Sienna membalikkan badan, berniat melangkah pergi sejauh mungkin dari pria yang barusan menyelamatkannya dengan cara yang lebih menyakitkan daripada semua luka masa lalunya.
Tapi langkahnya tertahan ketika suara Sebastian mengudara.
“Dan kau tahu, Sienna… tidak ada jalan untuk kembali setelah ini,” kata Sebastian.
Wanita itu terdiam. Ia menarik napas panjang, lalu menoleh setengah, menatap Sebastian dari sisi bahunya.
“Kalau begitu, pastikan kau tak menyesal telah membeliku, Tuan Dellier.”
Sebastian mengangkat satu alis. “Tidak pernah.”
***
Persiapan pernikahan berlangsung bagai badai. Dalam waktu singkat, nama Sienna Hart dan Sebastian Dellier mendominasi berita utama. Desainer muda dan CEO dingin dengan reputasi cemerlang.
Kisah mereka lebih menarik daripada dongeng mana pun.
Namun di balik kemewahan dan gaun putih rancangan eksklusif, Sienna menjalani hari-harinya dalam tekanan. Tatanan pernikahan mewah dirancang nyaris tanpa campur tangannya.
Di satu malam yang tenang, beberapa hari sebelum pernikahan, Sienna berdiri di balkon kamarnya. Angin malam mengibaskan rambutnya yang panjang. Dalam dekapan malam, ia akhirnya membiarkan air mata jatuh dari pelupuk matanya.
“Tak ada yang benar-benar memilihku sebagai Sienna. Aku selalu dipilih sebagai ‘yang cocok’. ‘Yang tepat’. ‘Yang bisa dipakai’,” gumamnya getir.
Sebastian muncul diam-diam, menatapnya dari ambang pintu.
“Kau menangis?” tanyanya.
Sienna mengusap pipinya dengan cepat. “Tidak.”
Sebastian melangkah mendekat, membiarkan pintu balkon terbuka di belakangnya. “Kau tidak perlu berbohong di hadapanku, Sienna,” katanya pelan.
Sienna menatap lurus ke depan, tak menoleh. “Dan buat apa? Kau hanya akan menilainya sebagai kelemahan.”
Sebastian mendekat lagi, lalu berhenti beberapa langkah dari Sienna. “Kelemahan bukan berarti kehancuran. Justru itu yang membuktikan bahwa kau masih hidup.”
Sienna mengernyit, dan akhirnya menatap pria itu. “Dan kau? Apa kau merasa hidup, Sebastian?”
Hening sejenak. Tatapan Sebastian menajam. “Aku hidup,” katanya datar. “Tapi berbeda denganmu, aku memilih untuk tidak merasakan apa pun.”
Sienna tertawa sinis. “Itu bukan hidup.”
Sebastian tak langsung menjawab. Ia hanya mendekat satu langkah lebih dekat hingga jarak mereka begitu tipis.
“Lalu mengapa kau tetap memilih menikah denganku? Jika menurutmu aku seperti mayat berjalan?”
Sienna menghela napas panjang, lalu menatap pria itu lekat. “Karena hanya kau yang bisa membuat keluargaku tak berkutik. Dan cukup kuat untuk menghentikan mereka memperjualbelikan hidupku… lagi.”
Jawaban itu membuat Sebastian terdiam sejenak. “Aku tidak akan menjanjikanmu cinta,” ujarnya akhirnya. “Tapi aku bisa menjanjikan satu hal. Tak ada yang akan menyentuhmu tanpa seizin dariku. Tak ada yang akan memperlakukanmu seperti keluargamu memperlakukanmu selama ini.”
“Dan kau? Kau akan memperlakukanku seperti apa, Sebastian?”
Sebastian menarik napas dalam. “Aku akan memperlakukanmu seperti istri yang aku pilih sendiri. Karena aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.”
Sienna mengalihkan pandangan. “Lalu jika suatu hari aku belajar mencintaimu, apa kau akan belajar mencintaiku juga?” tanya basa-basi.
Sebastian tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Sienna lama, lalu berkata, “Aku tak tahu caranya. Tapi jika itu terjadi, mungkin kau yang akan mengajariku.”
Beberapa waktu kemudian, hari pernikahan pun tiba.
Segala kemewahan disusun dengan rapi, dari karpet putih panjang yang membelah ballroom hotel bintang lima hingga hiasan bunga peony yang menggantung di langit-langit seperti taman surgawi. Gaun Sienna menjuntai anggun, dirancang oleh desainer kenamaan Perancis yang namanya hanya bisa dibisikkan dengan kagum di kalangan sosialita.
Tapi wajah Sienna tetap datar.
Tak ada binar bahagia dalam sorot matanya. Bahkan ketika teman-temannya menghampiri dan memuji betapa beruntungnya ia—dinikahi oleh Sebastian Dellier, pria tampan, kaya raya, dan penguasa Dellier Corporation—Sienna hanya tersenyum tanpa makna.
“Seandainya aku jadi kau, aku pasti sudah menjerit bahagia,” ujar seorang teman lamanya, lalu mengedipkan mata penuh iri.
“Kau tahu, Sienna... semua wanita bermimpi menjadi pengantin Sebastian Dellier. Kau sangat beruntung!”
Sienna hanya menjawab semua perkataan itu dengan satu anggukan kecil. Dan senyum tak berarti.
Baginya, keberuntungan bukan soal berdiri di samping pria paling berkuasa di ruangan itu. Bukan pula soal gaun putih, tamu istimewa, atau kemewahan pesta.
Keberuntungan—jika itu memang nyata—mungkin hanya berarti satu hal. Hidup yang tak lagi dikendalikan orang lain.
Tapi, menikah dengan Sebastian adalah keputusannya.
‘Setidaknya aku hanya perlu menyerahkan hidupku pada satu orang. Tidak lagi dijajakan seperti dagangan,’ batin Sienna.
Ibu Sebastian tidak hadir. Tidak ada jejak wanita itu sejak keputusan menikah diumumkan. Tentu saja, wanita itu tidak setuju dan menentang keras pernikahan ini.
Namun Sebastian tidak terganggu. Pria itu berdiri tegak di altar, mengenakan tuksedo hitam dengan potongan sempurna. Tatapannya mengunci pada Sienna.
Sienna menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Perlahan, langkahnya membawa dirinya maju ke altar.
Saat pendeta mulai melafalkan janji suci, Sienna menatap Sebastian tanpa suara. Pikirannya melayang entah ke mana. Ia nyaris tak menyadari saat pendeta memanggil namanya.
“Sienna Hart, apakah kau bersedia menerima Sebastian Dellier sebagai suamimu yang sah?”
Butuh sepersekian detik untuk Sienna kembali tersadar. “Ya,” jawabnya pelan.
Sebastian menggenggam tangan Sienna perlahan dan menyematkan cincin di jari manisnya.
“Fokuslah, Sienna. Kau seperti mayat hidup,” bisik Sebastian mengingatkan.
Sienna menarik napas panjang, lalu mengambil cincin dari kotak beludru itu. Tangannya sedikit gemetar saat meraih jemari Sebastian dan menyematkan cincin ke jari pria itu.
Pandangan mereka bertemu lagi.
“Dengan ini, aku menyatakan kalian sebagai suami dan istri. Sebastian Dellier, kau boleh mencium mempelai wanitamu,” ujar pendeta.
Sebastian tidak menunggu. Tanpa ragu, ia menarik tubuh Sienna mendekat, satu tangannya bertumpu di pinggang ramping wanita itu. Lalu, di hadapan dunia yang menyaksikan, Sebastian Dellier mencium istrinya.
Sienna terdiam dalam ciuman itu. Dunia seolah berhenti berputar. Hanya detak jantungnya yang berpacu, dan rasa asing yang perlahan menyusup ke relung hatinya.
Hari ini, ia resmi menjadi istri Sebastian Dellier.
“Mom… Dad?”Sienna sontak membeku.Panik menjalar dari ubun-ubun hingga ke ujung jemarinya. Ia menoleh cepat, matanya melebar seperti rusa yang tertangkap sorot lampu mobil.Joseph berdiri tak jauh di belakang Sebastian—dan ia baru sadar, dirinya masih mengenakan hanya kemeja Sebastian. Tanpa bra, tanpa celana dalam. Kancing bagian atas pun terbuka, memperlihatkan dadanya yang sedikit menyembul keluar.Sebastian menoleh dengan reaksi yang lebih lambat, tapi langsung tanggap. Ia berdiri, lalu bergerak menutupi pandangan anak mereka.“Joseph!” serunya ceria. “Pagi, Kapten!”Bocah itu melangkah mendekat.Sienna yang nyaris membatu, mendadak turun dari kursi dan berjongkok di balik kitchen island.“Alihkan perhatiannya. Aku akan cepat-cepat ke kamar,” bisiknya singkat.Sebastian mengangguk. Ia langsung jongkok menyambut Joseph, mencoba mengalihkan perhatian bocah itu. “Hei, bangun pagi sekali, ya?”“Aku cium bau telur,” ucap Joseph sambil mengucek matanya.“Dan kau benar!” balas Sebastian
“Bukan aneh,” gumam Sebastian. “Hanya… tak kuduga. Kupikir kau akan mengusirku alih-alih mengucapkan ‘pagi’.”Sienna terkekeh kecil. “Kalau kau tidak mengacau, mungkin aku akan lebih sering menyapa seperti ini.”Sebastian menaikkan sebelah alis, setengah menggoda. “Kau bilang aku mengacau, padahal semalam kau—”Sienna langsung melempar bantal ke arah wajah pria itu. “Jangan lanjutkan,” tukasnya, meski senyum masih mengendap di sudut bibirnya. “Aku masih mempertimbangkan untuk menyesal.”Sebastian menangkap bantal itu, lalu tertawa rendah. “Kau tak terlihat seperti orang yang menyesal,” katanya. “Sienna… kau tahu itu berarti sesuatu bagiku, ‘kan?”Sienna menatap Sebastian sebentar, kemudian menunduk. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Itulah masalahnya.”Sebastian hendak mengatakan sesuatu, tapi Sienna lebih dulu bangkit, menyambar kemeja pria itu yang tergeletak di lantai dan memakaikan ke tubuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju pintu dengan langkah ringan, lalu berhenti di ambang.“Aku akan
Sebastian tidak memberinya waktu untuk berpikir. Bibirnya langsung menyergap bibir Sienna dalam ciuman yang keras, dalam, mengklaim. Seolah enam tahun penantian dan penyangkalan tumpah dalam satu tarikan napas.Tangan pria itu mencengkeram pinggul Sienna, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka saling bertubrukan tanpa jarak. Sienna menahan napas, lengannya melingkar pada bahu Sebastian, mencengkeram kerah kemeja yang kini telah terbuka sepenuhnya.Ciuman itu berubah menjadi medan pertempuran. Bukan lagi sekadar rindu, tapi hasrat yang tak pernah sempat padam meski dibenamkan selama bertahun-tahun.Sienna mendorong tubuhnya ke arah Sebastian, balas mencium pria itu dengan napas yang tak terkendali. Jemarinya mencakar punggung Sebastian, menyusuri otot-otot yang menegang di balik kulitnya yang hangat.Pria itu menggeram pelan, lalu menunduk dan menyerang lehernya, menggigitnya dengan tekanan yang nyaris menyakitkan. Sienna terlonjak kecil, tapi tidak menjauh—justru merapat, seolah m
Tubuh Sienna terdorong perlahan ke tepian meja dapur. Botol air yang tadi dipegangnya kini sudah tak jelas di mana, terlupakan begitu bibir Sebastian kembali menekannya dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya.Tangan besar Sebastian mengangkat dagu Sienna, memiringkan wajahnya, memberinya akses lebih dalam dan lebih rakus. Bibir mereka menyatu dalam irama yang tak teratur, dibalut tarikan napas pendek dan desahan samar.Sienna tahu ia harus menghentikan ini. Bahaya dalam pelukan Sebastian tidak datang dalam bentuk ancaman, tapi candu. Semakin dekat, semakin sulit untuk menolak.Namun ketika jemari pria itu menyusuri sisi lengannya, naik ke tengkuk dan mengubur diri di helaian rambutnya, ia menggigil. Kepalanya menegang… dan lalu menyerah.“Sebastian…,” gumam Sienna lemah. Tapi tidak ada penolakan di balik suaranya. Justru sebaliknya, keraguan yang mulai kalah.Sebastian menempelkan keningnya di dahi Sienna, masih mengatur napas. “Aku tidak datang ke sini untuk mencium istri
Sebastian menatap Sienna dengan mata yang membakar. Napas beratnya menyapu pipi wanita itu yang mulai memanas. Tangannya masih bertengger di pinggang Sienna.Sienna meneguk ludah. Jantungnya berdetak kencang.Ia tahu tatapan itu. Tatapan yang sama seperti malam ketika Sebastian pertama kali memilikinya—penuh dorongan liar, tanpa ruang bagi penolakan. Dan itu membuatnya gugup. Karena ia tahu… ia akan mudah jatuh lagi kalau tak hati-hati.Sebastian menunduk sedikit, mendekat ke leher Sienna. Hidungnya menyapu ringan kulit di bawah telinga wanita itu, dan napas hangat itu menyentuh Sienna seperti aliran listrik.“Kau wangi sekali malam ini,” bisik Sebastian serak, suaranya rendah dan nyaris mendesah.Tubuh Sienna menegang.“Sebastian…,” gumamnya memperingatkan—atau mungkin memperingatkan dirinya sendiri.“Kalau kau tidak menghentikanku sekarang…,” suara Sebastian terdengar lebih rendah, “aku tidak akan bisa menahan diri.”Sienna meremas gaun satinnya. Ujung jarinya bergetar di pangkuan, b
Langkah-langkah Sebastian terasa berat namun mantap saat ia membawa Sienna keluar dari ballroom. Derap sepatunya bergema di lantai, bersaing dengan bisik-bisik tajam yang menyusul di belakang mereka.Tapi ia tidak menoleh. Tidak berhenti. Tidak peduli.Begitu mereka tiba di lantai dasar dan pintu utama hotel terbuka, Brandon sudah berdiri menunggu di pelataran hotel. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu belakang mobil dan menyingkir untuk memberi ruang.Sebastian mengencangkan pelukannya pada tubuh Sienna dan menunduk sedikit saat membawanya masuk.“Hati-hati kepalamu,” bisik pria itu.Ia mendudukkan Sienna di jok belakang dengan sangat hati-hati. Setelah memastikan posisi wanita itu nyaman, Sebastian menyusul masuk dan duduk di sebelahnya.Pintu ditutup. Dan mobil segera meluncur menjauh dari hotel.Sienna menatap lurus ke depan, berusaha menahan diri. Tapi gaun satin yang tadinya membuatnya merasa percaya diri, kini terasa menempel tak nyaman di kulitnya.Sebastian menghela napas,