Home / Romansa / Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam! / Bab 6: Aku tidak Keberatan

Share

Bab 6: Aku tidak Keberatan

last update Last Updated: 2025-11-02 11:47:33

Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.

Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.

Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.

“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.

Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.

Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.

Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.

Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?

Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.

Jane melangkah mendekat ke Brian. Tangannya terangkat, lalu melingkar di lengan pria itu. Sentuhan itu membuat tubuh Brian menegang sejenak, namun dia tidak menolak.

Jane menatap langsung ke arah Andrew, suaranya tenang tapi bergetar oleh emosi.

“Kau pikir hanya kau yang bisa jatuh cinta pada orang lain, Andrew?” ujarnya lirih, tapi tajam seperti pisau. “Aku pun bisa.”

Seketika suasana di depan kafe itu membeku. Audi terbelalak, sementara Andrew memucat.

Brian tetap diam, tapi jemarinya menggenggam lengan Jane pelan—bukan untuk melepaskannya, tapi menegaskan keberadaannya di sisinya.

Tatapan mereka bertemu—Jane dan Brian—dan di antara tatapan itu, ada sesuatu yang sulit dijelaskan.

Bukan sekadar pura-pura. Bukan sekadar permainan. Tapi sebuah kesadaran: bahwa mungkin, tanpa mereka sadari, sesuatu yang nyata mulai tumbuh di antara mereka.

Jane menarik napas panjang lalu berkata dengan mantap, “Aku tidak akan lagi menjadi wanita yang menunggumu, Andrew. Aku sudah memiliki yang baru dan tentunya lebih baik darimu.”

Lalu dia menarik Brian untuk pergi bersamanya meninggalkan Andrew dan Audi berdiri di sana yang masih terperangah, tak mampu berkata apa pun.

Mobil Brian terparkir tidak jauh dari kafe. Jane masuk tanpa banyak bicara. Tapi ketika pintu tertutup dan dunia di luar lenyap dalam diam, barulah ia sadar: jantungnya berdetak gila.

Suara pintu mobil tertutup pelan, menyisakan keheningan yang aneh di antara mereka. Mesin mulai berdengung, lampu jalan menari di kaca depan.

Jane menatap punggung tangan di pangkuannya, jemarinya saling meremas—bingung, malu, sekaligus menyesal.

“Brian?” suaranya nyaris tak terdengar di tengah dengungan mobil.

Pria itu hanya melirik sekilas, ekspresinya tetap tenang.

“Aku … maaf soal tadi,” lanjut Jane lirih. “Aku tidak seharusnya mengaku begitu. Aku hanya—”

“Kau tidak perlu menjelaskan.” Nada suaranya terdengar datar, tapi bukan dingin. Justru terdengar terlalu santai, seperti ombak yang bergulung lembut sebelum menerpa karang.

“Tapi aku sudah membuatmu terlihat buruk di depan orang lain,” desak Jane sambil menatap profil wajah Brian yang diterpa cahaya kota.

Tak ada lagi kata yang keluar dari bibir pria itu. Mobil terus melaju meninggalkan bayangan lampu-lampu kota yang memantul di wajah Jane.

Ia hanya bisa menatap keluar jendela, berusaha menenangkan debar yang aneh di dadanya.

Brian tetap diam sepanjang jalan, satu tangan menggenggam kemudi, dan tangan lainnya bertumpu di sandaran pintu.

Rahangnya tegas, matanya lurus menatap jalan. Tapi ada sesuatu dalam diamnya yang membuat udara terasa padat. Jane bisa mendengar detak jantungnya sendiri—keras dan tak beraturan.

Begitu mereka tiba di depan lift apartemen, Jane mengembuskan napas lega.

“Terima kasih sudah memberiku tumpangan,” ujarnya sambil berusaha tersenyum meski canggung.

Brian menatapnya sebentar dan bibirnya melengkung samar. “Kau membuatnya menarik, Jane.”

Ucapan itu membuat jantung Jane serasa berhenti berdetak sejenak. Ia cepat-cepat berbalik masuk ke dalam lift, berharap Brian tidak melihat wajahnya yang pasti sudah memerah. Tapi ternyata, langkah kaki berat pria itu menyusul di belakangnya.

“Kebetulan sekali unit apartemen kita satu lantai yang sama.”

Lift terbuka dan keduanya melangkah masuk. Pintu logam menutup meninggalkan mereka dalam ruang sempit berisi pantulan bayangan mereka sendiri.

Keheningan jatuh seperti kabut tipis. Jane bisa mendengar napasnya sendiri, dan napas Brian.

Hangat, berat, dekat sekali. Ia menunduk, tapi bisa merasakan tatapan pria itu yang tidak berpindah darinya sejak pintu lift tertutup.

“Kenapa kau diam sekali?” tanya Brian pelan dan menghantam kesadaran Jane.

Jane mengangkat wajahnya menatap refleksi mereka di kaca lift. “Aku tidak tahu harus bilang apa.”

Brian sedikit memiringkan kepalanya menatapnya langsung kali ini. Mata itu—tajam tapi penuh pesona, seperti bara yang menunggu meledak.

Langit-langit lift terasa rendah. Udara terlalu tipis. Jane merasa jantungnya berpacu gila.

Seketika, Brian bergerak. Ia memajukan tubuhnya dan menempelkan kedua tangannya di kaca tepat di sisi kepala Jane. Tubuhnya kini mengurungnya di antara dinding lift dan dada pria itu.

Jane menahan napasnya menatap lelaki itu. “B-Brian ….”

Suara detak jantungnya menggema keras di telinga. Ia bahkan bisa mencium aroma aftershave dan keringat halus dari tubuh Brian—aroma yang memabukkan.

Lift terasa berhenti bergerak, atau mungkin memang waktu berhenti di antara mereka.

Brian menunduk perlahan hingga jarak wajah mereka semakin tipis.

Jane terpaku. Matanya melebar dan bibirnya sedikit bergetar. Ia ingin mundur, tapi tak ada ruang.

Ketika napas Brian menyentuh kulit pipinya, Jane memejamkan mata erat-erat. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan pria itu.

Tapi sesuatu dalam dirinya—entah karena panik atau sesuatu yang lebih berbahaya—membuat seluruh tubuhnya kaku menanti.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya berlalu. Lalu suara rendah itu berbisik tepat di telinganya.

“Aku tidak keberatan.”

Jane membuka matanya perlahan, perasaan bingung langsung menyeruak dalam dadanya. Tatapan Brian begitu dekat, tajam, dan nyaris membuatnya kehilangan keseimbangan.

“Ma-maksudmu?” tanyanya dengan pelan.

Senyum itu muncul lagi di bibir Brian—santai, tapi ada sesuatu yang dalam di baliknya. “Bukan hanya sebagai mentor di tempat gym. Tapi juga penyembuh luka di hatimu.”

Jane sontak terdiam. Kata-katanya menusuk sekaligus menenangkan. Ia tahu Brian bermaksud memotivasi, tapi ada sesuatu dalam intonasi itu, dalam cara matanya menatap setiap inci wajahnya, yang membuat kalimat sederhana itu terdengar jauh lebih personal.

“Brian …,” suaranya hampir seperti bisikan. “Kau tidak perlu—”

“Tapi aku mau. Kau sendiri yang sudah mengenalkanku pada suamimu itu.”

Brian kembali mendekat bahkan kini jarak mereka hanya seringan napas yang saling berembus. “Kau ingin dipermalukan lagi oleh suamimu, kalau dia tahu kau berbohong?” bisiknya dengan suara beratnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 6: Aku tidak Keberatan

    Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.Jane melan

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 5: Kau Pantas Bahagia

    Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”“Apa?”“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.“Ayo,” ajak Brian sambil

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 4: Sudah Berada di Jalur yang Benar

    “Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.Saat mena

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 3: Mengakhiri Semuanya

    Waktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.“Terima kasih,” ucap Jane lirih.Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang te

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 2: Sesi Awal yang Menegangkan

    “Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.“Melihat apa?” tanya Brian.Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.Legging hitam ketat dan tank top

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 1: Harga Diri yang Diinjak-injak

    “Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”Brak!Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status