VINO turun menggunakan lift, dan berjalan di sepanjang rentetan mobil di basement. Pipinya masih panas. Di usapnya sudut bibir yang terasa nyeri dengan ibu jari. Darah membekas disana. Vino hanya menyeringai, menertawakan balasan yang dia dapat dari langkahnya untuk membela ibu kandungnya sendiri.
Mata Vino berhasil menemukan mobil sedan hitam miliknya, yang terparkir di ujung mobil lain. Ia buka slot pintu mobilnya menggunakan remote
Khika berjalan perlahan menuju gerbang sekolah. Gadis itu sengaja datang pagi-pagi sekali. Entah kenapa. Tapi semalam gadis itu tak bisa tidur, bahkan tak bisa berpikir jernih tentang hal lain, dunianya berputar diantara kilasan-kilasan kejadian kemarin yang bagai kilat, timbul tenggelam di memorinya. Jantungnya berdetak tak karuan membayangkan pertemuannya nanti dengan Vino. Apa yang harus dia katakan, masa dia harus kabur lagi seperti kemarin.Khika masuk ke kelasnya yang masih sepi dan duduk di bangkunya yang biasa. Menghela napas lalu memasang earphone
"BRUK!" Seseorang menubruk pundak Kenta tanpa tahanan, tepat sesaat setelah Kenta keluar beberapa meter dari kelas Khika."Sorry," Ucapan itu mengalir dingin dari mulut cowok sengak yang berlalu begitu saja dan melangkah pergi melewatinya. Kenta sadar siapa orang itu. Dia Vino.
TAK perlu banyak waktu, sampai hal yang paling Khika takutkan terjadi. Nyatanya dia sudah disini sekarang. Bersama Zahra, Gita dan Maurien, di suatu tempat yang sangat populer yaitu di koridor sunyi belakang Sekolah. Dibalik lingkaran setan yang mengerubuni mereka. Sepuluh pasang mata itu menatap mereka galak. Khika sudah bisa menebak siapa mereka, karena sudah pasti mereka adalah fansnya Vino. Dan Khika sudah bisa menebak juga ini dalam rangka apa, gencetan masal ini juga pasti karena Vino.
SUARA decitan pantulan bola basket tenggelam di redam riuhan gemuruh sorakan para penggemar Vino. Sosok tegap yang diberi semangat tengah sibuk mengadu strategi, berirama bersama rekan lainnya. Menangkap umpan demi umpan yang dilempar untuk mencetak gol kemenangan bagi kelas mereka hari itu.Kerumunan itu terus memanggil namanya, menyita sebagian perhatian yang harusnya ia salurkan ke permainan. Ingin sekali menyuruh mereka berhenti, namun Ia tak mau terlihat peduli, karena memang begitu seharusnya. Dan benar saja, konsentrasi yang terpecah itu menyebab
Pertanyaan yang belum terjawab menutup hari itu dengan kelabu. Khika pulang tanpa mengetahui apa yang terjadi dengan Vino dan Kenta. Dan juga Gita yang menghilang saat itu sampai akhir. Mereka sepertinya dipulangkan setelah mendapat hukuman, karena Khika tak lagi melihat mobil Vino ditempat dia biasa parkir. Khika pun pulang naik angkot, seperti biasa, bersama Maurien. Mata Khika sibuk menatap jingganya langit sore itu, mereka bersembunyi di kelas hingga jam 4 petang menunggu seluruh anak Pratiwi pulang, menghindari gerombolan Siberat yang tadi hampir mencelakai dirinya.Malamnya hati Khika m
SUARA decitan pantulan bola basket tenggelam di redam riuhan gemuruh sorakan para penggemar Vino. Sosok tegap yang diberi semangat tengah sibuk mengadu strategi, berirama bersama rekan lainnya. Menangkap umpan demi umpan yang dilempar untuk mencetak gol kemenangan bagi kelas mereka hari itu.
KEMARIN malam. Di kediaman Vino. Luka di tangannya itu memerih, disiram oleh cairan disinfektan oleh perawat. Vino meringis sedikit. Kamar yang biasanya senyap, kini terisi oleh empat orang yang mengelilinginya.Luka itu akhirnya dibalut juga oleh kassa steril. Lebam diwajahnya diolesi salep dan beberapa luka di pelipis dan hidung dibiarkan mengering bersama cairan antiseptik yang dibalur diatasnya.
LANGIT makin menjingga bergradiasi menjadi senja yang lambat laun menggelap. Mereka pun sampai di sebuah Villa terkenal yang terletak di Selatan Kuta bertempat di dataran tinggi pinggir sebuah tebing. Sayup suara lagu-lagu klasik terdengar dari parkiran mengiringi langkah Khika yang baru saja turun dari mobil dengan sedikit kerepotan, karena terus menerus menginjak bagian bawah gaunnya.