Share

6. Petunjuk Pertama

Alfonso dan Gloria masuk ke dalam mobil Audi warna putih mengilap, meluncur dengan cepat meninggalkan Hotel La Paradise. Setelah beberapa menit dalam hening, Gloria melirik ke arah Alfonso yang diam saja.

"Jadi itu yang namanya Siena Mori? Penampilannya kelihatan sangat berbeda malam ini. Huh! Dia pasti hamburkan uang si tua Adalfo untuk beli segala make-up dan dress yang mewah. Tapi tetap saja dia terlihat norak, tak pantas untuk jadi kalangan jetset," cemooh Gloria.

Alfonso hanya mengusap dagunya yang bercambang tipis dengan sebelah tangannya, tapi tak bereaksi. Dia masih berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis yang disebut Gloria dari benaknya.

"Honey Bear…," Gloria mulai merengek lagi. Mau tak mau, Alfonso menoleh memandang wanitanya.

"Aku lihat cara kamu menatap Siena. Kamu tidak sedang mabuk 'kan? Jangan katakan kalau kamu anggap gadis itu menarik…."

Alfonso tertawa datar. "Jangan konyol, Cutie Pie… Gadis seperti itu, apanya yang menarik? Kamu sendiri yang katakan, dia terlihat norak," sanggah Alfonso.

"Lalu kenapa kamu tatap dia terus? Dari tadi kamu juga diam saja, seperti ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu," tukas Gloria lagi.

Gloria tahu kalau Alfonso sudah biasa dekat dengan banyak wanita cantik sebelum dirinya. Itulah risiko menjadi kekasih dari salah satu pria yang paling tampan dan sukses di New York. Tapi melihat cara Alfonso menatap Siena tadi, entah kenapa muncul rasa cemburu di hati Gloria. Padahal Siena sangat jauh berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dikencani Alfonso. Mana mungkin Alfonso tertarik dengan gadis berpenampilan membosankan seperti Siena?

'Terkadang wanita ini merepotkan juga,' Alfonso mengeluh dalam batin. Jangan-jangan Gloria bisa tahu saat dia sedang mengimajinasikan seorang wanita lain!

"Kalau kamu sedang berhadapan dengan lawanmu, kamu harus selalu jaga kontak mata, Cutie Pie… Kalau tidak, mereka bisa mengira kamu lemah dan takut," Alfonso berdalih.

Gloria menatap Alfonso dengan rasa setengah percaya. "Aku cuma merasa…, entahlah…. Ada firasat aneh di hatiku waktu lihat Siena. Sepertinya dia akan jadi orang yang merepotkan kita," Gloria mengeluh dengan suara manja.

Alfonso menangkup dagu Gloria dengan tangan kanannya. "Hei, jangan biarkan dia ganggu malam kita. Aku sudah janji akan bawa kamu shopping sepuasnya 'kan?"

Raut wajah Gloria yang cemberut langsung berubah menjadi berseri-seri. Ia merangkul bahu Alfonso dengan kedua tangannya. "Thanks, Honey Bear… Kamu memang pujaan hatiku…."

Mereka berdua tertawa. Mobil Audi putih meluncur ke pusat kota Los Angeles yang tak pernah tertidur.

*****

Setengah jam setelah Alfonso dan Gloria pergi, Damien mengajak Siena meninggalkan hotel lewat pintu belakang. Para petinggi dan karyawan hotel terus mengangguk hormat, bahkan mengantar mereka sampai ke mobil, membuat Siena makin merasa tak nyaman.

"Kamu mau ke mana lagi, Siena? Jalan-jalan, belanja, atau nonton? Aku bisa temani kamu," Damien menawarkan, waktu mereka sudah berada dalam mobil limusin hitam.

"Tak usah, Damien, terima kasih. Lebih baik kita pulang saja," sahut Siena. Ia tahu Damien hanya bermaksud menghiburnya, setelah kehadiran Alfonso tadi mengacau pikirannya.

Mata hazel Siena mencermati arsitektur bagian luar Hotel La Paradise yang megah. Sekarang, setelah tak ada para wartawan yang mengusik dengan kamera mereka, barulah dia bisa benar-benar mengagumi selera seni Adalfo yang tinggi. Hotel itu terlihat lebih seperti sebuah museum dari luar. Dinding batu putih hotel itu berhiaskan pahatan timbul yang artistik. Apakah itu sejenis relief simbol? Ah, bukan… Ternyata dua buah huruf L dan P yang saling terangkai. L dan P, tentu saja inisial nama hotel itu, La Paradise.

Tersentak Siena dari duduknya. Inisial! Huruf pertama setiap kata!

"Fidel, ayo lebih cepat! Kita harus segera sampai di rumah!" Seketika Siena mendesak sopir pribadinya untuk memacu mobil.

"Ada apa, Siena?" Damien terkejut, menatap Siena dengan mata terbelalak.

"Itu… Pesan di surat wasiat Grandpa…!"

*****

Sampai di rumah, Siena berlari tergopoh-gopoh ke kamar tidurnya, membuka laci meja samping tempat tidurnya, menyambar lampiran surat wasiat Adalfo yang dari tadi pagi dipelototinya tanpa hasil. Ia mengambil pensil dan kertas, sibuk mencoret-coret di atas meja.

Daunbrazil, honeysuckle, oleander, tulip, echinacea, lily, amaryllis, dahlia, anthurium, lavender, fuschia, orchid.

Siena bergumam sendiri, "Jika diambil huruf pertama setiap kata saja, jadinya adalah… DHOTELADALFO…!"

Ternyata Adalfo sedang bermain kode dengannya! Tapi apa itu D Hotel Adalfo? Nama salah satu hotel milik Adalfo?

"Tunggu dulu…. Sepertinya ada yang kurang tepat. Semua kata yang lain menggunakan nama bunga, kecuali Daunbrazil…! Kalau begitu, ini pasti beda. Bagaimana kalau… ambil hurufnya secara selang-seling? Jadinya D, U, B, A, I… Dubai…!" Siena memekik. "Jadi maksudnya Hotel Adalfo di Dubai…!"

Siena bergegas mengeluarkan ponselnya, mencari dengan search engine, apakah ada nama Hotel Adalfo di Dubai?

"Ternyata memang ada…!"

Siena menjerit kegirangan sendiri di dalam kamar. Dia bahkan berputar-putar bagai seorang penari balet di atas sebelah kakinya, sampai mendadak terhuyung karena menyadari Damien sudah berdiri di depan pintu kamarnya!

Damien tertawa tertahan, seperti baru saja memergoki seorang anak kecil yang bertingkah konyol. Dia melangkah masuk ke dalam kamar Siena. "Jadi…, kamu berhasil memecahkan teka-teki yang pertama?"

"Apa kamu sudah tahu jawabannya sebelumnya?" tuduh Siena, menatap Damien dengan curiga.

"Tidak, aku tak tahu." Damien menggeleng. "Percayalah, Siena… Aku tak ikut campur soal itu, Tuan Adalfo sendiri yang menyusun semuanya."

"Lalu apa yang harus aku lakukan dengan ini, Hotel Adalfo di Dubai?" Siena terus mendesak.

Damien berpikir sesaat. "Artinya kamu harus pergi ke situ, untuk mengklaim apa yang jadi hak milik kamu, Siena…."

Siena tertegun. Dubai? Jauh sekali. Dia belum pernah ke daerah Timur Tengah. Dia memang sangat suka berwisata, itu bagian dari pekerjaannya sebagai kolumnis. Tapi selama ini yang dikunjunginya sebatas wilayah Amerika dan sekitarnya. Lagipula perjalanan kali ini bukan seperti tugas kantor yang sudah terencana. Dia bahkan tak tahu apa yang akan dihadapi.

"Jangan khawatir, aku akan temani kamu," ucap Damien dengan senyum menenangkan. "Kita pergi bersama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status