"Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Damien menyadarkan Siena dari lamunannya. Mereka berdua sedang berada di dalam mobil limusin yang mengantarkan ke Hotel La Paradise.
"Oh… Tak ada, aku --"
"Kamu gugup?"
Siena menggigit bibir bawahnya. "Yah, sedikit senewen…."
Tangan kanan Damien terulur, menggenggam kedua tangan Siena yang ada di pangkuan. "Tenang saja, kamu Siena yang pemberani. Lagipula kamu kelihatan sangat memesona malam ini." Damien memuji penampilan Siena, yang mengenakan midi dress warna merah cherry dengan model off-shoulder. Terlihat sangat serasi dengan tubuh mungil Siena, sampai Damien ingin terus memandanginya.
Siena tersenyum kaku. Entah kenapa, tangan Damien yang hangat menimbulkan desir aneh di dadanya. Pria itu juga sangat baik, mau menemaninya ke pesta yang sebenarnya tak termasuk dalam tugas pengacara.
"Kita sudah sampai, Tuan dan Nona…," Fidel, sang sopir memberitahu.
Dari awal Siena sudah menduga, pesta ini pasti akan dipenuhi orang-orang yang asing baginya, dan… wartawan! Dugaannya benar. Para pemburu berita itu sudah menanti di pelataran depan hotel, menyambut setiap tamu yang turun dari mobil. Untunglah jumlah petugas keamanan yang berjaga jauh lebih banyak. Mereka membentuk barisan yang menghalangi wartawan, supaya tak bisa mendekati para tamu.
"Ayo, Siena…" Damien seolah paham kekhawatiran Siena. Ia menggandeng tangan kiri Siena, memberikan senyuman menenangkan.
Saat mereka berdua turun dari mobil limusin, kilatan cahaya dari puluhan kamera berebut mengabadikan. Mata Siena sampai berkunang-kunang karena silau. Untunglah Damien terus menggandeng tangannya, menuntunnya berjalan melewati karpet merah, masuk ke dalam hotel.
Di lobi depan, mereka sudah disambut oleh para petinggi dan karyawan hotel. Karena Siena adalah pewaris semua perusahaan Adalfo, tentu saja sekarang ia juga menjadi atasan dari semua karyawan itu.
"Selamat datang, Nona Siena…," sapa seorang pria berkepala plontos dan berkacamata. "Saya Rudolf Nash, General Manager Hotel La Paradise."
"Selamat malam, Tuan Nash, senang bertemu Anda…"
Entah berapa banyak karyawan yang bersalaman dengannya, dan berapa kali dia mengulangi kata-kata yang hampir sama itu, Siena tak sanggup menghitung lagi.
"Grandpa pasti menyesal wariskan semua ini padaku, padahal aku sebenarnya tak bisa apa-apa," keluh Siena dalam hati, merasa rendah diri. Kenyataannya, semua bisnis Adalfo memang sanggup berjalan sendiri tanpa campur tangan Siena, karena Adalfo sudah punya manajemen dan karyawan yang hebat.
Akhirnya sesi perkenalan itu selesai juga. Damien menuntun Siena ke arah meja hidangan prasmanan.
"Sekarang, kita isi perut saja. Tak usah pikirkan yang lain," cetus Damien.
"Oh, syukurlah… Aku haus sekali…"
Siena buru-buru meraih segelas minuman berwarna merah di atas meja minuman. Baru mencicipi seteguk, dahinya langsung mengernyit, dan mulutnya terbatuk-batuk.
"Uhuk! Minuman apa ini?" jerit Siena. "Rasanya aneh…!"
Damien tergelak melihat tingkah Siena. "Jangan katakan kalau kamu tak pernah minum red wine…!"
Siena terperangah menatap gelasnya. "Aku pikir ini minuman soda…" Wajahnya memerah, ia melirik ke sekeliling, berharap tak ada yang memperhatikannya.
Damien masih tertawa-tawa. "Sebaiknya kamu minum ini saja, Siena, sparkling water…," ujarnya, sambil mengganti gelas di tangan Siena dengan segelas minuman bening berkarbonasi.
"Sshh... Jangan tertawa lagi, ah…," Siena setengah mengomel, tapi suaranya direndahkan supaya tak menarik perhatian.
"Kamu perlu belajar minum wine juga. Masih banyak acara yang harus kamu hadiri ke depannya, Siena… Kamu tak mungkin menolak tiap kali disuguhi wine," tutur Damien. Ia terlihat sangat menikmati minuman merah di tangannya itu.
Siena tertegun. Masa minum wine juga harus masuk dalam daftar kewajibannya sebagai ahli waris Adalfo?
Sepasang mata memperhatikan Siena dan Damien dari kejauhan. Gaun merah Siena sebenarnya tidak berpotongan terbuka, tapi tetap saja memamerkan kulit bahu dan punggungnya yang putih mulus, juga kakinya yang indah. Pinggang ramping gadis itu dibalut dengan sempurna oleh gaun berbahan satin. Wajah oval, rambut cokelat, dan tubuh mungil itu… Alfonso menyapukan lidah membasahi bibir bagian bawahnya. Pasti dia sudah kebanyakan minum wine, pikirannya mulai tidak beres. Bisa-bisanya dia berfantasi tentang Siena Mori!
Alfonso melangkah mendekati kedua orang itu. "Selamat malam… Sudah kukatakan, kita akan segera bertemu lagi."
Siena terkesiap waktu menoleh ke asal suara bernada rendah itu. Wajah pria yang membuatnya dihantui mimpi buruk! Siena sendiri heran, bagaimana wajah latin itu bisa terlihat begitu menawan sekaligus menyebalkan dalam waktu bersamaan. Mungkin itu sebabnya ada pendapat yang mengatakan kalau iblis memang memiliki dua wajah.
"Kamu…!"
Bibir Alfonso membentuk seulas senyum. "Hallo, Siena… Dan kamu pasti Damien Lambert. Kalian sekutu yang hebat," ucapannya bernada cemooh.
"Bagaimana kamu bisa masuk ke hotel ini?" semprot Siena dengan cepat.
"Hahaha…" Alfonso tertawa dengan suara kasar. "Jangan lupa, aku cucunya Adalfo Garcia. Mana mungkin pegawai hotel ini berani menolak kalau aku mau datang ke sini?" tanggap Alfonso dengan enteng.
Siena mengeritkan giginya karena marah sekaligus tak berdaya. Marah karena Alfonso baru mengaku sebagai cucu Adalfo di saat Adalfo sudah tiada. Tak berdaya karena Alfonso benar, Siena tak bisa mengusir Alfonso dari hotel kakeknya sendiri!
"Sepertinya kerja sama kalian sangat baik, sampai-sampai datang ke pesta pun harus berduaan," lagi-lagi Alfonso menyindir.
"Tuan Adalfo minta aku dampingi Siena, pewaris sah semua perusahaan Tuan Adalfo, supaya dia aman dari orang-orang yang mau mengusiknya," balas Damien, dengan sengaja memberi penekanan pada kata 'pewaris sah'.
Kedua pria yang hampir sama tinggi itu saling bertatapan, mata biru keabu-abuan Alfonso melawan mata cokelat Damien.
"Aku curiga hubungan kalian lebih dari sekedar klien dan pengacara. Tidakkah terlalu kebetulan, kamu yang buat surat warisan untuk Adalfo, dan Siena yang jadi ahli warisnya?" Alfonso terus melancarkan perang urat saraf dengan Damien.
"Yang lebih penting adalah apa yang diakui sah secara hukum. Daripada seseorang yang mengaku sebagai cucu, tapi di pemakaman kakeknya saja dia tidak datang…!" Siena melabrak Alfonso dengan wajah geram.
Alfonso menyipitkan matanya menatap Siena. Kenapa gadis ini selalu saja menantangnya? Tapi saat sepasang mata mereka bertemu, Alfonso malah salah fokus dengan wajah Siena, yang tampak begitu indah bagai boneka porselen di bawah sorot lampu ruangan. Seketika dia kehilangan kata-kata.
"Alfonso…," panggil suara bernada manja. Gloria mendadak muncul di samping Alfonso, merangkul lengan kiri pria itu, sambil mencermati Siena dari atas sampai ke bawah.
Siena balas memandangi Gloria dengan dahi berkerut. Siapa wanita ini, kekasih Alfonso? Wanita bergaun silver itu terlihat begitu glamor dan memesona. Kalaupun dia mengaku sebagai seorang aktris, Siena juga pasti percaya.
"Honey, kurasa saatnya kita pergi. Tuan rumah di sini sama sekali tidak ramah," cela Gloria, bibirnya tersenyum mengejek.
"Kamu benar, Gloria, ini bukan waktu yang tepat," respons Alfonso. Ia kembali menatap Siena. "Aku datang ke sini cuma untuk menyapa kamu, Siena, supaya kamu tahu, aku tak akan pernah lepaskan kamu…"
Kalimat terakhir Alfonso sontak mengirimkan sensasi dingin ke sekujur tubuh Siena, bagai air es yang dituang ke atas kepalanya. Ini kedua kalinya Alfonso mengancam dirinya.
Alfonso menyeringai lebar, lalu ia menggandeng tangan Gloria dan berbalik, berjalan meninggalkan Siena dan Damien. Siena baru sadar, dari tadi dia menahan napasnya.
"Biarkan saja, Siena… Dia sengaja datang untuk ganggu kamu," Damien berkata dengan lembut, merangkul pundak Siena.
Mereka saling berpandangan. Berbeda sekali dengan tatapan mata Alfonso, sepasang mata Damien selalu terasa tulus dan memberikan kehangatan bagi Siena.
"Terima kasih, Damien… Untung ada kamu yang temani aku."
Damien tersenyum. "Ayo, kita lanjutkan pesta kita…."
Alfonso dan Gloria masuk ke dalam mobil Audi warna putih mengilap, meluncur dengan cepat meninggalkan Hotel La Paradise. Setelah beberapa menit dalam hening, Gloria melirik ke arah Alfonso yang diam saja."Jadi itu yang namanya Siena Mori? Penampilannya kelihatan sangat berbeda malam ini. Huh! Dia pasti hamburkan uang si tua Adalfo untuk beli segala make-up dan dress yang mewah. Tapi tetap saja dia terlihat norak, tak pantas untuk jadi kalangan jetset," cemooh Gloria.Alfonso hanya mengusap dagunya yang bercambang tipis dengan sebelah tangannya, tapi tak bereaksi. Dia masih berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis yang disebut Gloria dari benaknya."Honey Bear…," Gloria mulai merengek lagi. Mau tak mau, Alfonso menoleh memandang wanitanya."Aku lihat cara kamu menatap Siena. Kamu tidak sedang mabuk 'kan? Jangan katakan kalau kamu anggap gadis itu menarik…."
Siena menutup kopernya. Semua barang yang diperlukan sudah masuk ke dalam koper, sekarang tinggal menyiapkan tas selempangnya. Yang dia perlukan adalah dompet, paspor, barang-barang pribadi dan… foto Adalfo serta ibunya yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dua jam lagi, pesawat pribadi milik Adalfo akan membawanya dan Damien menuju ke Dubai.Mendadak terdengar bunyi langkah kaki mendekat, seperti berlari ke arah kamarnya.Tok! Tok! Tok!Siena membuka pintu kamar tidurnya. "Lucio? Ada apa?"Pelayan yang setia itu berdiri di muka pintu, entah kenapa wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. "Nona Siena…," gagapnya.Dahi Siena mengernyit. "Kenapa, Lucio?""Tuan Alfonso Garcia sedang menunggu Nona di ruang tamu."*****Alfonso duduk di kursi bermodel antik di ruang tamu. Kedua tangannya ditumpangk
Flashback: Dua bulan yang laluSiena berjalan terburu-buru sepanjang trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, dan masuk ke sebuah kafe di sebelah kirinya. Kafe berdinding kaca itu didominasi oleh warna-warna pastel yang lembut. Baru jam setengah delapan, tetapi kafe itu sudah penuh dengan pengunjung yang asyik menikmati sarapan."Selamat datang di Cheers Cafe!" sapa sebuah suara yang ramah."Hai, Brian! Orderanku yang biasa ya…," balas Siena, tersenyum pada barista pria yang berdiri di belakang meja konter.Pria berwajah oriental itu tersenyum manis, hingga sepasang matanya menyipit. Tubuhnya ramping, sedikit lebih tinggi daripada Siena. Rambut dan iris matanya yang hitam khas Asia, berpadu dengan wajahnya yang agak bulat, membuat pria itu terlihat hangat dan menyenangkan."Green tea latte, esnya sedikit, sudah aku siapkan dari
Flashback: Dua bulan yang lalu.Siena tiba di sebuah gedung berlantai sepuluh yang terletak beberapa blok dari Cheers Cafe. Kantor Angels Daily berada di lantai delapan gedung itu. Meskipun hanya sebuah kantor kecil, Siena sangat menikmati pekerjaannya. Penghasilannya juga lumayan. Yah, mungkin bukan penghasilan yang bisa membuat dia hidup mewah, tapi kepuasan yang dirasakannya jauh melebihi nilai gajinya."Siena…! Tahan lift-nya!" Suara teriakan melengking itu terdengar dari luar, saat Siena sudah berada di dalam lift.Siena buru-buru memencet tombol buka pintu. Seorang gadis sebaya Siena berlari tergopoh-gopoh menyelinap ke dalam lift, dengan ransel di bahunya, gelas kertas di tangan kirinya, dan seberkas map plastik di tangan kanannya. Sepertinya dia kerepotan membawa semua barangnya."Thanks, Siena Chan! Kamu memang paling baik!" celoteh gadis itu sambil tert
Flashback: Satu bulan yang lalu.BRUKKK!Alfonso Garcia membanting ponselnya ke atas meja kerjanya dengan kasar. Ponsel itu tidak hancur, tapi minimal layarnya pasti retak. Alfonso sudah tak ambil pusing lagi. Hatinya sedang membara saat ini.Dia baru saja selesai membaca tulisan bersambung di kolom Angels Daily. Apalagi kalau bukan kisah hidup Adalfo Garcia, kakeknya.Alfonso benar-benar tak percaya, Adalfo rela membuka seluruh kisah hidupnya di media seperti itu! Sesuatu yang sangat bertentangan dengan sifat Adalfo selama ini. Yang paling membuat Alfonso murka adalah pengakuan jujur Adalfo, tentang bagaimana dia menjadi penyebab berpisahnya ayah dan ibu Alfonso sendiri.Beginilah isi pengakuan Adalfo:"Akulah yang harus disalahkan, karena aku menolak merestui pernikahan Alberto dengan wanita yang dicintainya. Mereka pergi
Flashback: Satu minggu yang lalu.Sebuah mobil limusin warna hitam mengilap berhenti di depan rumah mewah Adalfo Garcia di kawasan Beverly Hills. Terburu-buru Siena keluar dari mobil itu. Adalfo sengaja mengutus sopir pribadinya untuk menjemput Siena. Pria itu meminta untuk segera bertemu.Siena berlari tergopoh-gopoh ke kamar tidur Adalfo. Menurut Lucio, Adalfo hanya berbaring di tempat tidurnya selama dua hari terakhir ini. Dalam hatinya, Siena gelisah. Dia tahu Adalfo menderita penyakit jantung koroner, dan sudah pernah menjalani operasi bypass. Namun kondisi kesehatan kakek angkatnya itu memang cenderung menurun belakangan ini."Grandpa…," sapa Siena, saat tiba di depan pintu kamar Adalfo. Dadanya naik turun, napasnya masih terengah-engah karena berlari.Adalfo berbaring di atas tempat tidur berukuran besar di tengah kamar tidur yang luas. Ia langsung menoleh
Perjalanan yang paling menantang dalam hidup kita adalah perjalanan menemukan jati diri kita sendiri.***Kembali ke saat ini.Siena duduk dengan wajah muram di dalam jet pribadi milik Adalfo. Alfonso duduk di kursi lain, agak jauh di seberangnya. Tapi Siena tahu, dari tadi mata tajam Alfonso berulang kali melirik ke arahnya, seakan sedang mengawasi.Ponsel Siena berbunyi. "Hallo, Damien….""Siena, apa yang kamu lakukan?" Suara Damien terdengar sangat panik. "Kamu tak boleh pergi ke Dubai dengan Alfonso! Pria itu berbahaya! Aku sedang menuju ke bandara sekarang, kamu harus tunggu aku! Jangan pergi tanpa aku!" perintah Damien.Siena melirik ke Alfonso. Pria itu sedang memandanginya sambil tersenyum culas."Damien, maafkan aku…. Aku tak bisa jelaskan semuanya sekarang, tapi aku tetap har
Setahu Siena, mereka sudah berkendara lebih dari setengah jam dari pusat Kota Dubai yang mewah dan penuh gedung pencakar langit. Makin jauh dari pusat kota, suasana yang terlihat makin kontras. Bangunan pabrik dan perumahan sederhana mendominasi. Mobil Mercedes Benz hitam yang mereka tumpangi berhenti di depan bangunan luas nan tinggi, yang lebih terlihat seperti rumah susun."Kita sudah sampai di Rumah Aman," sang sopir sekaligus karyawan Hotel Adalfo itu memberitahu.Siena memandang keluar. Bangunan itu jauh dari kata mewah, kondisinya hampir mirip apartemen yang sebelumnya disewa Siena, sederhana dan bersih. Hanya saja, lingkungan sekitar yang cenderung gersang, panas, dan berdebu membuatnya terlihat kusam.Siena membuka pintu mobil. Tapi Alfonso tak bergerak sedikit pun."Kamu tak ikut turun?" tanya Siena."Aku di mobil saja. Di luar terlalu panas. Lagipula cuma