pun tidak menolak. Mereka juga dapat pinjaman helm dari Vero.
"Makasih ya, Budhe," ucap Panji.
Amanda berbonceng pada Panji, menuju kampus kesenian yang Amanda inginkan selama ini.
Amanda sangat bersyukur karena mendapatkan kemudahan demi kemudahan. Tes masuk ke perguruan tinggi juga tidak mengalami kendala yang berarti. Ia berhasil masuk ke sekolah kesenian ternama di Indonesia itu dengan nilai yang baik. Sedangkan Panji juga lolos tes masuk ke fakultas kedokteran yang diimpikannya. Banyak orang bilang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Tidak juga. Lantas, nikmat mana lagi yang mau mereka dustakan? Bukankah keberuntungan setiap orang itu berbeda-beda?
Hari menjelang siang, saat Amanda membantu Panji membersihkan rumah kontrakan pria itu. Rumah yang memang tidak terlalu besar, tetapi nyaman ditinggali. Tidak begitu kotor juga, karena penghuni sebelumnya rajin bebersih. Perabotan penting seperti kasur, peralatan dapur, dan sofa untuk ruang tamu memang sudah disiapkan oleh pemilik kontrakan, yang tidak lain adalah Puspa, budhenya Amanda. Saat sibuk bebersih itu, Puspa datang. "Manda, Panji, gimana? Suka dengan tempatnya?" "Tempatnya bagus, Budhe. Terima kasih," kata Panji. "Lebih dari bagus malah." "Oh ya, nanti air dan listrik, kamu usaha sendiri. Soalnya meterannya beda dengan yang di rumah. Pengontrak yang lain juga gitu." Rupanya Puspa datang untuk membahas hal itu. "Baik, Budhe. Gak papa. Nanti sambil kuliah, Panji juga akan cari kerjaan sampingan." Rencana Panji ini baru banget diketahui oleh Amanda. Memang ada beberapa hal yang tidak diceritakannya pada sang kekasih. "Ya udah. Gimana nyamannya saja. Kalau butuh motor, bisa
Waktu berlalu, tidak terasa, sudah dua tahun Panji dan Amanda berkuliah dan hidup di Jakarta. Panji menjalani kuliahnya yang semakin sibuk, dan pekerjaan sampingan juga menyita waktu. Hampir tidak tersisa waktu untuk berkencan dengan Amanda. Tetapi ia selalu sempatkan setiap malam minggu, atau ketika hari libur, ia akan meninggalkan yang bisa ditinggalkan, demi bisa menumpahkan perhatiannya pada sang kekasih. Sebenarnya kesibukan Amanda juga tidak kalah gila. Di hari biasa ia mengikuti jadwal perkuliahan, sementara di hari libur, Amanda pergi mengikuti jadwal syuting. Benar! Setelah berhasil mementaskan sosok Ibu Fatmawati beberapa tahun lalu di kampus, bakatnya dalam seni peran. Ia jadi sering dapat tawaran untuk syuting iklan atau film televisi, mengisi peran-peran figuran. Lama-lama, dapat jatah peran pendukung. Sebenarnya tawaran membintangi film atau sinetron remaja sebagai pemeran utama banyak datang, hanya saja Amanda sering menolak, karena tidak ingin kuliahnya jadi keteteran.
Menginjak tahun ketiga kuliah kedokteran ini, Panji kian disibukkan dengan kegiatan persiapan Program Profesi Dokter atau biasa disebut dengan koas. "Jadi, ini kamu koas di Bandung, Yank?" tanya Amanda, setelah mendapat kabar itu dari Panji. Bandung memang tidak terlalu jauh. Tetapi namanya berjauhan, apalagi ini dalam waktu yang lama, akan menyebabkan kerinduan panjang. "Koasnya memang dua tahun, pindah-pindah, tapi selama bisa pulang ke sini, aku pasti pulang." Panji coba menghibur kekasihnya. "Aku bukannya gak ingin kamu koas, tapi, aku bakalan kangen banget sama kamu, Yank." Amanda mengungkapkan perasaannya. "Iya, aku tahu. Aku juga pasti kangen banget sama kamu." Ia mengusap kepala Amanda, yang lantas memeluknya. "Kok mendadak jadi manja begini?" candanya. "Kapan lagi bisa meluk kamu, kalo bukan sekarang-sekarang ini?" sahut Amanda, membulatkan suaranya. Panji pun mendekapnya erat. Minggu itu, Panji pun berangkat koas di Bandung. Di sana, program profesi dokternya akan berl
Kereta api memasuki Stasiun Jember di daerah Jemberlor, Patrang. Semua penumpang berangsur turun, termasuk Panji. Ia sudah menelepon adiknya, Pratiwi untuk menjemput. Pulang ke Jember, bagi Panji urusannya bukan hanya mau koas terakhir, tetapi juga ingin berdamai dengan ayahnya, serta mengabarkan soal pertunangannya dengan Amanda. Tampak, seorang gadis berkaos hijau muda dan celana jeans berdiri di depan bangsal kedatangan penumpang. Dialah Pratiwi, adik Panji satu-satunya. Sekarang dia berkuliah di Unej, jurusan ekonomi. Cocoklah, untuk meneruskan perusahaan keluarga. Ia bersama Pak Toha, sopir mereka. "Mas Panji!" panggil Pratiwi, sambil melambaikan tangan. Panji pun menghampirinya. "Udah tadi?" "Barusan aja, kok. Yuk, cepetan pulang!" Pratiwi membantu membawakan tas berisi semacam oleh-oleh gitu. Memasukkannya ke bagasi mobil, berikut dengan tas koper dan tas ranselnya. "Mama bilang, Mas Panji gak boleh mampir-mampir, harus sampai ke rumah." "Lagian yang mau mampir-mampir tuh s
Panji mendapat kabar yang kurang bagus dari Pratiwi. Sebagai dokter, dirinya tahu seberapa parah penyakit yang diidap Padmi, ibunya. Kanker otak, yang sudah naik jadi stadium tiga. Ia segera mengajukan cuti, dan pulang ke Jember. Ia belum sempat memberi tahu Amanda soal ini. Sesampainya di Jember, Panji langsung menemui Padmi di rumah sakit tempatnya di kemoterapi. "Maafin Panji, Ma. Udah bikin Mama marah." Panji memeluk lutut ibunya. "Mama harus sembuh. Panji janji akan menuruti semua keinginan Mama." "Semua?" Padmi memastikan tidak salah dengar. Sepertinya di sinilah Panji mengawali semua kesalahan yang akan ditanggungnya seumur hidup. "Se-semuanya." Panji pasrah, benar-benar menuruti semua keinginan mamanya, termasuk menikahi Selma Hayati, perempuan yang telah dijodohkan dengannya bahkan semenjak mereka belum dilahirkan ke dunia ini. Ia tidak berani memberi tahu Amanda soal ini semua. Ia tidak siap menghadapi kemarahan kekasihnya itu. Ia hanya membiarkan handphone terus berbuny
Amanda segera mendapat pertolongan di ruang UGD. Vero meminta para petugas untuk tidak menceritakan yang terjadi kepada selain yang berhubungan. Yang paling penting adalah harus merahasiakan hal ini dari awak media. Menunggu Amanda ditangani para dokter, Vero menunggu di luar. Datanglah Puspa dan Syamsul. "Gimana kondisi Amanda?" tanya Puspa. Ia sudah tahu apa yang terjadi antara keponakannya dan Panji. "Ma!" Vero menangis, memeluk ibunya. "Kasihan Manda, Ma. Kenapa dia harus mengalami masalah seperti ini, saat karirnya naik, kebahagiaan sudah dalam genggaman tangannya. Kenapa Panji tega melakukan semua ini sama Manda? Salah Manda apa?" "Udah, udah, kamu jangan ikutan down begini. Kita semua harus kuat. Terutama kamu, yang paling dekat sama dia." Puspa menepuk-nepuk pelan punggung Vero, menenangkan anak gadisnya. "Tetap saja, Panji harus memberikan penjelasan pada kita. Kalau pun Amanda gak mau dengar, kita yang mewakili." Begitu kata Syamsul. Sementara itu, Panji tidak tahu haru
Cinta adalah sebuah simbol perasaan yang suci. Siapapun berhak memiliki. Termasuk yang dilarang. Status hubungan Amanda dan Panji memasuki ranah terlarang. Sudah tidak bisa bersatu seperti yang mereka impikan. Tetapi, apakah mereka berdua dapat menerima keputusan takdir? Terutama Panji, tidak! Hari itu, Panji pulang ke rumah kontrakannya, mau mengambil pakaian bersih. Selama Selma masih tinggal di rumahnya, ia lebih memilih tinggal di asrama dokter. Selma menyambutnya. "Mas Panji, kamu sudah pulang? Aku buatkan makan malam, ya?" Perempuan berhijab tengah berusaha melayani suaminya dengan baik. Panji hanya diam, tidak mempedulikannya. Melihat rumah sudah sepi, sepertinya Pratiwi juga sudah pulang ke Jember. Selma sendirian. Selma mengekor di belakangnya, hingga hampir naik ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Panji langsung menyuruhnya berhenti mengikuti. "Jangan pernah naik ke atas, di mana kamarku berada!" "Ke-kenapa memangnya, Mas?" tanya Selma. Sepertinya kali ini Panji haru
Setelah beberapa hari rawat inap, dan memastikan Amanda baik-baik saja, Dokter Iqbal mengizinkannya pulang, untuk menjalani rawat jalan di rumah. Dokter Iqbal berpesan berulang kali pada Panji, kalau untuk sementara ini Amanda tidak boleh mengalami tekanan mental dulu. Jangan memberinya masalah-masalah yang berat. "Lo tahu kan, akibatnya apa?""Iya, gue tahu," kata Panji.Hari itu, Panji membawa Amanda pulang ke apartemennya, yang sudah bersih dan rapi, berkat Vero yang mengatur."Yang, aku boleh makan rujak manis, gak?" tanya Amanda."Belum boleh, Sayang," jawab Panji. "Kamu baru keluar dari rumah sakit. Makan yang healthy food dulu gitu. Aku bikinin salad buah aja, ya?""Ya, Pak Dokter. Pasien nurut." Amanda begitu terlihat manja hari ini. Ia membiarkan Panji membantunya berbaring di tempat tidur."Kamu istirahatlah." Panji membetulkan selimut.Amanda menarik tangan Panji. "Yang...""Hm?" Panji menoleh."Jangan tinggalin aku," kata Amanda.Panji pun duduk di sisi tempat tidur. Memeg