Mag-log in"Why do you want me? Everyone believes I am a worthless Omega," She mustered. "Cariño, you are my Erasthai. I desire no one but you. I want every inch of you." "But—But no one even looks at me. My mate rejected me." "Good. Because you're mine and I am very possessive of what's mine." He took a step closer to her and cupped her face. "Now say it, tell me you're mine and you belong to me." ********************************** Chloe's life turned upside down when her mate, Liam, the future Alpha of the pack rejected her. As an orphan, she had no one to turn to and she was humiliated by members of her pack. But the moon goddess gave her another chance to find a mate. At the red moon ceremony celebrated by every supernatural creature, she was confronted with a shocking truth. She was fated to a lycan prince and he desired her greatly. Will Chloe learn to love and trust him? Or will she accept Liam when he tries to claim her due to his jealousy? Will she ignore the intense chemistry between her and the lycan prince? Who will Chloe choose between her two fated mates?
view more“Jinnie, dia sudah datang kembali.” Karina baru saja memberitahuku kalau Kakek Chu datang kembali setelah beristirahat selama beberapa bulan karena operasi jantung. Dia datang untuk makan di restoran bergaya jepang di tempatku bekerja. Mataku berbinar dan langsung berlari menghampiri meja yang biasa ditempatinya.
Ya. Demi bertahan hidup, aku bekerja paruh waktu menjadi waiter di salah satu restoran jepang. Bisa dibilang hanya restoran ini yang mau menerimaku bekerja waktu itu meskipun tanpa pengalaman apalagi pendidikan yang mumpuni. Untuk itu aku berjuang mati-matian mempertahankan pekerjaan ini. Jika tak salah ingat, sudah hampir satu tahun aku bekerja di sini. Bahkan beberapa pelanggan tetap restoran ini sampai menghafal dan mengingat namaku. Salah satunya adalah Kakek Chu.
Kakek Chu. Pria tua yang sudah menginjak kepala tujuh itu memang lebih suka dipanggil begitu. Lucu. Kepribadiannya juga ramah. Aku sudah mengenal beliau semenjak pertama kali bekerja di restoran ini. Berarti sudah hampir satu tahun pula. Awalnya hanya karena aku terlalu gugup ketika menuangkan minuman ke gelasnya hingga tumpah, semenjak itu beliau sering mengajarkan banyak hal. Bahkan dia meminta manager di tempatku bekerja untuk membiarkanku menemani beliau makan. Dia akan membayar biaya makanku juga.
“Kau mau mendengarkan ceritaku hari ini?” Kakek Chu mengajakku makan bersama untuk pertama kalinya. Waktu itu ketika aku bertemu dengannya yang kedua kali.
“Ya?” Aku agak bingung bagaimana menjawabnya. Bagaimana mungkin aku duduk di sana menemaninya makan dan mendengarkannya bercerita sedangkan pekerjaanku sangat banyak.
“Aku sudah bicara dengan managermu, duduklah!” Perintahnya. Aku sontak melihat kesana-kemari, mencari keberadaan manager yang dibicarakan Kakek Chu. “Dia tak akan marah,” ujar Kakek Chu menyadari sikapku yang canggung dan menunjukkan raut muka ketakutan. Bagaimana jika nanti aku ketahuan bermalas-malasan ketika bekerja? Waktu itu aku sangat tidak ingin dikeluarkan, kerena aku butuh uang untuk makan.
“Kenapa masih berdiri? Duduklah!” Kakek Chu terkekeh sambil memasukkan sesuap omelet rice ke dalam mulut. Di antara banyak pilihan menu yang lain seperti unagi ataupun sashimi, dia selalu memesan menu yang sama setiap kali berkunjung. Tak setiap hari. Tetapi dua kali seminggu di hari yang sama. Rabu dan Sabtu.
Aku menarik kursi dan duduk. Tidak lama kemudian, Karina datang dengan membawakan menu yang sama. Dia tampak menggodaku dengan mengedipkan sebelah mata yang kubalas dengan menaikkan sebelah alis. Mencoba meminta penjelasan darinya. Aku tidak mau pengunjung lain ikut salah paham mengira aku simpanan Kakek Chu atau apalah itu.
“Kau suka makanannya, kan?” Nasi di piring Kakek Chu sudah tinggal setengah. Dia tampak santai menikmati makan siangnya itu.
“Ya. Terima kasih atas makanannya,” kataku dengan nada suara yang datar dan kaku. Kakek Chu terkekeh. “Jangan kaku begitu dong, saya jadi gak enak,” katanya lagi masih terkekeh melihat raut wajahku.
Selanjutnya dia bercerita tentang tanamannya yang mati. Ketika memelihara empat ekor anak kucing baru. Tentang giginya yang tanggal beberapa hari yang lalu. Kakek Chu bercerita tentang apa saja kegiatan sehari-harinya yang menurutku biasa saja. Kehidupannya yang juga biasa pula. Penampilannya juga biasa. Dan menurutku dia bukanlah orang yang berasal dari kalangan atas yang hanya bisa kulihat di TV. Akupun menikmati cerita Kakek Chu, hingga akhirnya dia mengetahui sedikit banyaknya apa yang telah terjadi padaku karena aku sudah menganggapnya sebagai orang dewasa pengganti keluargaku. Sosok yang akan mendengarkan keluh kesah yang sudah lama membelut hatiku. Terkadang aku menganggapnya sebagai ayah, kadang kakak laki-laki yang perhatian, hingga teman yang bisa diajak bercerita.
Ketika kunjungannya yang entah keberapa kali. Aku lupa karena saking seringnya. Tiba-tiba Kakek Chu datang menggunakan kursi roda, ditemani seorang laki-laki paruh baya yang ikut menemaninya. Kira-kira umurnya awalan lima puluhan. Kakek Chu memanggilnya Em. Panggilan yang aneh memang. Tapi aku ikut memanggilnya dengan sebutan Em. Itu pertama kalinya aku bertemu Em, tetapi tak terlalu menganggap serius keberadaannya karena terlalu fokus pada Kakek Chu.
Aku berlari-lari kecil ketika Karina memberitahu kedatangan Kakek Chu. Wajahku tampak begitu khawatir saat melihat Kakek Chu yang duduk lemah di kursi roda. Wajahnya agak pucat dengan balutan syal tebal di leher.
“Kakek sakit?” tanyaku khawatir. Pria tua itu hanya tertawa ringan yang terdengar dipaksakan. “Kenapa masih ke sini?” Aku memegang pundaknya sembari menurunkan badan sedikit berjongkok agar Kakek Chu tak perlu mendongak untuk melihat wajahku. Sedangkan Em meninggalkan kami di salah satu meja.
“Sebentar lagi aku mau operasi jantung. Sebaiknya kau berdoa supaya aku tetap hidup,” canda Kakek Chu. Dia mengatakan seolah-olah penyakitnya itu bukanlah hal yang besar. Aku memang sudah tahu kalau dia sakit jantung. Pernah terselip ketika dia asik bercerita denganku. Tapi Kakek Chu selalu bisa mengalihkan pembicaraan sehingga rasa penasaranku selalu terabaikan.
“Kalau begitu, seharusnya kakek di rumah sakit, kenapa malah ke sini,” ungkapku mengomeli Kakek Chu sambil berusaha menahan tangis.
“Astaga, kenapa kau menangis, aku bukannya mau mati besok.” Aku terkekeh dengan bercucuran air mata. Aku sedih karena takut terjadi sesuatu pada Kakek Chu selama operasi, tetapi lawakan Kakek Chu masih saja membuatku tertawa.
Aku mengusap pipi dengan cepat. Lalu bangkit dari posisiku yang sebelumnya berjongkok. Aku mendorong kursi roda Kakek Chu keluar dari restoran. Di sana sudah ada Em yang menunggu dengan sebuah mobil sedan hitam di belakang.
“Berjanjilah padaku untuk tetap hidup, oke?” Aku menautkan jari kelingkingku dengan kelingking Kakek Chu dengan paksa.
“Maukah kau juga berjanji padaku?”
Aku mengangguk antusias. “Maukah kau mengabulkan satu permintaanku apapun yang terjadi?” kata Kakek Chu terdengar serius.
“Baiklah. Aku berjanji.” Aku tersenyum lagi. “Aku akan mengabulkan permintaanmu ketika Kakek sudah kembali sembuh,” balasku.
Dia tersenyum melihat kelakuanku. Entah apa yang membuatku begitu nyaman ketika bersama Kakek Chu. Seolah aku merasakan kembali sosok seorang ayah yang terlalu cepat meninggalkanku kala itu.
*****
Dua bulan setelah beristirahat karena operasi jantung. Kakek Chu kembali datang menemuiku. Aku langsung memeluk Kakek Chu begitu tiba di dekatnya. Haru dan juga senang melihatnya bisa berjalan lagi, tak lagi duduk di kursi roda seperti terakhir kali. Kakek Chu menepuk pelan punggungku. “Bukankah sudah kubilang, aku tak akan mati.” Aku melonggarkan pelukan.
“Kau benar-benar sudah sembuh, kan? Aku tak suka melihatmu duduk di kursi roda,” kataku sambil mengajaknya duduk di meja yang biasa kami tempati. Kakek Chu datang bersama Em. Aku menyapanya ramah. Kali ini dia tak meninggalkan kami berdua saja, tetapi tetap berdiri di samping Kakek Chu. Dia memang berdiri agak jauh, tapi aku yakin dia masih bisa mendengar percakapan kami.
“Karna aku sudah menepati janjiku, kau tidak lupa dengan janjimu, kan?” Kakek Chu mengingatkanku tentang janji yang kami buat di pertemuan terakhir sebelum operasi.
“Baiklah. Aku tak akan pura-pura lupa,” kataku semangat. “Kau sudah berjanji akan melakukan apapun kan? Jadi kau harus menurutinya ya,” Kakek Chu memastikan agar aku tak menolak apapun permintaannya nanti.
“Baiklah, baiklah. Kenapa kakek jadi lebih banyak bicara? Sepertinya yang dioperasi bukan jantung melainkan mulut kakeh deh,” kataku sambil bercanda. “Oh ya, aku lupa. Kakek kan memang banyak bicara seperti ini,” lanjutku masih saja menggodanya sambil terkekeh. Hubungan kami memang sedekat itu. Suka bercanda satu sama lain. Hanya kakek Chu yang bisa membuatku bisa tertawa lepas selama satu tahun belakangan.
“Menikahlah dengan cucuku!”
“Oke,” jawabku santai karena masih asik tertawa tanpa mendengarkan dengan jelas apa permintaan dari Kakek Chu. “Apa?” seketika tawaku hilang setelah sadar dengan ucapan Kakek Chu barusan.
“Menikahlah dengan cucuku!” ulang Kakek Chu masih tersenyum seperti para sales yang menawarkan dagangannya agar laku terjual.
“Aku? Cucumu?” Lidahku tiba-tiba menjadi kaku. Tak tahu apa yang harus kukatakan pada Kakek Chu saat itu.
Emily stood before Liam, her heart a delicate melody of anticipation and vulnerability. With a deep inhale, she summoned the wellspring of courage within her, ready to lay bare the depths of her emotions. The world around them seemed to dissolve, leaving only their intertwined souls in the space between them."Liam," Emily began, her voice a gentle cadence of truth and vulnerability, "my love for you knows no bounds. I'm willing to wait, to be patient until the day you find it within your heart to love me too."Liam's eyes widened, his gaze a reflection of both surprise and adoration. His hands tenderly cupped Emily's face, his touch a testament to the delicate nature of their connection. His voice quivered, thick with emotion."Emily, there is no need to wait, for my heart has loved you all along. Quietly, fervently, I have cherished the bond we share. You are the missing piece that completes my very soul, the one who has held my heart from the very beginning."Their eyes locked, a ma
In the quiet embrace of the café, Aiden and Emily found themselves grappling with the intricacies of their unrequited love. Their eyes locked, conveying a depth of emotion that words alone could not capture. Each sip of coffee served as a poignant reminder of the bitter reality they faced."Emily," Aiden began, his voice filled with a mix of resignation and tenderness, "we must confront the truth that our hearts belong elsewhere. To pursue a marriage based on such a fragile foundation would only lead to a lifetime of discontentment."Emily's gaze faltered for a moment, her lips trembling with unspoken words. She took a breath, summoning the strength to voice her thoughts. "Aiden, as much as it pains me to admit it, we cannot build a future on the remnants of unrequited love. Our hearts have already claimed their allegiances, and to deny that truth would be a disservice to ourselves."Aiden's hand reached across the table, his fingers grazing Emily's with a touch that conveyed both lon
Liam tightened his grip on Aiden's shoulder, his eyes fixed on the retreating figure. The weight of their intertwined destinies hung in the balance, the air pregnant with the possibilities of love, forgiveness, and second chances."Remember, Aiden," Liam said, his voice filled with earnestness. "Just like the two kingdoms that faced their own struggles, you and Chloe have the power to overcome the obstacles that lie before you."Aiden turned, his eyes reflecting a mix of determination and uncertainty. "But Liam, what if our past mistakes are too great? What if we're beyond redemption?"Liam's brows furrowed, his gaze steady. "No one is beyond redemption, my friend. Just as the kingdoms found unity in the face of adversity, you can find solace and renewal with Chloe. It won't be easy, but it's worth fighting for."Aiden sighed, his shoulders slumping under the weight of his doubts. "I don't want to hurt Emily, Liam. She's been a stable presence in my life."Liam placed a reassuring han
Liam and Chloe found themselves drawn together once again, their individual journeys converging at this moment of shared vulnerability. In the corner of a bustling café, they sought solace amidst the whirlwind of emotions that swirled within them. As they cradled their warm cups of coffee, a poignant conversation about love and pain unfolded between them.Liam's voice carried a wistful tone, laced with a hint of longing. "Chloe, it feels like an eternity since our paths last intertwined. The pain of our separation, the vast distance that grew between us... It's ironic how these very circumstances have brought us closer once more."Chloe met Liam's gaze, her eyes a tapestry of complex emotions. "Liam, you're right. We've both walked divergent paths, weathering our own storms and enduring heartbreak along the way. Yet, here we sit, finding solace and understanding in one another's presence."In a tender gesture, Liam reached out, his hand grazing Chloe's with a delicate touch. It was a






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Mga Ratings
RebyuMore