Share

Perasaan yang Tersampaikan

Aku mulai menggerakkan pinggul maju-mundur, membawa milikku menjelajahi intimnya. Perempuan itu memeluk dan mengusap bahuku. Meskipun ia terpejam, sentuhannya seakan-akan sedang mencurahkan isi hati. Sentuhan lembut, tetapi sepi; sedih; merintih. Seolah-olah ia sedang memohon pertolongan. Tak ada luapan gairah berlebihan, kecuali hanya perasaannya yang dalam. Belum pernah aku bercumbu seperti itu; belum pernah perasaanku bergetar ketika disentuh. Alih-alih mencumbunya dengan liar, aku membalas perasaannya dengan tak kalah lembut. Sambil terus bergerak, kukecup bibirnya dalam-dalam. Desahannya terdengar lirih setiap kali milikku bergerak. Sampai akhirnya, ia mencengkeram punggungku sembari kedua kakinya mengapit pinggangku. Tubuhnya bergelinjang-gelinjang selama beberapa detik, lalu akhirnya terkulai di atas ranjang dengan napas terengah-engah.


"Thank you," bisiknya seraya mendekapku.


***


Keesokan harinya aku tak mendapati ia di kamar. Sayang, karena terlalu mabuk tidak banyak yang dapat kuingat. Nama dan wajahnya hanya samar-samar dalam ingatan. Namun, ada satu yang masih terbayang jelas, yaitu tanda lahirnya. Mungkin tanda lahirnya yang belum pernah aku lihat pada perempuan lain, membuatku mudah mengingat. Selain itu ada satu petunjuk yang kudapatkan dari barangnya yang mungkin tidak sengaja tertinggal: access card perusahaan Byeoul. Kartu itu menunjukkan kalau ia bekerja di perusahaan tersebut. 


Perempuan itu selalu membayangi pikiranku. Sentuhannya; kecupannya; pelukannya. Semua itu sangat membekas. Aku sudah berusaha mencarinya, tetapi petunjuk yang kumiliki sangat sedikit. Apalagi aku tidak bisa bertanya pada orang lain. Aku tidak mungkin mendapat jawaban hanya dari petunjuk access card Byeoul lantaran jutaan orang bekerja di sana. Bahkan aku pernah menanyakannya langsung ke bagian informasi di kantor Byeoul, hasilnya mereka mengambil kartu itu dan tidak mau memberi informasi apa pun. Aku juga tidak mungkin menyebutkan tanda lahirnya pada orang lain. 


Satu-satunya cara adalah bekerja sebagai karyawan Byeoul. Namun, itu pun mustahil bagiku. Ijazahku tidak sesuai dengan bidang perusahaan tersebut. Kini harapanku hanya bertumpu pada satu hal: keajaiban. Setelah satu tahun, akhirnya keajaiban itu pun datang ....


***


"Dae-Ho, masih saja kamu mengingat perempuan itu. Sudahlah, lupakan. Kalau seperti ini terus, kamu melewatkan banyak perempuan lain," ujar Chin-Hae, sahabatku.


Aku hanya sanggup membisu dan menatap hampa meja cafe.


"Percuma saja. Apalagi tidak ada satu pun yang dapat menjadi petunjuk. Kamu tidak ingat namanya, nomor ponselnya, pekerjaannya, juga ala—"


"Byeoul," sergahku.


"Byeoul?"


Aku mengangguk. "Sebenarnya ada yang belum kuceritakan padamu." Lalu aku pun mulai menceritakan tentang access card tersebut.


Chin-Hae mengangguk repetitif. "Ah, jadi begitu. Kenapa tidak kamu ceritakan dari dulu?"


"Kamu pikir hanya dengan access card itu aku dapat menemukannya? Tidak mungkin Chin-Hae. Ada jutaan karyawan bekerja di perusahaan raksasa tersebut. Itulah alasanku tidak pernah menceritakan ini karena percuma saja, 'kan?!"


"Ya, ya, ya. Aku paham. Satu-satunya cara kamu harus bekerja di sana."


"Itu pun mustahil karena ijazahku," timpalku.


"Tunggu ..., sepertinya ...." Chin-Hae tak melanjutkan kalimatnya seraya mencerna pikiran.


Beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan ponsel.


"Orang ini dulu pernah menawariku bekerja di Byeoul. Sama sepertimu, aku pun menolak karena alasan ijazah. Tapi dia mengatakan ijazah tidak menjadi soal. Tetap saja aku tidak percaya, dan menganggap ucapannya hanyalah bualan orang mabuk. Apalagi aku masih merasa nyaman dengan pekerjaanku." Chin-Hae menunjukkan nomor ponsel. "Aku tidak mengenalnya. Saat itu kami berbincang di nightclub."


Aku berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyimpan nomor itu ke dalam ponsel. "Baiklah. Akan kucoba."


Pada malam harinya aku mencoba mengirim pesan pada orang tersebut. Awalnya ia bertanya dari mana aku mendapat nomornya. Namun, setelah kujelaskan pembicaraanku dengan Chin-Hae, ia pun dapat menerima. Ia juga membenarkan semua kata-kata Chin-Hae dan meminta bertemu di sebuah cafe hotel pada esok malam.


Akhirnya tibalah saat bertemu dengannya. Pukul tujuh malam aku sudah berada di dalam cafe. Setelah cukup lama menunggu, seorang perempuan datang menghampiri.


Perempuan itu berusia sekitar tiga puluhan tahun. Wajahnya cantik dengan rambut lurus yang digelung ke atas. Ia memiliki mata oriental; hidung mungil; dan bibir seksi. Meskipun mengenakan kemeja dan blazer, lekuk tubuhnya masih terukir jelas. Dadanya yang besar, membusung dan mendesak pakaiannya dari dalam.


"Park Dae-Ho?"


Aku mengangguk seraya menyalaminya. "Benar. Anda ...."


Perempuan itu tersenyum ramah. "So Hyun-Jae. Mari ikut aku. Kita perlu tempat sepi agar leluasa berbincang-bincang."


Aku mengangguk lantas berjalan mengikutinya sampai tiba di depan sebuah kamar.


"Aku akan menjelaskannya di dalam. Kalau setuju, kamu dapat langsung menandatangani kontrak," ucapnya seraya membuka pintu dan masuk ke dalam.


Setibanya di dalam ia mengambil map dari dalam koper, lantas memberikannya padaku. "Bacalah. Aku akan memintamu menyusup ke Byeoul dan mencuri data-data keuangan."


Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status