Share

5. Gangguan di Pesta

"Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Damien menyadarkan Siena dari lamunannya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil limusin yang mengantarkan ke Hotel La Paradise.

"Oh… Tak ada, aku --"

"Kamu gugup?"

Siena menggigit bibir bawahnya. "Yah, sedikit senewen…."

Tangan kanan Damien terulur, menggenggam kedua tangan Siena yang ada di pangkuan. "Tenang saja, kamu Siena yang pemberani. Lagipula kamu kelihatan sangat memesona malam ini." Damien memuji penampilan Siena, yang mengenakan midi dress warna merah cherry dengan model off-shoulder. Terlihat sangat serasi dengan tubuh mungil Siena, sampai Damien ingin terus memandanginya.

Siena tersenyum kaku. Entah kenapa, tangan Damien yang hangat menimbulkan desir aneh di dadanya. Pria itu juga sangat baik, mau menemaninya ke pesta yang sebenarnya tak termasuk dalam tugas pengacara.

"Kita sudah sampai, Tuan dan Nona…," Fidel, sang sopir memberitahu.

Dari awal Siena sudah menduga, pesta ini pasti akan dipenuhi orang-orang yang asing baginya, dan… wartawan! Dugaannya benar. Para pemburu berita itu sudah menanti di pelataran depan hotel, menyambut setiap tamu yang turun dari mobil. Untunglah jumlah petugas keamanan yang berjaga jauh lebih banyak. Mereka membentuk barisan yang menghalangi wartawan, supaya tak bisa mendekati para tamu.

"Ayo, Siena…" Damien seolah paham kekhawatiran Siena. Ia menggandeng tangan kiri Siena, memberikan senyuman menenangkan.

Saat mereka berdua turun dari mobil limusin, kilatan cahaya dari puluhan kamera berebut mengabadikan. Mata Siena sampai berkunang-kunang karena silau. Untunglah Damien terus menggandeng tangannya, menuntunnya berjalan melewati karpet merah, masuk ke dalam hotel.

Di lobi depan, mereka sudah disambut oleh para petinggi dan karyawan hotel. Karena Siena adalah pewaris semua perusahaan Adalfo, tentu saja sekarang ia juga menjadi atasan dari semua karyawan itu.

"Selamat datang, Nona Siena…," sapa seorang pria berkepala plontos dan berkacamata. "Saya Rudolf Nash, General Manager Hotel La Paradise."

"Selamat malam, Tuan Nash, senang bertemu Anda…"

Entah berapa banyak karyawan yang bersalaman dengannya, dan berapa kali dia mengulangi kata-kata yang hampir sama itu, Siena tak sanggup menghitung lagi.

"Grandpa pasti menyesal wariskan semua ini padaku, padahal aku sebenarnya tak bisa apa-apa," keluh Siena dalam hati, merasa rendah diri. Kenyataannya, semua bisnis Adalfo memang sanggup berjalan sendiri tanpa campur tangan Siena, karena Adalfo sudah punya manajemen dan karyawan yang hebat.

Akhirnya sesi perkenalan itu selesai juga. Damien menuntun Siena ke arah meja hidangan prasmanan.

"Sekarang, kita isi perut saja. Tak usah pikirkan yang lain," cetus Damien.

"Oh, syukurlah… Aku haus sekali…"

Siena buru-buru meraih segelas minuman berwarna merah di atas meja minuman. Baru mencicipi seteguk, dahinya langsung mengernyit, dan mulutnya terbatuk-batuk.

"Uhuk! Minuman apa ini?" jerit Siena. "Rasanya aneh…!"

Damien tergelak melihat tingkah Siena. "Jangan katakan kalau kamu tak pernah minum red wine…!"

Siena terperangah menatap gelasnya. "Aku pikir ini minuman soda…" Wajahnya memerah, ia melirik ke sekeliling, berharap tak ada yang memperhatikannya.

Damien masih tertawa-tawa. "Sebaiknya kamu minum ini saja, Siena, sparkling water…," ujarnya, sambil mengganti gelas di tangan Siena dengan segelas minuman bening berkarbonasi.

"Sshh... Jangan tertawa lagi, ah…," Siena setengah mengomel, tapi suaranya direndahkan supaya tak menarik perhatian.

"Kamu perlu belajar minum wine juga. Masih banyak acara yang harus kamu hadiri ke depannya, Siena… Kamu tak mungkin menolak tiap kali disuguhi wine," tutur Damien. Ia terlihat sangat menikmati minuman merah di tangannya itu.

Siena tertegun. Masa minum wine juga harus masuk dalam daftar kewajibannya sebagai ahli waris Adalfo?

Sepasang mata memperhatikan Siena dan Damien dari kejauhan. Gaun merah Siena sebenarnya tidak berpotongan terbuka, tapi tetap saja memamerkan kulit bahu dan punggungnya yang putih mulus, juga kakinya yang indah. Pinggang ramping gadis itu dibalut dengan sempurna oleh gaun berbahan satin. Wajah oval, rambut cokelat, dan tubuh mungil itu… Alfonso menyapukan lidah membasahi bibir bagian bawahnya. Pasti dia sudah kebanyakan minum wine, pikirannya mulai tidak beres. Bisa-bisanya dia berfantasi tentang Siena Mori!

Alfonso melangkah mendekati kedua orang itu. "Selamat malam… Sudah kukatakan, kita akan segera bertemu lagi."

Siena terkesiap waktu menoleh ke asal suara bernada rendah itu. Wajah pria yang membuatnya dihantui mimpi buruk! Siena sendiri heran, bagaimana wajah latin itu bisa terlihat begitu menawan sekaligus menyebalkan dalam waktu bersamaan. Mungkin itu sebabnya ada pendapat yang mengatakan kalau iblis memang memiliki dua wajah.

"Kamu…!"

Bibir Alfonso membentuk seulas senyum. "Hallo, Siena… Dan kamu pasti Damien Lambert. Kalian sekutu yang hebat," ucapannya bernada cemooh.

"Bagaimana kamu bisa masuk ke hotel ini?" semprot Siena dengan cepat.

"Hahaha…" Alfonso tertawa dengan suara kasar. "Jangan lupa, aku cucunya Adalfo Garcia. Mana mungkin pegawai hotel ini berani menolak kalau aku mau datang ke sini?" tanggap Alfonso dengan enteng.

Siena mengeritkan giginya karena marah sekaligus tak berdaya. Marah karena Alfonso baru mengaku sebagai cucu Adalfo di saat Adalfo sudah tiada. Tak berdaya karena Alfonso benar, Siena tak bisa mengusir Alfonso dari hotel kakeknya sendiri!

"Sepertinya kerja sama kalian sangat baik, sampai-sampai datang ke pesta pun harus berduaan," lagi-lagi Alfonso menyindir.

"Tuan Adalfo minta aku dampingi Siena, pewaris sah semua perusahaan Tuan Adalfo, supaya dia aman dari orang-orang yang mau mengusiknya," balas Damien, dengan sengaja memberi penekanan pada kata 'pewaris sah'.

Kedua pria yang hampir sama tinggi itu saling bertatapan, mata biru keabu-abuan Alfonso melawan mata cokelat Damien.

"Aku curiga hubungan kalian lebih dari sekedar klien dan pengacara. Tidakkah terlalu kebetulan, kamu yang buat surat warisan untuk Adalfo, dan Siena yang jadi ahli warisnya?" Alfonso terus melancarkan perang urat saraf dengan Damien.

"Yang lebih penting adalah apa yang diakui sah secara hukum. Daripada seseorang yang mengaku sebagai cucu, tapi di pemakaman kakeknya saja dia tidak datang…!" Siena melabrak Alfonso dengan wajah geram.

Alfonso menyipitkan matanya menatap Siena. Kenapa gadis ini selalu saja menantangnya? Tapi saat sepasang mata mereka bertemu, Alfonso malah salah fokus dengan wajah Siena, yang tampak begitu indah bagai boneka porselen di bawah sorot lampu ruangan. Seketika dia kehilangan kata-kata.

"Alfonso…," panggil suara bernada manja. Gloria mendadak muncul di samping Alfonso, merangkul lengan kiri pria itu, sambil mencermati Siena dari atas sampai ke bawah.

Siena balas memandangi Gloria dengan dahi berkerut. Siapa wanita ini, kekasih Alfonso? Wanita bergaun silver itu terlihat begitu glamor dan memesona. Kalaupun dia mengaku sebagai seorang aktris, Siena juga pasti percaya.

"Honey, kurasa saatnya kita pergi. Tuan rumah di sini sama sekali tidak ramah," cela Gloria, bibirnya tersenyum mengejek.

"Kamu benar, Gloria, ini bukan waktu yang tepat," respons Alfonso. Ia kembali menatap Siena. "Aku datang ke sini cuma untuk menyapa kamu, Siena, supaya kamu tahu, aku tak akan pernah lepaskan kamu…"

Kalimat terakhir Alfonso sontak mengirimkan sensasi dingin ke sekujur tubuh Siena, bagai air es yang dituang ke atas kepalanya. Ini kedua kalinya Alfonso mengancam dirinya.

Alfonso menyeringai lebar, lalu ia menggandeng tangan Gloria dan berbalik, berjalan meninggalkan Siena dan Damien. Siena baru sadar, dari tadi dia menahan napasnya.

"Biarkan saja, Siena… Dia sengaja datang untuk ganggu kamu," Damien berkata dengan lembut, merangkul pundak Siena.

Mereka saling berpandangan. Berbeda sekali dengan tatapan mata Alfonso, sepasang mata Damien selalu terasa tulus dan memberikan kehangatan bagi Siena.

"Terima kasih, Damien… Untung ada kamu yang temani aku."

Damien tersenyum. "Ayo, kita lanjutkan pesta kita…."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status