LOGINJane menelan salivanya dengan pelan menatap Brian yang masih berdiri di hadapannya.
“Sebelum aku menjawab, aku ingin tahu lebih dulu,” ucap Jane dengan suara pelan.
Pintu lift terbuka. Brian menoleh dan menarik tangan Jane untuk keluar dari sana, seolah ia tidak ingin pembicaraan itu terputus oleh siapa pun yang mungkin masuk ke dalam lift.
Sentuhan tangan mereka terasa hangat sampai membuat Jane terkejut sekaligus gugup.
“Buka pintunya,” ucap Brian pada Jane begitu mereka tiba di depan unit apartemen itu.
Entah karena dorongan apa, atau mungkin karena matanya yang teduh membuat Jane kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih, dia menurut dan membuka pintu apartemennya.
Aroma debu dan ruangan yang cukup lama tak berpenghuni langsung menyergap, tetapi itu bukan hal yang paling menyita pikirannya. Dia terlalu sibuk mengatur napasnya sendiri.
Keduanya masuk ke dalam. Brian menoleh ke kanan dan kiri apartemen tersebut, seolah menilai keadaan ruangan sekaligus menyelami kehidupan baru Jane yang dimulai dari tempat itu.
“Maaf, masih sedikit berantakan karena aku baru mengisinya lagi setelah pergi dari rumah suamiku,” ucap Jane sedikit malu karena apartemennya memang tidak layak dibilang rapi.
Kardus berisi barang-barang belum dibongkar, meja makan berdebu, dan tirai sedikit kusut seolah sudah berbulan-bulan tak tersentuh.
“Tidak masalah, aku mengerti,” jawab Brian tenang. Ia melangkah mendekat bahkan terlalu dekat hingga Jane bisa merasakan hawa tubuhnya.
“Kau mau tanya apa?” tanyanya kemudian dengan suara yang rendah namun tegas, sampai membuat tulang belakang Jane serasa dialiri listrik halus.
Jane menelan ludahnya. Dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.
Jantungnya berdebar tak karuan, tubuhnya membeku karena Brian atau mungkin karena cara Brian melihatnya, seperti dia adalah satu-satunya fokus pria itu malam itu.
“Kau … apakah kau tidak punya kekasih?” tanyanya pelan. “Aku tidak ingin jadi perusak hubungan orang—”
“Aku masih sendiri,” jawab Brian memotong ucapan Jane tanpa ragu, tanpa jeda, tanpa keraguan sedikit pun.
Wanita itu langsung terdiam. Pertanyaan lain sudah menunggu di bibirnya, tetapi suaranya seakan menghilang begitu saja.
Ia hanya mampu menatap wajah Brian yang begitu dekat dengannya; garis rahang pria itu, mata yang dalam, dan cara dia mengamati Jane seolah bisa membaca isi hatinya.
Tangan Brian kini melingkar di pinggang Jane, lembut tapi tegas, membuat tubuh Jane kaku seketika. Pria itu menatapnya dengan lekat, tanpa niat untuk memalingkan pandangannya.
“Jadi, mulai detik ini aku resmi jadi kekasih sekaligus mentormu, hm?” bisiknya dan suaranya turun satu oktaf, membuat dada Jane bergetar.
Jane masih diam membeku. Dia tidak tahu harus mengatakan apa pada lelaki itu.
Semua terasa terlalu cepat, tetapi jauh di dalam hatinya ada bagian kecil yang merasa aman berada di dekat Brian, bagian yang sangat ingin percaya pada seseorang setelah patah berkeping-keping.
“Anggap saja begitu,” ucapnya akhirnya dengan pelan, hampir tak terdengar.
Brian menyunggingkan senyum tipis lalu menyibakkan surai rambut yang menutupi wajah indah Jane dan membuat mata Jane memejam refleks ketika ujung jarinya menyentuh kulit pipinya.
“Jangan gugup begitu, Jane. Anggap saja kita sudah saling kenal sejak lama,” bisiknya tepat di depan wajah Jane hingga deru napas Brian begitu terasa.
Jane menelan ludahnya kembali. “Bagaimana mungkin aku tidak gugup. Ka-kau terlalu dekat, Brian.”
Brian terkekeh, suara rendahnya membuat perut Jane bergejolak. “Apakah suamimu tidak pernah melakukan ini padamu? Bicara dengan jarak yang begitu dekat justru menambah tensi hubungan yang lebih kuat, kau tahu?”
Jane menunduk sedikit. “Ta-tapi … aku masih jadi istri orang, Brian. Aku baru akan menceraikannya.”
“Tidak masalah,” ucap Brian dengan ketegasan yang membuat Jane merasa dipeluk meski belum disentuh lebih jauh.
“Aku akan menemanimu sampai kau resmi berpisah dengan suami yang telah mengkhianatimu itu.”
Jane mengerjap. Kata-kata Brian terasa seperti pernyataan perlindungan, bukan rayuan. Ada ketulusan di sana, walau pria itu jelas-jelas memiliki daya tarik yang terlalu kuat untuk ditolak.
Ia ingin berkata sesuatu tetapi tidak tahu apa. Semua kalimatnya menumpuk di dada, tertahan oleh degupan jantungnya sendiri.
“Besok pagi, pukul sembilan, datang lagi ke tempat gym,” ucap Brian setelah keheningan singkat. “Aku akan melatihmu membentuk tubuh yang ideal dan ….”
Brian sengaja menghentikan kalimatnya sementara matanya mengunci pandangan Jane.
Jane mengangkat alisnya pelan, gugup. “Dan apa?” tanyanya.
“Alasan pria atau wanita berselingkuh dari pasangannya biasanya urusan ranjang, bukan?” tanya Brian kemudian, matanya tidak berkedip saat mempelajari ekspresi Jane.
Wajah Jane memanas. Ia tahu pertanyaannya mengarah ke sana, tapi tetap saja mendengarnya langsung dari mulut Brian membuat tubuhnya bereaksi aneh.
“Aku akui … aku memang kalah dalam hal itu.”
Brian tersenyum tipis, sebuah senyum yang tidak sinis, tetapi justru terlihat berbahaya dan terlalu karismatik. “Kalau begitu, aku bisa membuatmu jadi lebih lihai di atas ranjang.”
Jane langsung tersadar dari tatapan itu. Tatapan yang terlalu lama, terlalu dalam, dan entah sejak kapan terasa mengganggu ruang pribadinya.Ia menghela napas panjang, lalu memalingkan wajahnya sambil berusaha kembali fokus pada lintasan jogging yang kini terasa lebih sepi dari biasanya.“Kenapa kau terus mengikutiku, Brian?” tanya Jane akhirnya. Suaranya terdengar tenang, tapi ada nada lelah yang tak bisa ia sembunyikan.Brian yang sejak tadi berjalan di belakangnya berhenti sejenak. Ia tidak langsung menjawab.Pandangannya justru tertuju pada punggung Jane, pada cara bahu wanita itu sedikit menegang, seolah bersiap menerima jawaban yang tak ia inginkan.“Bagaimana sidangnya?” Brian bertanya dengan suara pelan.Jane berhenti melangkah. Ia mengusap keningnya dengan punggung tangan, keringat bercampur dengan rasa penat yang belum sempat hilang sejak pagi.Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan kembali duduk di kursi panjang di tepi taman. Nafasnya diatur perlahan, seperti seseorang yan
Satu minggu telah berlalu sejak sidang cerai itu. Sejak satu minggu itu pula Jane tidak pernah melakukan aktivitas apa pun kecuali masuk kantor, kemudian kembali ke apartemen dan istirahat.Tapi, pagi ini berbeda. Jane ingin jogging, melakukan olahraga setidaknya dia bisa mengeluarkan keringat setelah satu minggu mengurung diri terus menerus.Pagi itu udara terasa segar, lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Jane berlari kecil menyusuri jalur jogging di taman yang terletak tak jauh dari apartemennya.Langkahnya teratur, napasnya sedikit memburu, namun pikirannya perlahan terasa lebih lapang. Pohon-pohon rindang berjajar di kiri dan kanan, dedaunan berdesir pelan tertiup angin pagi, menciptakan irama yang menenangkan.Dia jogging seorang diri.Tidak ada musik di telinganya. Jane ingin mendengar suara pagi apa adanya, langkah kaki orang lain, tawa anak-anak dari kejauhan, dan gemericik air dari pancuran taman yang menjadi pusat area hijau itu.Semua terdengar sederhana, namun justru t
Sheila menghela napas panjang untuk kesekian kalinya sejak Brian datang dan duduk tanpa banyak bicara di dalam salonnya.Lampu-lampu sudah diredupkan, kursi-kursi kerja tertata rapi, dan aroma sisa produk rambut masih samar di udara.Beruntung salon sudah tutup. Tidak ada klien, tidak ada pegawai lain, dan tidak ada risiko drama Brian mengganggu aktivitas kerja Sheila.Brian duduk membungkuk di salah satu kursi dekat meja kasir, menatap lantai tanpa fokus.Sejak tadi, dia nyaris tidak bergerak. Sheila yang sedang merapikan handuk bersih melirik ke arahnya dengan sorot mata lelah.“Kau mau diam sampai kapan di sana, huh?” tanya Sheila akhirnya. Sudah lelah dan muak melihat kakaknya duduk di sana.Brian mendongak, matanya merah dan wajahnya kusut. “Semua ini gara-gara kau, Sheila.”Sheila berhenti bergerak. Dia lalu menoleh pelan, menatap kakaknya itu tanpa terkejut. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian“Kau,” ulang Brian dengan suara lebih tinggi. “Kalau saja kau tidak pernah berteman den
Begitu keluar dari ruang sidang, Jane langsung berhenti melangkah.Dadanya naik turun cepat, amarah yang sejak tadi ia tahan kini meledak tanpa bisa dibendung lagi.Begitu melihat Andrew beberapa langkah di depannya, Jane segera menghampiri pria itu dengan wajah merah padam.“Apa-apaan tadi di dalam?” bentak Jane tanpa peduli orang-orang yang masih berlalu-lalang di halaman pengadilan. “Kau sudah bertindak gila, Andrew!” pekiknya dengan suara lantangnya.Andrew menoleh dan raut wajahnya berubah defensif. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”“Yang sebenarnya?” Jane tertawa pendek dan pahit. “Kau menuduh aku pergi dari rumah tanpa sepengetahuanmu! Padahal kau melihat sendiri aku keluar dari rumah itu!”Andrew mengernyit. “Itu bukan—”“Bahkan Audi juga melihat!” potong Jane tajam. “Perempuan yang kau sembunyikan itu ada di sana, berdiri dan melihat aku pergi, sementara kau pura-pura tidak tahu apa-apa di hadapan hakim!”Napas Jane memburu. Tangannya gemetar menahan emosi. Semua kenang
Dua hari kemudian, ruang sidang itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya.Bukan hanya karena pendingin ruangan yang menyala tanpa kompromi, melainkan karena ketegangan yang menggantung di udara.Jane sudah duduk rapi di bangku penggugat sejak lima belas menit yang lalu. Punggungnya tegak, tangannya terlipat di pangkuan, meski jemarinya saling menggenggam erat.Di sampingnya, Riana duduk dengan tenang sebagai kuasa hukumnya.Wajah Riana terlihat profesional, map cokelat tebal berisi dokumen-dokumen persidangan sudah siap di tangannya. Sesekali dia melirik Jane, memastikan klien sekaligus sahabatnya itu baik-baik saja.Jane menghembuskan napas pelan. Inilah hari yang dia tunggu-tunggu, sekaligus hari yang paling ingin ia lewati secepat mungkin. Ia tak ingin sidang berlarut-larut. Ia tak ingin drama. Ia hanya ingin satu hal: bebas.Pintu ruang sidang terbuka.Jane mendongak.Andrew masuk bersama kuasa hukumnya. Pria itu tampak rapi, wajahnya dibuat seteduh mungkin, seolah ia adalah kor
Setengah jam kemudian, Jane tiba di apartemennya dan bunyi lift terbuka. Namun, pandangannya langsung tertuju pada pria yang sudah membuatnya jengkel sejak semalam.Brian sudah berdiri di depan pintu apartemen Jane tengah menunggunya di sana. Tentu saja. Apa lagi yang Brian lakukan di sana kalau bukan sedang menunggunya.Suara dengung mesin lift yang berhenti terasa begitu nyaring di telinga Jane, seolah menandai sesuatu yang tidak ingin dia hadapi hari itu.Langkahnya terhenti tepat di ambang lift saat pandangannya bertemu dengan sosok pria yang berdiri bersandar pada dinding koridor.Brian.Jane menghela napas panjang, menundukkan wajahnya sesaat. Ia sempat berpikir untuk kembali menekan tombol lift dan pergi ke mana pun, asalkan bukan ke arah pria itu. Namun pada akhirnya, Jane melangkah keluar. Tidak ada lagi gunanya lari.Ia berjalan menghampiri Brian dengan langkah pelan namun mantap. Begitu jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah, Jane berhenti dan menatapnya datar, tanpa e







