"Ayo katakan padaku! Bagaimana rasanya?"
Matanya menyipit, menatap tajam bak elang pada satu arah. Di mana seorang pria yang jauh lebih muda darinya menyunggingkan senyum menyebalkan itu. Bahkan kini kedua bibirnya terbuka, menampakkan gigi-giginya yang berbaris rapih di sana.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Aku kan hanya penasaran! Kau harus memberi tahuku!" sambungnya lagi, bergerak mendekati Reagan.
Hanya saja kali ini Reagan terlalu malas, meladeni artis yang berada dalam naungan Agensinya. Pria itu-Jarrel atau yang kerap kali di panggil Jarrel merupakan artis sekaligus produser lagu di sana. Pria yang sudah bertahun-tahun menjadi teman dekatnya di kantor. Dia bahkan sudah terjun ke dunia hiburan saat umurnya masih tergolong sangat muda, lima belas tahun. Biasanya anak-anak di umur segitu masih sibuk bermain dengan bebas di luar sana. Tapi tidak dengannya. Umur mereka bahkan terpaut hampir delapan tahun.
Dan lagi, YQ Entertaiment su
Semilir angin sejuk musim gugur di sore itu semakin membuat orang-orang lebih suka menghabiskan waktunya di caffe-caffe atau tempat minum lainnya. Ketimbang berjalan di luar sana, padahal cuaca masih sangat cerah belakangan ini. Memilih bercengkrama dengan sang teman atau setidaknya berdiam diri sendirian saja. Tak berbeda dengan yang lainnya, tawa ringan mengisi kekosongan di antara keduanya. Di selingi dengan obrolan yang tengah hitsnya di salah satu jejaring sosial saat ini. Jari lentik itu sibuk menscroll layar ponselnya, hendak menunjukkan gosip terhangat yang baru saja ia ketahui dari temannya. Tentang seorang aktris yang terjerat hubungan gelap oleh salah satu managernya. "Wah, tidakkah dia merasa bersyukur sudah punya suami yang cukup tampan dan kaya?" keluhnya pada seseorang di sampingnya. Anggukan pelan muncul tanda ia menyetujui perkataan gadis itu. Ikut menjerumuskan matanya ke dalam gambar-gambar yang
Ranumnya bergerak pelan, mencetak senyum tipis begitu kaki jenjangnya menginjak pada lantai Apartement miliknya. Perasaan senang tiba-tiba menghampiri, merasa bahwa kini ada seseorang di dalam sana yang mungkin saja tengah tidur atau menunggu kepulangannya? Berhasil memasukkan pin, langkah yang tadinya berayun cepat mulai menurunkan temponya. Mendapati gelapnya ruang itu. Tangan kirinya terjulur pelan, mencari saklar lampu yang berada tak jauh dari pintu utama. Ctak. Cahaya menyilaukan itu menyambut kepulangannya. Rasa lelah kian menyelimutinya, menuntut agar segera merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk nan nyamannya. Perlahan tungkainya membawa tubuhnya ke arah dapur, tempat di mana ia kemarin melihat gadis itu menunggunya pulang. Gelap. Suasana yang sama kembali ia dapati. "Apa dia suka kelegapan? Dan kini memilih tidur?" tanyanya dalam hati. Merasa bodoh dengan dirinya sendiri. Seo
Dengan berat kedua kelopak mata itu membuka pelan, sempat terpejam kembali saat merasa sinar lampu yang begitu terang menubruk ke arah matanya. Sampai pada akhirnya, setalah ia membuka matanya kembali, pandangan mulai netral dan menerima cahaya itu dengan baik. Aera meringis pelan saat merasakan kepalanya yang begitu sakit. Dan juga, ia mulai menyadari suhu tubuhnya yang sangat panas bercampur rasa menggigil di sekujur tubuhnya. Tak biasanya seperti ini. Dengan cepat ia genggam selimut yang menutup seluruh tubuhnya. Sampai pada akhirnya sesuatu terlintas di ingatannya. Ada yang tidak beres. Pikirnya. Aera terbatuk pelan beberapa kali. Dan entah dari mana datangnya sosok pria yang kini terlihat berdiri di samping tempat tidurnya dengan ekspresi wajah yang sangat sulit ia tebak. "Kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu?" tanya Aera cepat, mengambil alih duduk di sisi ranjang Aera, tak menghiraukan tatapan heran yang Aera tujukan
Deg. Rasanya jantung Reagan ingin berhenti berdetak saja. Ia tahu apa yang tengah Aera pikirkan saat kedua manik jernih itu menatap nanar ke arah pakaiannya yang ia kenakan. "Apa yang sudah kau lakukan padaku?" teriak Aera dengan suara tertahan. "Apa?" tanya Reagan polos dengan wajah datar. Meski begitu tidak bisa menutup kegugupan yang malah keluar dari suaranya yang terdengar sedikit tergagap dan patah-patah. Menghiraukan seluruh rasa sakit yang masih tersisa di tubuhnya, Aera bangun dari ranjangnya dengan cepat dan berjalan ke arah Reagan dengan tatapan tajam. Namun jauh di dalam hatinya ia berteriak kencang, bisa-bisanya pakaiannya kini sudah berganti. Ia ingat, bukan baju ini yang ia pakai sebelumnya. Dan jika memang Reagan yang sudah mengganti pakaiannya, dia pastikan tidak akan mudah memaafkan pria itu. "Wah, kau seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan," hardik Aera, tanganya berkacak di pinggangnya. Wajahn
Kedua netra jernih kecoklatan itu berpendar pelan, menilik ke adaan sekitar dapur yang terlihati sunyi sekali, padahal dia sangat yakin bahwa sebelumnya, beberapa menit yang lalu ada Reagan di sana. Dan meski pada akhirnya ia berhasil mendapati sosok Reagan yang baru saja masuk dari arah pintu di belakangnya, yang mengarah langsung pada kamar mandi yang ada di sana. "Ku pikir kau sudah pergi!" seru Aera singkat, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba saja menjadi canggung. Reagan melirik singkat begitu mendapat menuturan dari Aera, namun tak berniat sedikitpun untuk menyahut. "Kau sudah buat sarapan sendiri?" tanya Aera begitu mendapati beberapa helai roti yang sudah tersaji di atas piring yang ada di depannya. Reagan mengikuti arah yang dilihat Aera, mengangguk sekilas dan perlahan bergerak mendekat pada Aera. Deg Jantung Aera terasa dua kali berdoa lebuh cepat, melihat Reagan dari jarak yang begitu
Pagi yang cerah dan tubuhnya yang terasa enakan. Siap dengan style kasualnya, Aera beranjak pergi meninggalkan apartemennya dengan membawa tas gendong kecil berwarna coklat susu di pundaknya. Sangat kecilnya tas itu, hanya muat untuk memasukkan barang-barang kecil berupa ponsel dan lipbalm serta sunscreen miliknya saja. Janjinya dengan Attha masih beberapa jam lagi, namun ia memutuskan untuk pergi keluar sekedar memudarkan rasa bosan dan upaya menghilangkan bayang-bayang perihal Aile dan Dalva. Langkah kaki jenjang itu berhenti tepat pada perpustakaan umum kota, yang terlihat sedang sepi-sepinya. Kedua netra jernihnya bergetar pelan, meski tidak terlalu ambis dalam membaca buku, bukan berarti dia tidak suka dengan buku. Dulu sewaktu sekolah, ia sering menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan jika sedang tak lapar di jam itu. Perlahan langkahnya menapak, netranya langsung menyapa ribuan buku yang tersusun rapih di depannya. S
Ranum itu memaju sedikit, mengutarakan kejengkelannya pada sosok tidak tahu diri yang sedari tadi mengikutinya. Aera terus berdoa dalam hati, semoga saja dia tidak salah mengajak bicara orang. Mengingat kasus-kasus pembunuhan oleh orang yang tak di kenal mulai merambah di sekitar kotanya. Dan wajar saja, kota yang ia tinggali saat ini adalah kota besar. Akh bukan lagi, malah kotanya ini adalah pusat negaranya. Ibukota negaranya. Aera sampai pada locker miliknya. Ujung matanya menangkap sosok pria yang meminta masker padanya tengah mengikutinya di belakang. Masih sama, dia terus menutup kepalanya dengan topi hoodie miliknya serta menunduk. Masih, Aera terus menduga-duga apa yang pria itu tengah alami. "Mungkinkah dia tengah di kejar seseorang? Sampai-sampai dia bersikap seperti itu?" Aera memberikan spekulasi yang lain pada dirinya sendiri. "Ini!" lirih Aera, tangan kanannya menyodorkan sebuah masker yang masih baru-terbungkus rap
Langkah teratur namun terkesan cepat dan menuntut itu menjadi pengiring dari kesunyian yang tercipta di sekitar lorong panjang itu. Tak ada percakapan, karena memang nyatanya dua-duanya tak berniat untuk saling berbicara. Hanya ada helaan nafas pelan dan harap-harap cemas yang menyelimuti pria bertubuh jangkung nan tegap itu. Sampai pada akhirnya langkah keduanya terhenti pada sebuah pintu yang kini ada di hadapan mereka. Pintu yang letaknya begitu jauh dari lift dan juga paling sudut dari pintu ruang-ruang yang lain. "Aku sudah bilang, jangan mencari masalah!" tutur Jarrel-sang pemilik kulit seputih susu itu akhirnya membuka suara. Entah sejak kapan dirinya kembali ke agensi, padahal tadi pagi Aiden tidak melihatnya. "Aku tidak mencarinya! Dia yang mendatangiku kak!" bantah yang tubuhnya lebih tinggi-Aiden pada Jarrel. "Kau-" suara Jarrel seakan-akan tercekat mendengar penuturan dari Aiden- adik tingkatnya di dunia perbintan