Sebastian menatap Sienna beberapa detik tanpa berkedip. Tatapannya tajam, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
“Katakan sekali lagi,” titahnya.
Sienna mengangkat dagunya. Meski ada gemetar samar di jemarinya yang mengepal di pangkuan, suaranya tetap teguh.
“Aku akan menikah denganmu.”
Keheningan menggantung di ruangan. Detik berikutnya, Sebastian meletakkan cangkir kopinya dengan tenang di atas meja. Suara porselen menyentuh kayu jati terdengar begitu nyaring di tengah atmosfer tegang di antara mereka.
“Akhirnya,” katanya penuh kemenangan. “Pilihan yang masuk akal.”
“Jangan salah mengartikan ini,” balas Sienna cepat. “Ini bukan karena aku setuju denganmu. Ini hanya karena tak ada pilihan yang lebih manusiawi.”
Sebastian tersenyum tipis. “Lagi-lagi logika menyelamatkanmu.”
Sienna mencibir. “Logika, atau jebakan yang kau desain dengan sempurna?”
“Aku hanya mengatur bidak-bidak,” kata Sebastian santai, kemudian berdiri dari duduknya dan melangkah perlahan ke arah Sienna. “Tapi yang melangkah adalah kamu sendiri, Sienna.”
Langkah Sebastian berhenti tepat di samping Sienna. Tangannya menyentuh bahu wanita itu.
Sienna menegang, tapi tak menyingkir. Melawan sentuhan itu hanya akan membuatnya tampak lemah, dan ia menolak terlihat rapuh di hadapan pria penuh kuasa ini.
“Aku ingin pernikahan ini segera disiapkan,” ujar Sebastian tegas. “Kita akan menikah dalam dua minggu.”
Sienna menoleh, menatap pria itu tak percaya. “Dua minggu?”
“Kau sendiri yang bilang kau akan menikah denganku,” jawab Sebastian singkat. “Dan aku tidak suka menunda hal yang pasti.”
“Kau memperlakukanku seperti proyek investasi yang harus dituntaskan sebelum tenggat waktu,” geram Sienna.
Sebastian hanya tersenyum dingin. “Aku menganggap ini seperti misi penting. Dan seperti biasa, aku akan menyelesaikannya dengan sempurna.”
***
Kediaman keluarga Hart berdiri megah di pinggiran kota, dibalut kemewahan yang selalu tampak sedikit dipaksakan. Sienna berdiri di depan pintu utama dengan gugup. Hari ini ia akan memberi tahu orang tuanya tentang pernikahannya dengan Sebastian Dellier.
Begitu pintu terbuka, Stacey langsung menampakkan wajah terkejut yang segera berubah menjadi kemarahan. “Sienna! Ke mana saja kamu—” ucapannya tertahan begitu menyadari keberadaan Sebastian yang tinggi menjulang.
“Aku datang kemari untuk memberi tahu sesuatu. Bisa kita bicara di dalam, Bu?” tanya Sienna, berusaha menahan gemetar dalam suaranya.
Stacey menatapnya tajam, lalu mendengus sebelum mempersilakan keduanya masuk. Di ruang tengah, Gregory Hart—ayah Sienna—sedang duduk santai bersama Lance. Kedua pria itu tampak terkejut melihat Sienna datang bersama pria paling berkuasa di negara ini.
“Aku akan langsung saja,” ucap Sienna melewatkan basa-basi. “Aku akan menikah dengan Sebastian dua minggu lagi.”
Kata-kata itu meledak seperti granat di tengah ruangan. Stacey dan Lance langsung terkejut, sedangkan Gregory menyipitkan mata.
“Menikah?” desis Stacey. “Kau tidak sedang bercanda ‘kan, Sienna? Kau tahu siapa dia? Dia—”
“Dia Sebastian Dellier. Calon suamiku,” potong Sienna tegas. “Dan pernikahan ini sudah diputuskan.”
Stacey tertawa gugup. “Sienna, kami tahu keluarga Dellier itu kuat, tapi kita tidak bisa... kita tidak ….”
Bukan tanpa alasan Stacey tampak keberatan. Meski keluarga Dellier sangat berpengaruh, keluarga Hart tahu bahwa mereka takkan bisa memanfaatkan kekuatan itu untuk keuntungan sendiri. Apa gunanya kekuasaan besar jika tak bisa digunakan?
Sebastian yang sedari tadi bersandar santai, menatap kedua orang tua Sienna dengan dingin sebelum akhirnya mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya.
Selembar cek.
Ia meletakkannya di atas meja kaca dengan gerakan elegan namun menghina. Angka yang tertulis di sana begitu besar, cukup untuk membeli dua rumah Hart yang sombong ini dan masih menyisakan lebih.
“Anggap ini kompensasi karena kalian kehilangan kendali atas hidup Sienna. Dan mulai sekarang, jangan ganggu dia lagi.”
Keheningan seketika menggantung. Stacey menatap cek itu seolah melihat surga. Gregory hanya membatu beberapa detik sebelum menghela napas berat lalu mengangguk.
“Kau sangat murah hati,” gumam Gregory kaku.
Sienna menoleh cepat. Matanya membulat. “Ayah—”
“Kau akan menikah dengannya, ‘kan? Dia bisa memberimu hidup yang layak. Kami tak perlu ikut campur lagi.”
Dalam sekejap, Sebastian berhasil membuat kedua orang tuanya berubah pikiran. Dan entah kenapa, hal itu membuat Sienna merasa terhina!
Sienna menatap kedua orang tuanya. Ada rasa sakit yang menohok menghantam dadanya.
“Kalian benar-benar menjualku?” desis Sienna dengan mata bergetar.
Stacey mengangkat bahu. “Sienna, Sayang, jangan dramatis. Bukankah kau sendiri yang bilang pernikahan ini sudah ditetapkan? Kau yang dengan bangga mengatakan pada kami akan menikah dengannya. Lalu, sikap apa ini sekarang?”
Sebastian melangkah maju. Tatapannya dingin, suaranya tegas. “Sienna bukan barang. Tapi jika kalian bersikeras memperlakukannya demikian, maka aku pastikan dia tak akan pernah kembali ke pasar ini.”
Ia mengulurkan tangan pada Sienna, tapi wanita itu hanya menatapnya tajam, lalu berbalik dan berjalan keluar lebih dulu.
Begitu berada di luar rumah keluarga Hart, Sienna berhenti di teras. Sebastian menyusulnya.
“Kau benar-benar menjatuhkan harga diriku,” gumam Sienna penuh luka. “Di depan Lance. Di depan orang tuaku.”
“Kau bisa pergi,” jawab Sebastian tenang. “Tapi mereka akan tetap menjualmu, hanya saja ke penawar lain. Dan aku tidak akan membiarkan itu.”
Sienna menatap pria itu, mata hazelnya memerah. “Kau pikir caramu lebih baik?”
Sebastian menunduk sedikit, menatap wajah Sienna lekat-lekat. “Tidak lebih baik. Hanya lebih pasti.”
Sienna mendesis kesal. “Dasar psikopat!” umpatnya.
“Terserah,” sahut Sebastian tak peduli. “Setidaknya aku orang yang membawamu keluar dari pelelangan bernama keluarga, Sayang.”
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b
Langkah-langkah Sebastian terasa berat namun mantap saat ia membawa Sienna keluar dari ballroom. Derap sepatunya bergema di lantai, bersaing dengan bisik-bisik tajam yang menyusul di belakang mereka.Tapi ia tidak menoleh. Tidak berhenti. Tidak peduli.Begitu mereka tiba di lantai dasar dan pintu utama hotel terbuka, Brandon sudah berdiri menunggu di pelataran hotel. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu belakang mobil dan menyingkir untuk memberi ruang.Sebastian mengencangkan pelukannya pada tubuh Sienna dan menunduk sedikit saat membawanya masuk.“Hati-hati kepalamu,” bisik pria itu.Ia mendudukkan Sienna di jok belakang dengan sangat hati-hati. Setelah memastikan posisi wanita itu nyaman, Sebastian menyusul masuk dan duduk di sebelahnya.Pintu ditutup. Dan mobil segera meluncur menjauh dari hotel.Sienna menatap lurus ke depan, berusaha menahan diri. Tapi gaun satin yang tadinya membuatnya merasa percaya diri, kini terasa menempel tak nyaman di kulitnya.Sebastian menghela napas,