Alfonso dan Gloria masuk ke dalam mobil Audi warna putih mengilap, meluncur dengan cepat meninggalkan Hotel La Paradise. Setelah beberapa menit dalam hening, Gloria melirik ke arah Alfonso yang diam saja.
"Jadi itu yang namanya Siena Mori? Penampilannya kelihatan sangat berbeda malam ini. Huh! Dia pasti hamburkan uang si tua Adalfo untuk beli segala make-up dan dress yang mewah. Tapi tetap saja dia terlihat norak, tak pantas untuk jadi kalangan jetset," cemooh Gloria.
Alfonso hanya mengusap dagunya yang bercambang tipis dengan sebelah tangannya, tapi tak bereaksi. Dia masih berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis yang disebut Gloria dari benaknya.
"Honey Bear…," Gloria mulai merengek lagi. Mau tak mau, Alfonso menoleh memandang wanitanya.
"Aku lihat cara kamu menatap Siena. Kamu tidak sedang mabuk 'kan? Jangan katakan kalau kamu anggap gadis itu menarik…."
Alfonso tertawa datar. "Jangan konyol, Cutie Pie… Gadis seperti itu, apanya yang menarik? Kamu sendiri yang katakan, dia terlihat norak," sanggah Alfonso.
"Lalu kenapa kamu tatap dia terus? Dari tadi kamu juga diam saja, seperti ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu," tukas Gloria lagi.
Gloria tahu kalau Alfonso sudah biasa dekat dengan banyak wanita cantik sebelum dirinya. Itulah risiko menjadi kekasih dari salah satu pria yang paling tampan dan sukses di New York. Tapi melihat cara Alfonso menatap Siena tadi, entah kenapa muncul rasa cemburu di hati Gloria. Padahal Siena sangat jauh berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dikencani Alfonso. Mana mungkin Alfonso tertarik dengan gadis berpenampilan membosankan seperti Siena?
'Terkadang wanita ini merepotkan juga,' Alfonso mengeluh dalam batin. Jangan-jangan Gloria bisa tahu saat dia sedang mengimajinasikan seorang wanita lain!
"Kalau kamu sedang berhadapan dengan lawanmu, kamu harus selalu jaga kontak mata, Cutie Pie… Kalau tidak, mereka bisa mengira kamu lemah dan takut," Alfonso berdalih.
Gloria menatap Alfonso dengan rasa setengah percaya. "Aku cuma merasa…, entahlah…. Ada firasat aneh di hatiku waktu lihat Siena. Sepertinya dia akan jadi orang yang merepotkan kita," Gloria mengeluh dengan suara manja.
Alfonso menangkup dagu Gloria dengan tangan kanannya. "Hei, jangan biarkan dia ganggu malam kita. Aku sudah janji akan bawa kamu shopping sepuasnya 'kan?"
Raut wajah Gloria yang cemberut langsung berubah menjadi berseri-seri. Ia merangkul bahu Alfonso dengan kedua tangannya. "Thanks, Honey Bear… Kamu memang pujaan hatiku…."
Mereka berdua tertawa. Mobil Audi putih meluncur ke pusat kota Los Angeles yang tak pernah tertidur.
*****
Setengah jam setelah Alfonso dan Gloria pergi, Damien mengajak Siena meninggalkan hotel lewat pintu belakang. Para petinggi dan karyawan hotel terus mengangguk hormat, bahkan mengantar mereka sampai ke mobil, membuat Siena makin merasa tak nyaman.
"Kamu mau ke mana lagi, Siena? Jalan-jalan, belanja, atau nonton? Aku bisa temani kamu," Damien menawarkan, waktu mereka sudah berada dalam mobil limusin hitam.
"Tak usah, Damien, terima kasih. Lebih baik kita pulang saja," sahut Siena. Ia tahu Damien hanya bermaksud menghiburnya, setelah kehadiran Alfonso tadi mengacau pikirannya.
Mata hazel Siena mencermati arsitektur bagian luar Hotel La Paradise yang megah. Sekarang, setelah tak ada para wartawan yang mengusik dengan kamera mereka, barulah dia bisa benar-benar mengagumi selera seni Adalfo yang tinggi. Hotel itu terlihat lebih seperti sebuah museum dari luar. Dinding batu putih hotel itu berhiaskan pahatan timbul yang artistik. Apakah itu sejenis relief simbol? Ah, bukan… Ternyata dua buah huruf L dan P yang saling terangkai. L dan P, tentu saja inisial nama hotel itu, La Paradise.
Tersentak Siena dari duduknya. Inisial! Huruf pertama setiap kata!
"Fidel, ayo lebih cepat! Kita harus segera sampai di rumah!" Seketika Siena mendesak sopir pribadinya untuk memacu mobil.
"Ada apa, Siena?" Damien terkejut, menatap Siena dengan mata terbelalak.
"Itu… Pesan di surat wasiat Grandpa…!"
*****
Sampai di rumah, Siena berlari tergopoh-gopoh ke kamar tidurnya, membuka laci meja samping tempat tidurnya, menyambar lampiran surat wasiat Adalfo yang dari tadi pagi dipelototinya tanpa hasil. Ia mengambil pensil dan kertas, sibuk mencoret-coret di atas meja.
Daunbrazil, honeysuckle, oleander, tulip, echinacea, lily, amaryllis, dahlia, anthurium, lavender, fuschia, orchid.
Siena bergumam sendiri, "Jika diambil huruf pertama setiap kata saja, jadinya adalah… DHOTELADALFO…!"
Ternyata Adalfo sedang bermain kode dengannya! Tapi apa itu D Hotel Adalfo? Nama salah satu hotel milik Adalfo?
"Tunggu dulu…. Sepertinya ada yang kurang tepat. Semua kata yang lain menggunakan nama bunga, kecuali Daunbrazil…! Kalau begitu, ini pasti beda. Bagaimana kalau… ambil hurufnya secara selang-seling? Jadinya D, U, B, A, I… Dubai…!" Siena memekik. "Jadi maksudnya Hotel Adalfo di Dubai…!"
Siena bergegas mengeluarkan ponselnya, mencari dengan search engine, apakah ada nama Hotel Adalfo di Dubai?
"Ternyata memang ada…!"
Siena menjerit kegirangan sendiri di dalam kamar. Dia bahkan berputar-putar bagai seorang penari balet di atas sebelah kakinya, sampai mendadak terhuyung karena menyadari Damien sudah berdiri di depan pintu kamarnya!
Damien tertawa tertahan, seperti baru saja memergoki seorang anak kecil yang bertingkah konyol. Dia melangkah masuk ke dalam kamar Siena. "Jadi…, kamu berhasil memecahkan teka-teki yang pertama?"
"Apa kamu sudah tahu jawabannya sebelumnya?" tuduh Siena, menatap Damien dengan curiga.
"Tidak, aku tak tahu." Damien menggeleng. "Percayalah, Siena… Aku tak ikut campur soal itu, Tuan Adalfo sendiri yang menyusun semuanya."
"Lalu apa yang harus aku lakukan dengan ini, Hotel Adalfo di Dubai?" Siena terus mendesak.
Damien berpikir sesaat. "Artinya kamu harus pergi ke situ, untuk mengklaim apa yang jadi hak milik kamu, Siena…."
Siena tertegun. Dubai? Jauh sekali. Dia belum pernah ke daerah Timur Tengah. Dia memang sangat suka berwisata, itu bagian dari pekerjaannya sebagai kolumnis. Tapi selama ini yang dikunjunginya sebatas wilayah Amerika dan sekitarnya. Lagipula perjalanan kali ini bukan seperti tugas kantor yang sudah terencana. Dia bahkan tak tahu apa yang akan dihadapi.
"Jangan khawatir, aku akan temani kamu," ucap Damien dengan senyum menenangkan. "Kita pergi bersama."
Siena menutup kopernya. Semua barang yang diperlukan sudah masuk ke dalam koper, sekarang tinggal menyiapkan tas selempangnya. Yang dia perlukan adalah dompet, paspor, barang-barang pribadi dan… foto Adalfo serta ibunya yang selalu dia bawa ke mana-mana. Dua jam lagi, pesawat pribadi milik Adalfo akan membawanya dan Damien menuju ke Dubai.Mendadak terdengar bunyi langkah kaki mendekat, seperti berlari ke arah kamarnya.Tok! Tok! Tok!Siena membuka pintu kamar tidurnya. "Lucio? Ada apa?"Pelayan yang setia itu berdiri di muka pintu, entah kenapa wajahnya terlihat pucat dan berkeringat. "Nona Siena…," gagapnya.Dahi Siena mengernyit. "Kenapa, Lucio?""Tuan Alfonso Garcia sedang menunggu Nona di ruang tamu."*****Alfonso duduk di kursi bermodel antik di ruang tamu. Kedua tangannya ditumpangk
Flashback: Dua bulan yang laluSiena berjalan terburu-buru sepanjang trotoar yang ramai dengan pejalan kaki, dan masuk ke sebuah kafe di sebelah kirinya. Kafe berdinding kaca itu didominasi oleh warna-warna pastel yang lembut. Baru jam setengah delapan, tetapi kafe itu sudah penuh dengan pengunjung yang asyik menikmati sarapan."Selamat datang di Cheers Cafe!" sapa sebuah suara yang ramah."Hai, Brian! Orderanku yang biasa ya…," balas Siena, tersenyum pada barista pria yang berdiri di belakang meja konter.Pria berwajah oriental itu tersenyum manis, hingga sepasang matanya menyipit. Tubuhnya ramping, sedikit lebih tinggi daripada Siena. Rambut dan iris matanya yang hitam khas Asia, berpadu dengan wajahnya yang agak bulat, membuat pria itu terlihat hangat dan menyenangkan."Green tea latte, esnya sedikit, sudah aku siapkan dari
Flashback: Dua bulan yang lalu.Siena tiba di sebuah gedung berlantai sepuluh yang terletak beberapa blok dari Cheers Cafe. Kantor Angels Daily berada di lantai delapan gedung itu. Meskipun hanya sebuah kantor kecil, Siena sangat menikmati pekerjaannya. Penghasilannya juga lumayan. Yah, mungkin bukan penghasilan yang bisa membuat dia hidup mewah, tapi kepuasan yang dirasakannya jauh melebihi nilai gajinya."Siena…! Tahan lift-nya!" Suara teriakan melengking itu terdengar dari luar, saat Siena sudah berada di dalam lift.Siena buru-buru memencet tombol buka pintu. Seorang gadis sebaya Siena berlari tergopoh-gopoh menyelinap ke dalam lift, dengan ransel di bahunya, gelas kertas di tangan kirinya, dan seberkas map plastik di tangan kanannya. Sepertinya dia kerepotan membawa semua barangnya."Thanks, Siena Chan! Kamu memang paling baik!" celoteh gadis itu sambil tert
Flashback: Satu bulan yang lalu.BRUKKK!Alfonso Garcia membanting ponselnya ke atas meja kerjanya dengan kasar. Ponsel itu tidak hancur, tapi minimal layarnya pasti retak. Alfonso sudah tak ambil pusing lagi. Hatinya sedang membara saat ini.Dia baru saja selesai membaca tulisan bersambung di kolom Angels Daily. Apalagi kalau bukan kisah hidup Adalfo Garcia, kakeknya.Alfonso benar-benar tak percaya, Adalfo rela membuka seluruh kisah hidupnya di media seperti itu! Sesuatu yang sangat bertentangan dengan sifat Adalfo selama ini. Yang paling membuat Alfonso murka adalah pengakuan jujur Adalfo, tentang bagaimana dia menjadi penyebab berpisahnya ayah dan ibu Alfonso sendiri.Beginilah isi pengakuan Adalfo:"Akulah yang harus disalahkan, karena aku menolak merestui pernikahan Alberto dengan wanita yang dicintainya. Mereka pergi
Flashback: Satu minggu yang lalu.Sebuah mobil limusin warna hitam mengilap berhenti di depan rumah mewah Adalfo Garcia di kawasan Beverly Hills. Terburu-buru Siena keluar dari mobil itu. Adalfo sengaja mengutus sopir pribadinya untuk menjemput Siena. Pria itu meminta untuk segera bertemu.Siena berlari tergopoh-gopoh ke kamar tidur Adalfo. Menurut Lucio, Adalfo hanya berbaring di tempat tidurnya selama dua hari terakhir ini. Dalam hatinya, Siena gelisah. Dia tahu Adalfo menderita penyakit jantung koroner, dan sudah pernah menjalani operasi bypass. Namun kondisi kesehatan kakek angkatnya itu memang cenderung menurun belakangan ini."Grandpa…," sapa Siena, saat tiba di depan pintu kamar Adalfo. Dadanya naik turun, napasnya masih terengah-engah karena berlari.Adalfo berbaring di atas tempat tidur berukuran besar di tengah kamar tidur yang luas. Ia langsung menoleh
Perjalanan yang paling menantang dalam hidup kita adalah perjalanan menemukan jati diri kita sendiri.***Kembali ke saat ini.Siena duduk dengan wajah muram di dalam jet pribadi milik Adalfo. Alfonso duduk di kursi lain, agak jauh di seberangnya. Tapi Siena tahu, dari tadi mata tajam Alfonso berulang kali melirik ke arahnya, seakan sedang mengawasi.Ponsel Siena berbunyi. "Hallo, Damien….""Siena, apa yang kamu lakukan?" Suara Damien terdengar sangat panik. "Kamu tak boleh pergi ke Dubai dengan Alfonso! Pria itu berbahaya! Aku sedang menuju ke bandara sekarang, kamu harus tunggu aku! Jangan pergi tanpa aku!" perintah Damien.Siena melirik ke Alfonso. Pria itu sedang memandanginya sambil tersenyum culas."Damien, maafkan aku…. Aku tak bisa jelaskan semuanya sekarang, tapi aku tetap har
Setahu Siena, mereka sudah berkendara lebih dari setengah jam dari pusat Kota Dubai yang mewah dan penuh gedung pencakar langit. Makin jauh dari pusat kota, suasana yang terlihat makin kontras. Bangunan pabrik dan perumahan sederhana mendominasi. Mobil Mercedes Benz hitam yang mereka tumpangi berhenti di depan bangunan luas nan tinggi, yang lebih terlihat seperti rumah susun."Kita sudah sampai di Rumah Aman," sang sopir sekaligus karyawan Hotel Adalfo itu memberitahu.Siena memandang keluar. Bangunan itu jauh dari kata mewah, kondisinya hampir mirip apartemen yang sebelumnya disewa Siena, sederhana dan bersih. Hanya saja, lingkungan sekitar yang cenderung gersang, panas, dan berdebu membuatnya terlihat kusam.Siena membuka pintu mobil. Tapi Alfonso tak bergerak sedikit pun."Kamu tak ikut turun?" tanya Siena."Aku di mobil saja. Di luar terlalu panas. Lagipula cuma
Seringai lebar muncul di wajah Alfonso, puas rasanya bisa menakut-nakuti Siena. "Gampang saja. Ikuti semua yang aku mau. Cuma itu," tandas Alfonso dengan enteng."Tapi apa yang kamu mau? Kamu tak bisa seenaknya perintah aku begitu saja!" Siena menggeram.Alfonso menyandarkan tubuhnya dengan nyaman pada jok mobil, seiring dengan mobil yang terus meluncur kembali ke pusat kota. "Mulai saja dulu dengan temani aku keliling Kota Dubai."Alfonso benar-benar serius dengan kata-katanya. Dia memerintahkan sang sopir untuk membawa mereka berkeliling pusat Kota Dubai. Menjelang petang, Alfonso minta diturunkan di sebuah pusat perbelanjaan besar yang padat pengunjung. Lalu dia mengajak Siena masuk ke sebuah butik mewah. Dalam sekejap, gadis pramuniaga butik langsung melayaninya dengan penuh semangat."Gara-gara kamu, aku tak sempat bawa pakaian ganti sama sekali. Jadi kamu yang harus bayar semua ya