Kebun di belakang rumah mewah Adalfo Garcia terbentang hampir seluas satu lapangan sepakbola. Semasa hidupnya, Adalfo memang sangat gemar berkebun. Kebun itu ditanami berbagai jenis pohon dan bunga. Adalfo juga mempekerjakan tukang kebun khusus untuk merawat kebun itu. Sebuah rumah kaca dibangun di sisi timur kebun untuk tanaman yang memerlukan penanganan khusus, terutama bunga-bunga yang menjadi favorit Adalfo.
Siena sedang menyirami tanaman dalam rumah kaca, ketika dia menyadari, Damien Lambert tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Saat Siena menoleh, pengacara Adalfo berusia dua puluh sembilan tahun itu tersenyum padanya.
"Sepertinya kamu sudah betah tinggal di rumah ini, Siena…," sapa Damien.
Siena memandangi pria keturunan Perancis yang berwajah menawan itu. Senyumnya yang ramah dan mata cokelatnya yang hangat membuat Siena yakin kalau pria itu tak pernah kesulitan untuk menarik perhatian wanita mana pun. Damien berpakaian santai hari ini, kaos berkerah warna abu-abu dan celana denim biru tua, yang memperlihatkan bentuk tubuhnya yang atletis.
"Hai, Damien… Aku tak tahu kalau kamu mau datang," balas Siena dengan nada riang.
"Aku sudah terbiasa dari dulu. Tuan Adalfo minta aku anggap rumah ini seperti rumahku sendiri. Aku harap kamu juga tak keberatan."
"Ah, tentu saja tidak… Tak ada yang berubah di rumah ini. Kamu boleh datang kapan pun kamu mau," tanggap Siena, sambil melepas sarung tangan berkebunnya.
Mereka berdua berjalan keluar dari rumah kaca, menuju ke gazebo yang terletak persis di belakang bangunan rumah kaca. Satu set sofa empuk berwarna hijau mint sudah menanti. Siena dan Damien duduk berhadapan.
"Bagaimana kabarmu, Siena? Aku lihat kamu lumayan sibuk dengan para wartawan, tapi kamu benar-benar pandai menghindar." Damien mengulum senyumnya waktu mengatakan itu.
Siena menghela napas, lalu tersenyum kecut. "Mau tak mau, aku harus belajar hadapi mereka, seperti Grandpa dulu."
Ya, sejak Adalfo meninggal, entah bagaimana para insan media tahu, bahwa Siena Mori telah menjadi ahli waris tunggal dari Adalfo Garcia. Berita yang sangat menghebohkan tentunya. Masalahnya, semua orang tahu kalau Adalfo masih memiliki seorang cucu, Alfonso Garcia. Walaupun hubungan kakek dan cucu itu tak pernah dekat, tetap saja tak ada yang menduga, kalau Adalfo lebih memilih mewariskan semua hartanya pada Siena.
Latar belakang Siena pun mulai dikorek-korek dengan sadisnya. Ada yang melacak sampai ke ibu Siena, Sakura Mori, yang diketahui pernah bekerja sebagai perawat pribadi Adalfo. Orang-orang yang haus akan berita sensasional mulai berprasangka buruk, menuduh Sakura memiliki hubungan khusus dengan Adalfo, majikannya. Padahal Adalfo lebih cocok menjadi ayah Sakura!
Siena tidak menggubris semua gosip itu. Dia tahu benar bagaimana cara kerja media. Dia tak mau mencari masalah dengan media, juga tak mau menanggapi mereka. Cara yang dipilihnya sama seperti cara Adalfo, menghindar dan bungkam.
Damien menatap gadis yang duduk di hadapannya itu. Baru beberapa hari dia mengenal Siena, tapi entah kenapa, gadis ini membuatnya penasaran. Waktu dia membuatkan surat wasiat untuk Adalfo, pria itu memang sempat bercerita tentang Siena. Namun setelah bertemu sendiri dengan Siena, Damien merasa lebih tertarik untuk mengenal Siena lebih jauh.
Ada sesuatu yang membuat Siena berbeda dengan gadis lain, tapi apa? Apakah karena sifat Siena yang berani, atau kecerdasannya, atau justru kepolosannya? Wajah oriental biasanya tak terlalu menarik perhatian Damien. Namun Damien harus mengakui, justru wajah gadis itulah yang paling sering membayangi benaknya belakangan ini. Rambut cokelat lurus dan tubuh mungil Siena juga masih kalah dengan sebagian besar wanita berambut pirang dan bertubuh sensual yang pernah Damien kencani. Namun jika semua yang ada pada diri Siena digabungkan, entah kenapa membentuk kombinasi yang membuat Damien sulit memalingkan wajahnya. Damien mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Ada apa sebenarnya dengan dia?
"Ada yang mau kamu bicarakan, Damien?" Suara Siena membuyarkan pikiran Damien.
"Oh… Ehm... Ya, sebenarnya ada…," Damien agak tergagap. "Aku datang sesuai janjiku waktu itu, waktu aku melayat di hari pemakaman Tuan Adalfo Garcia."
Damien mengeluarkan sebuah map plastik dari tas kulit model messenger yang dipegangnya dari tadi. "Ini surat wasiat Tuan Adalfo yang pasti sudah kamu tunggu-tunggu, Siena… Dengan surat ini, semuanya sudah sah kamu miliki. Tak ada yang bisa menuntutmu lagi, termasuk Alfonso Garcia sendiri," tutur Damien.
"Bagaimana kamu…? Kamu tahu kalau Alfonso Garcia datang temui aku kemarin?" Siena terperanjat.
"Ya, aku dengar laporan dari Lucio. Kurasa pelayan pribadi Tuan Adalfo itu cuma ingin lindungi kamu, Siena… Dia khawatir kalau Alfonso lakukan sesuatu yang mengancam kamu," Damien menjelaskan.
Pikiran Siena melayang kembali ke pertemuannya hari itu dengan Alfonso. Sesuatu dalam hatinya membisikkan kalau Alfonso tak akan mudah menyerah begitu saja untuk mendapatkan kembali harta warisan sang kakek.
"Dia bilang, dia akan bawa kasus ini ke pengadilan," cerita Siena.
Damien tertawa renyah. "Dia tak akan bisa apa-apa. Semua surat wasiat ini legal. Tuan Adalfo sendiri yang minta aku buat dan daftarkan ke notaris. Surat ini bahkan sudah jadi sebelum Tuan Adalfo meninggal. Jadi Alfonso tak bisa menuntutmu. Dia cuma akan permalukan diri sendiri, kalau sampai dia berani buka kasus ini ke pengadilan," tanggap Damien dengan santai.
"Aku tahu. Tapi tetap saja aku merasa tak nyaman. Aku punya firasat… Alfonso tak akan diam saja. Dia sudah hidup mapan. Tapi kenyataannya, dia sengaja pulang ke Los Angeles cuma untuk menuntut harta warisan kakeknya. Tak mungkin dia susah payah terbang dari New York ke Los Angeles cuma untuk keluarkan ancaman, lalu pulang begitu saja dengan tangan kosong," papar Siena.
"Huh! Dia bahkan tak hadir di pemakaman Tuan Adalfo. Tapi giliran harta warisan, dia tak mau menyerah. Dasar tak tahu malu!" omel Damien sambil mendengkus.
"Tenang saja, Siena… Biarkan saja orang itu. Dia sudah terlalu lama abaikan kakeknya. Sekarang, kita bisa lihat sendiri, orang macam apa dia itu. Cuma gila harta," Damien terus mencerca Alfonso di depan Siena.
"Entahlah, kurasa dia bukan tipe orang yang mudah diabaikan begitu saja," gumam Siena.
"Lebih baik kamu fokus pada surat wasiat ini saja. Sekarang ini milikmu, aku berikan semuanya padamu, Siena…" Damien menyerahkan map plastik berwarna bening itu pada Siena.
Siena agak ragu sejenak, tapi akhirnya tangannya terulur juga, menerima map dari Damien. Ia membuka map, mengeluarkan seberkas dokumen dari dalamnya. Di bagian awal, ada tulisan panjang lebar tentang hukum. Siena tak mengerti, dilewatkannya saja. Mendadak, matanya tertumbuk pada satu bagian dokumen.
"Damien, apa maksudnya ini? Tuan Adalfo ingin aku mengurus kelima asetnya yang tersebar di seluruh dunia? Tapi di sini tak disebutkan aset apa itu…," protes Siena.
"Ada lampiran di bagian belakang, bacalah terus…"
Kening Siena seketika berkerut waktu sampai di lembar lampiran terpisah yang dimaksud Damien. Mulutnya membuka dan menutup tanpa suara.
"Damien… Apa ini…?" Siena mengangkat wajahnya, menatap Damien dengan mata terbelalak.
Bibir Damien tertarik membentuk seulas senyuman. "Itu, Siena, adalah tugasmu untuk memecahkannya…."
Butuh waktu beberapa detik bagi Siena untuk bisa mencerna ucapan Damien. Pria itu tidak sedang bercanda, bukan? Tapi mana mungkin sebuah surat wasiat berisi lelucon? Siena mengarahkan pandangannya kembali ke tulisan yang ada di depan matanya, berharap dia salah baca. Ia bahkan mengucek kedua matanya sesaat, tapi tulisan itu tetap tak berubah.
Permainan apa yang sedang dimainkan Adalfo padanya? Oh, yang benar saja! Siena tahu, kakek angkatnya itu hobi membaca buku detektif dan misteri, tapi tidak begitu juga caranya. Ini yang tertulis di lampiran surat wasiat Adalfo:
Aset luar negeri pertama yang diwariskan pada Siena Mori untuk diurus adalah:
Daunbrazil, honeysuckle, oleander, tulip, echinacea, lily, amaryllis, dahlia, anthurium, lavender, fuschia, orchid
Siena membaca lampiran surat wasiat Adalfo sekali lagi. Semua nama bunga itu ada di dalam rumah kaca Adalfo, kecuali satu. Apa itu Daunbrazil? Kening Siena berkerut lagi.Hari Sabtu, satu hari setelah Damien memberikan surat wasiat, Siena sedang berada di rumah kaca sekarang. Bertekad untuk memecahkan teka-teki yang diberikan kakek angkatnya, Siena mencermati satu persatu pot tanaman bunga yang namanya tertulis di surat. Diangkatnya pot pertama yang terbuat dari batu, bunga Honeysuckle. Bagian bawah pot? Tak ada tulisan apa-apa. Diputar-putarnya pot, mungkin di sisi kiri kanan pot? Tak ada apa-apa juga, kecuali ukiran yang memang sudah jadi satu dengan desain pot.Siena menghembuskan napas dengan kasar. Masa iya dia harus mencabut tanaman itu satu persatu, untuk melihat sampai ke dasar pot? Mungkinkah Adalfo sembunyikan sesuatu di dalam tanah yang mengisi pot? Tangan Siena terulur ragu-ragu."Grandpa, perma
"Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Damien menyadarkan Siena dari lamunannya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil limusin yang mengantarkan ke Hotel La Paradise."Oh… Tak ada, aku --""Kamu gugup?"Siena menggigit bibir bawahnya. "Yah, sedikit senewen…."Tangan kanan Damien terulur, menggenggam kedua tangan Siena yang ada di pangkuan. "Tenang saja, kamu Siena yang pemberani. Lagipula kamu kelihatan sangat memesona malam ini." Damien memuji penampilan Siena, yang mengenakan midi dress warna merah cherry dengan model off-shoulder. Terlihat sangat serasi dengan tubuh mungil Siena, sampai Damien ingin terus memandanginya.Siena tersenyum kaku. Entah kenapa, tangan Damien yang hangat menimbulkan desir aneh di dadanya. Pria itu juga sangat baik, mau menemaninya ke pesta yang sebenarnya tak termasuk dalam tugas pengacara.
Alfonso dan Gloria masuk ke dalam mobil Audi warna putih mengilap, meluncur dengan cepat meninggalkan Hotel La Paradise. Setelah beberapa menit dalam hening, Gloria melirik ke arah Alfonso yang diam saja."Jadi itu yang namanya Siena Mori? Penampilannya kelihatan sangat berbeda malam ini. Huh! Dia pasti hamburkan uang si tua Adalfo untuk beli segala make-up dan dress yang mewah. Tapi tetap saja dia terlihat norak, tak pantas untuk jadi kalangan jetset," cemooh Gloria.Alfonso hanya mengusap dagunya yang bercambang tipis dengan sebelah tangannya, tapi tak bereaksi. Dia masih berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis yang disebut Gloria dari benaknya."Honey Bear…," Gloria mulai merengek lagi. Mau tak mau, Alfonso menoleh memandang wanitanya."Aku lihat cara kamu menatap Siena. Kamu tidak sedang mabuk 'kan? Jangan katakan kalau kamu anggap gadis itu menarik…."
Siena menutup kopernya. Semua barang yang diperlukan sudah masuk ke dalam koper, sekarang tinggal menyiapkan tas selempangnya. Yang dia perlukan adalah dompet, paspor, barang-barang pribadi dan… foto Adalfo serta ibunya yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dua jam lagi, pesawat pribadi milik Adalfo akan membawanya dan Damien menuju ke Dubai.Mendadak terdengar bunyi langkah kaki mendekat, seperti berlari ke arah kamarnya.Tok! Tok! Tok!Siena membuka pintu kamar tidurnya. "Lucio? Ada apa?"Pelayan yang setia itu berdiri di muka pintu, entah kenapa wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. "Nona Siena…," gagapnya.Dahi Siena mengernyit. "Kenapa, Lucio?""Tuan Alfonso Garcia sedang menunggu Nona di ruang tamu."*****Alfonso duduk di kursi bermodel antik di ruang tamu. Kedua tangannya ditumpangk
Flashback: Dua bulan yang laluSiena berjalan terburu-buru sepanjang trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, dan masuk ke sebuah kafe di sebelah kirinya. Kafe berdinding kaca itu didominasi oleh warna-warna pastel yang lembut. Baru jam setengah delapan, tetapi kafe itu sudah penuh dengan pengunjung yang asyik menikmati sarapan."Selamat datang di Cheers Cafe!" sapa sebuah suara yang ramah."Hai, Brian! Orderanku yang biasa ya…," balas Siena, tersenyum pada barista pria yang berdiri di belakang meja konter.Pria berwajah oriental itu tersenyum manis, hingga sepasang matanya menyipit. Tubuhnya ramping, sedikit lebih tinggi daripada Siena. Rambut dan iris matanya yang hitam khas Asia, berpadu dengan wajahnya yang agak bulat, membuat pria itu terlihat hangat dan menyenangkan."Green tea latte, esnya sedikit, sudah aku siapkan dari
Flashback: Dua bulan yang lalu.Siena tiba di sebuah gedung berlantai sepuluh yang terletak beberapa blok dari Cheers Cafe. Kantor Angels Daily berada di lantai delapan gedung itu. Meskipun hanya sebuah kantor kecil, Siena sangat menikmati pekerjaannya. Penghasilannya juga lumayan. Yah, mungkin bukan penghasilan yang bisa membuat dia hidup mewah, tapi kepuasan yang dirasakannya jauh melebihi nilai gajinya."Siena…! Tahan lift-nya!" Suara teriakan melengking itu terdengar dari luar, saat Siena sudah berada di dalam lift.Siena buru-buru memencet tombol buka pintu. Seorang gadis sebaya Siena berlari tergopoh-gopoh menyelinap ke dalam lift, dengan ransel di bahunya, gelas kertas di tangan kirinya, dan seberkas map plastik di tangan kanannya. Sepertinya dia kerepotan membawa semua barangnya."Thanks, Siena Chan! Kamu memang paling baik!" celoteh gadis itu sambil tert
Flashback: Satu bulan yang lalu.BRUKKK!Alfonso Garcia membanting ponselnya ke atas meja kerjanya dengan kasar. Ponsel itu tidak hancur, tapi minimal layarnya pasti retak. Alfonso sudah tak ambil pusing lagi. Hatinya sedang membara saat ini.Dia baru saja selesai membaca tulisan bersambung di kolom Angels Daily. Apalagi kalau bukan kisah hidup Adalfo Garcia, kakeknya.Alfonso benar-benar tak percaya, Adalfo rela membuka seluruh kisah hidupnya di media seperti itu! Sesuatu yang sangat bertentangan dengan sifat Adalfo selama ini. Yang paling membuat Alfonso murka adalah pengakuan jujur Adalfo, tentang bagaimana dia menjadi penyebab berpisahnya ayah dan ibu Alfonso sendiri.Beginilah isi pengakuan Adalfo:"Akulah yang harus disalahkan, karena aku menolak merestui pernikahan Alberto dengan wanita yang dicintainya. Mereka pergi
Flashback: Satu minggu yang lalu.Sebuah mobil limusin warna hitam mengilap berhenti di depan rumah mewah Adalfo Garcia di kawasan Beverly Hills. Terburu-buru Siena keluar dari mobil itu. Adalfo sengaja mengutus sopir pribadinya untuk menjemput Siena. Pria itu meminta untuk segera bertemu.Siena berlari tergopoh-gopoh ke kamar tidur Adalfo. Menurut Lucio, Adalfo hanya berbaring di tempat tidurnya selama dua hari terakhir ini. Dalam hatinya, Siena gelisah. Dia tahu Adalfo menderita penyakit jantung koroner, dan sudah pernah menjalani operasi bypass. Namun kondisi kesehatan kakek angkatnya itu memang cenderung menurun belakangan ini."Grandpa…," sapa Siena, saat tiba di depan pintu kamar Adalfo. Dadanya naik turun, napasnya masih terengah-engah karena berlari.Adalfo berbaring di atas tempat tidur berukuran besar di tengah kamar tidur yang luas. Ia langsung menoleh