Share

4. Pesan Konyol

Siena membaca lampiran surat wasiat Adalfo sekali lagi. Semua nama bunga itu ada di dalam rumah kaca Adalfo, kecuali satu. Apa itu Daunbrazil? Kening Siena berkerut lagi.

Hari Sabtu, satu hari setelah Damien memberikan surat wasiat, Siena sedang berada di rumah kaca sekarang. Bertekad untuk memecahkan teka-teki yang diberikan kakek angkatnya, Siena mencermati satu persatu pot tanaman bunga yang namanya tertulis di surat. Diangkatnya pot pertama yang terbuat dari batu, bunga Honeysuckle. Bagian bawah pot? Tak ada tulisan apa-apa. Diputar-putarnya pot, mungkin di sisi kiri kanan pot? Tak ada apa-apa juga, kecuali ukiran yang memang sudah jadi satu dengan desain pot.

Siena menghembuskan napas dengan kasar. Masa iya dia harus mencabut tanaman itu satu persatu, untuk melihat sampai ke dasar pot? Mungkinkah Adalfo sembunyikan sesuatu di dalam tanah yang mengisi pot? Tangan Siena terulur ragu-ragu.

"Grandpa, permainan macam apa sih ini?" keluh Siena.

Akhirnya dia nekat mencabut tanaman Honeysuckle itu. Jari-jari lentiknya mengais-ngais tanah dalam pot. Makin lama makin cepat, sampai akhirnya Siena menumpahkan semua isi pot itu ke lantai rumah kaca. Cuma ada tanah hitam yang terlihat.

"Oh ya ampun! Sama sekali tidak lucu!" Siena rasanya ingin membanting pot batu itu ke lantai pada saat bersamaan. Surat wasiat absurd!

Siena berjongkok memandang ceceran tanah yang ditumpahkannya dari pot. "Andai saja aku tak berjanji pada Grandpa untuk mengurus semua yang diwariskan Grandpa padaku…," gumamnya. "Aku tak perlu lakukan kekonyolan ini."

Siena memijit di antara kedua matanya. "Berpikirlah, Siena…! Apa sebenarnya maksud Grandpa? Pasti ada petunjuk…"

Apakah Adalfo pernah memberikan sekedar petunjuk atau isyarat apa pun padanya? Dia tahu Adalfo sangat suka bunga, tapi rasanya tak ada yang istimewa dengan semua bunga yang ditanam Adalfo di dalam rumah kaca ini.

Siena menyeka kedua tangannya ke celana denimnya, membersihkan sisa tanah yang menempel. Lalu diambilnya ponsel di dalam saku celananya.

"Honeysuckle…"

Diketiknya nama bunga itu di search engine. Muncul berbagai definisi dan sejarah tentang bunga yang kebanyakan berwarna putih dan kuning itu, tapi apa hubungannya dengan warisan Adalfo?

"Coba kita cari yang ini, Daunbrazil…"

Yang muncul justru Brazilian spinach, nama bayam yang berasal dari Brazil!

"Ini benar-benar konyol!"

Mendadak, terbersit di pikiran Siena, bagaimana kalau Adalfo cuma sedang mengerjainya? Siena membalikkan tubuhnya. Baru saja dia hendak berjalan ke pintu keluar rumah kaca, terdengar suara teriakan yang sangat dikenalnya.

"Siena Chan…!"

"Imel?"

Siena terperanjat mendapati kedua sahabatnya, Imelda dan Brian sedang berjalan ke arah rumah kaca. Buru-buru dia menyelipkan lampiran surat wasiat Adalfo yang dipegangnya ke belakang salah satu pot besar, yang terletak paling dekat dengan tempatnya berdiri. Dia ingat pesan Damien, supaya isi surat wasiat itu dan lampirannya jangan sampai diketahui orang lain.

"Kalian tak kabari aku dulu kalau mau datang," sapa Siena pada mereka berdua.

"Woo… Jadi sekarang, kami harus izin dulu kalau mau datang?" protes Imelda.

"Bukan begitu maksudku…."

"Waw…! Lihat, kebunnya luas sekali!" Imelda tahu-tahu sudah memekik, mengagumi kebun Adalfo. "Ckckck… Kamu orang paling beruntung, Siena Chan. Mendadak jadi miliarder!"

"Jangan bicara begitu, Imel… Ayo kita duduk di situ," ajak Siena, menunjuk ke arah gazebo.

"Cheers Cafe merindukan kamu, Siena…," ucap Brian, waktu mereka bertiga sudah duduk di sofa.

Siena tersenyum kecut. Sudah pasti sejak tinggal di rumah Adalfo di Beverly Hills, Siena tak bisa lagi mampir ke Cheers Cafe, kafe tempat Brian bekerja. Dia juga sudah mengundurkan diri dari pekerjaannya di media daring Angels Daily, semuanya semata-mata karena permintaan Adalfo.

"Aku juga kangen green tea latte buatan kamu, Brian…"

"Cuma green tea latte-ku?" Pertanyaan Brian seperti menyimpan makna lain. Alis Brian terangkat.

"Aku juga kangen kalian," sambung Siena. Mata hazel-nya beradu pandang dengan mata Brian.

"Tak apa-apa, aku lebih senang kamu tinggal di sini. Jadi aku bisa main ke sini kapan pun aku mau. Tadi aku lihat ada kolam renang juga. Lain kali aku bawa pakaian renang ya… Boleh 'kan aku berenang di sini?" Imelda tak henti mencerocos, mengabaikan Brian yang terus memandang Siena.

"Tentu saja boleh…"

Belum selesai Siena berbicara, Imelda sudah berdiri dan menarik tangan kirinya. "Ayo Siena Chan, antar kami tur keliling istana ini! Aku belum puas lihat semuanya."

"Apa…? Eh, pelan-pelan…!"

Mau tak mau, Siena terpaksa mengikuti sahabatnya itu, Brian mengintil dari belakang. Mereka menyusuri kebun, terus masuk ke sayap kiri rumah di mana terdapat ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dan dapur. Berlanjut ke sayap kanan rumah yang berisi ruangan yang lebih privat, ruang kerja dan kamar-kamar tidur. Imelda tak henti-hentinya berdecak kagum.

"Semuanya ukuran jumbo! Lihat, masih ada lantai dua lagi!" seruan Imelda bergaung di dalam rumah yang besar itu.

"Kamu norak amat sih, Imel!" hardik Brian.

"Biar saja! Aku orangnya tak pernah pura-pura. Kalau kagum aku omong apa adanya," balas Imelda sewot.

"Tapi tak seperti ini juga…!"

"Sudah, sudah…! Ayo kita duduk di dekat kolam saja…" Siena buru-buru melerai keduanya yang memang suka beradu pendapat.

Mereka bertiga duduk di kursi santai yang terdapat di pinggir kolam renang besar berbentuk lingkaran. Udara sejuk di akhir musim gugur berhembus dari halaman samping yang rindang dengan pepohonan.

"Sekarang, apa saja kegiatanmu, Siena?" tanya Brian.

Bip! Bip!

Ponsel Siena berbunyi. Dia memberi isyarat pada Brian, lalu dijawabnya panggilan masuk itu.

"Hallo…"

"Siena, kamu tidak lupa dengan acara malam ini 'kan? Aku jemput kamu jam enam ya…," suara lembut Damien terdengar dari seberang telepon.

"Oh ya, Damien… Tentu saja aku ingat nanti malam."

Mata Brian seketika menatap tajam ke arah Siena, keningnya berkerut. Siapa itu Damien?

"Dress code-nya apa? Maksudnya, aku harus pakai apa? Oh…, baiklah… Ya, aku tunggu…" Siena menutup ponselnya.

"Siapa yang telepon?" Brian langsung menodongnya dengan pertanyaan.

"Damien, pengacara Tuan Adalfo. Nanti malam, aku harus ke pesta ulang tahun Hotel La Paradise, hotelnya Tuan Adalfo."

"Wah, kamu sudah jadi kalangan jetset sekarang, Siena…!" celetuk Imelda sambil terkikik.

Imelda terus berceloteh, sementara Brian menatap Siena dengan rasa pedih di hatinya. Rasanya seperti kehilangan Siena yang dulu, Siena yang bisa diajaknya mengobrol dan makan bersama tanpa ada embel-embel apa pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status