"Saya benci kamu."
"Kenapa lo harus mengingatkan gue dengan wanita gila itu?"
"Gue benci lo dek."
"Aku gak bisa dekat kakak, pasti akan mengingatkan ku sama dia."
"Lo atau gue yang pergi?"
"Tolong dedek bang. Bang jangan tinggalin dedek sendiri."
"Anak gak tahu diuntung."
Gangguan suara itu lagi. Kenapa rasanya masih sama? Sama-sama menyakitkan. Tuhan. Tolong Ria...
Gue berusaha menggapai setitik cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti. Suara-suara tersebut terus mengelilingi.
Apa dosa yang diperbuat Ria di masa lalu, Tuhan? Kenapa harus Ria yang mengalami ini?
Gue berhasil membuka mata dan melihat sekitar bahwa gue masih di rumah papah. Tidak terjadi apa pun.
Air mata tumpah mewakili perasaan gue saat ini. Sudah berlalu, sudah berlalu. Saatnya bangkit dan menyapa dunia baru. Tapi gue gak bisa.
Memori masa lalu kembali muncul di kepala gue. Perasaan tak diinginkan, dibuang, dibenci dan lainnya yang sulit gue deskripsikan.
Aarrgghh. Nafas gue sakit. Leher gue tercekik. Dada gue sesak.
Tuhan... Ampuni Ria, Tuhan. Sudahi semua penderitaan ini Tuhan. Ria mohon.
Hanya bicara pada Tuhan yang dapat gue lakukan saat ini. Gak tahu sampai kapan serangan ini muncul. Gue memilih memejamkan mata sambil terus meminta pertolongan pada Tuhan.
'Tenang Ria. Tenang. Tuhan sayang Ria. Ria anak baik. Ria tidak nakal'
Suara tersebut mendominasi di telinga gue saat ini di tengah ramainya suara yang hadir. Benar. Tuhan sayang Ria.
Gue bisa tenang dalam sekian waktu, tapi tak bisa melanjutkan tidur.
"Lebih baik kamu mati Ria."
"Saya tidak butuh anak sok pahlawan seperti kamu."
"Gue harap gak akan pernah lihat lo lagi di muka bumi ini."
"Kalau dedek mati, apakah akan menyelesaikan masalah?"
"Oke dedek pergi ya. Semoga kalian bahagia tanpa dedek"
Aaarrrgghhh. Berhenti. Suara sialan. Kenapa mereka terus-terusan muncul? Pergi!!!!
Gue menabrakkan tubuh ke dinding kamar. Suara-suara tadi tidak mau pergi. Mereka masih bermunculan di sekitar gue.
"Hahahahaha. Mau ngapain kamu Ria? Terus tabrakin dinding nya. Benar-benar manusia tak tahu diuntung."
Aahh. Kenapa gak mati-mati sihh. Udah gak ada rasa sedikit pun loh ini. Seperti menabrak kasur sendiri.
Oh. Coba yang lain. Kepala gue belum dicoba.
Dug. Dug. Dug.
Hmm. Lumayan berasa. Tapi suara tadi masih terdengar.
"Kurang kencang Ria. Dicoba lebih keras lagi!"
Benar juga. Coba lebih keras lagi.
Dugg. Dugg. Dugg. Dugg.
Gue capek. Gak ada hasil. Gak berasa apapun. Ngapain lagi ya?
"Saya menyesal melahirkan kamu."
"Anak yang tak diinginkan."
Bajingan. Kenapa makin banyak suara yang muncul? Kenapa sangat menyakitkan mendengar suara tersebut?
Gue gak mau dengar suara itu lagi. Tapi gue capek menabrakkan diri, gak ada yang berhasil.
"Coba kamu keluar kamar atau rumah sekalian"
Benar juga usulan dia. Gue keluar kamar dan menuju kemana pun terserah kaki gue melangkah.
Eh kok haus ya. Minum dulu deh. Berjalan menuju dapur dan mengambil gelas. Aahh lumayan segar.
Boleh juga nih gelas. Coba banting ah.
Prangg
"Coba pake pecahan gelas. Kali aja berasa."
Saran dari suara sialan boleh juga. Baru dipegang udah berdarah aja. Yakin nih ada rasanya? Gue menimbang-nimbang kembali. Malas banget kalau gak berhasil juga.
"Coba aja dulu. Buat garis panjang di lengan."
Tanpa pikir panjang gue langsung melakukannya.
"Sakit Ibu. Kenapa gak dibius dulu."
Ingatan macam apa itu. Gue takut dijahit lagi. Gak gak.
"Ria, berhenti! Cukup Ria!" Tubuh gue digoncang oleh sesuatu. Duh ganggu aja sih.
Gue bangkit dan berlari menuju luar karena mulai merasakan gangguan.
Brakk.
Kok gak terbuka sih.
Brakk. Brakk.
"Sadar, Anakku. Ria, papah mohon."
Apaan sih. Kenapa gue gak bisa maju ke pintu lagi. Gue memberontak sekuat tenaga. Gue gak bisa gerak.
"Lo kalah Ria. Lo gak bisa dapatkan rasa sakit itu sekarang. Hahahaha Ria kalah."
"Diam! Gue gak kalah. Aaarrgghhh"
Eh apaan nih. Kok sakit. Yah, kok gue melemah. Pergi pergi, gue gak kalah.
*****
Dugg. Dugg. Dugg.
Terdengar suara bedebum seperti barang yang keras ditabrakkan ke dinding. Tara yang masih melanjutkan pekerjaannya dibuat kebingungan.
'Randy lagi tinju kali ya? Tapi sejak kapan dia tinju?'
Tara mengabaikan bunyi tersebut dan melanjutkan membaca berkas di hadapannya.
Dugg. Dugg. Dugg. Dugg.
Kali ini bunyinya makin kencang. Perasaan Tara tidak enak. Ia menunggu suara berikutnya. Jika terdapat suara lagi, ia harus keluar mengecek keadaan rumah.
Prangg
Bergegas Tara menelepon Anton untuk ikut mengecek keadaan dan ia berjalan keluar ruang kerjanya.
"Nona berhenti Non, istighfar Non." Terlihat Bi Inah yang bersimpuh di lantai dekat pecahan gelas.
Tara berlari menghampiri tempat kejadian karena terdengar suara Ria.
"Astaga anakku," ujarnya sangat terkejut.
"Kenapa bisa begini?" tanya Tara tajam pada Bi Inah.
"Saya gak tahu Tuan, saya juga baru keluar saat mendengar suara pecahan kaca," balas Bi Inah bergetar ketakutan.
"Cepat bangunkan Randy!"
"Buang itu Ria. Jangan sakiti dirimu sendiri Sayang." Tara mengambil pecahan gelas di tangan Ria dan membuangnya jauh-jauh.
"Ada apa pak?" Anton yang baru datang dan terengah-engah, terkejut melihat keadaan nonanya.
"Cepat bersihkan ini semua, dan jemput dokter Ardi di rumahnya sekarang!"
"Baik pak." Anton bergegas mengikuti perintah Tara, ia sangat terkejut melihat kekacauan di hadapannya. Nonanya sepertinya sedang kambuh.
Ria masih memberontak untuk lepas dari dekapan Tara. Tara sempat melemah karena berbicara dengan Anton tadi.
"Ria, berhenti! Cukup Ria!" Ria sedikit tenang dan Tara mengendurkan pelukannya.
Kejadiannya sepersekian detik, Ria berhasil lepas dari dekapannya dan menabrakkan diri ke pintu.
"ASTAGA RIA" Tara mendapati hal itu sangat terkejut, melihat tubuh putrinya menabrak pintu dengan sangat keras.
Brakk. Brakk.
Percobaan keduanya. Randy yang baru keluar dari kamarnya langsung berlari menghampiri Ria dan menariknya jauh dari pintu.
"Sadar anakku. Ria, papah mohon," ujar Tara dengan sangat sedih. Ia sudah tak tahu harus apa untuk menyadarkan dan menenangkan Ria.
"Diam! Gue gak kalah. Aaarrgghhh." Teriakan Ria membuat mereka berdua sangat sedih dan terpukul. Kenapa harus Ria, Ya Tuhan?
Tara dan Randy meratapi nasib sambil terus memeluk Ria agar ia tak kembali menabrakkan diri ke suatu hal. Mereka terus memanjatkan doa yang terbaik demi kesembuhan Ria.
Tak berselang lama dokter Ardi tiba di hadapan mereka dan langsung menyuntikkan obat penenang pada Ria. Jika memang sudah di luar kendali, dokter Ardi memilih tindakan untuk memberi obat penenang pada pasiennya, seperti Ria.
Tara dan Randy menghela nafas lega tatkala Ria sudah di bawah pengaruh obat.
"Ria harus segera dibawa ke rumah sakit, saya takut ada pendarahan di kepalanya melihat sudah banyak memar di tubuhnya." Dokter Ardi bergegas keluar rumah bersama Ria yang digendong Tara untuk membawanya ke rumah sakit.
Randy menyusul menggunakan mobil lainnya karena ia harus mengambil dompet dan ponsel terlebih dahulu. Tara tak kepikiran harus membawa uang jika ke rumah sakit.
"Pasti suara tersebut sangat menyakitkan ya Ria, sampai hati kamu menyakiti lengan mu sendiri." Dokter Ardi membersihkan darah di tangan Ria dengan peralatan yang ia bawa.
Tara sangat terenyuh mendengar ucapan Ardi. Betapa sangat menyakitkan yang harus anaknya lalui.
Dokter Ardi merupakan psikiater pribadi Ria yang menanganinya semenjak Ria terdiagnosis mental illness. Ardi teman baiknya Tara. Mereka sudah berteman semenjak kuliah dan hingga saat ini sudah mencapai kesuksesan di bidangnya masing-masing.
Begitu tahu salah seorang anaknya Antara mengalami gangguan mental serius, Ardi langsung menawarkan diri untuk menghandle. Ia tahu betul gonjang-ganjing rumah tangga Antara kala itu.
Ardi sudah menyangka bahwa salah seorang anak Antara akan menjadi korban, tapi tak menyangka jika Ria anaknya. Ria anak yang sangat baik, sopan dan penurut. Tak jarang ia meminta Ria untuk diasuh olehnya ketika prahara rumah tangga Antara semakin parah.
Ria selalu menolaknya. Ia berdalih bahwa abang dan adiknya butuh kehadirannya dan tak bisa ia tinggal begitu saja. Ria, si gadis kecil yang baik hati bak malaikat.
"Maafin Ayah yang lupa sama kamu belakangan ini ya Ria. Salah Ayah yang tidak fokus lagi sama kamu." Ardi mencium tangan Ria dan menyesali tindakannya akhir-akhir ini yang melupakan kondisi Ria. Saking dekatnya mereka, Ardi membahasakan dirinya sebagai ayah bagi Ria.
Antara yang mendengar hal tersebut semakin teriris hatinya. Betapa ia sangat mengabaikan kondisi Ria juga dan tak terfikirkan olehnya sedikit permintaan maaf untuk Ria.
Memang, semua akan merasa menyesal ketika korban sudah di depan mata. Korban dari segala keegoisan orang dewasa yang tak pernah mencoba untuk menekan rasa.
#############################
Tutttt. Tutttt. Tutttt.Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Silakan coba beberapa saat lagi."Arrghh kamu kemana sih?" Sudah tiga hari berlalu Tian kehilangan kabar dari Ria. Terakhir kali ia berkunjung ke rumah kakeknya dan berujung diare, ia tahu bahwa satai tersebut dikirim oleh Ria."Ayo Christ, sebentar lagi kita mulai shooting," ujar salah satu staf yang masih melihat Tian berada di luar ruangan."Oh, iyaa."GMC melakukan taping untuk acara variety show milik mereka sendiri. Acaranya berupa games dan terdapat kompetisi di dalamnya. Mereka sudah menjalani 141 episode yang tiap episode tayang seminggu sekali.Acara mereka dinamakan playing with GMC dengan penonton di platform youtube bisa mencapai 5-10 juta dalam sekali penayangan.Sepanjang taping mereka semua menjalani
"Kamu mau sarapan apa Ri?" tanya Tara begitu melihat anaknya sedang berjemur di halaman rumah."Bubur ayam yuk Pah yang di depan sana." Ria membuka mata tatkala mendengar suara Tara."Anton, ambilin dompet sama ponsel saya!" titah Tara dan ia berjalan menghampiri Ria."Dari kapan kamu di sini?" Mengusap peluh yang hadir di sekitar kening Ria."Lupa. Aku lanjut tidur sepertinya," balas Ria dibarengi dengan senyuman.Terlihat Anton menghampiri mereka. "Ini pak. Mau saya antar atau bagaimana?"Ria menggeleng pada Tara. Ia sedang bosan diikuti terus."Gak usah. Standby saja kalau saya butuh sesuatu," ujar Tara. Ria memutar bola mata, tentu saja papahnya tak akan membiarkan mereka pergi tanpa pengawalan dari Anton."Gak boleh keliatan mata aku loh. Kalau sampai keliatan, kalian aku hukum!" tekan Ria pada mereka. Ia benar-benar sedang pengap diikuti terus sedari awal di sini.Tara menggenggam tangan Ria."Hushh gak
Seminggu lebih mereka tinggal di salah satu rumah Antara yang tidak Ria sukai karena terlalu besar. Tara memilih rumah ini dengan pertimbangan rumah yang besar dan sedikit barang akan memperkecil kemungkinan Ria menyakiti dirinya sendiri ketika kambuh. Tentu saja anggapan Tara salah. Suara yang didengar oleh Ria memiliki kekuatan dan dorongan yang sangat besar bagi hidupnya. Sakit yang diterimanya sudah sangat besar sehingga outputnya mencari jalan kesakitan yang lain. Antara menambahkan penghuni rumah ini, bila perlu tiap ruangan terisi oleh orang yang sigap jika mendengar sekecil apapun suara. Tara juga manusia yang perlu istirahat, jadi ia tak bisa mengawasi Ria 24 jam tiada henti. Tara memberlakukan sistem shift malam dan pagi, karena terakhir kali ia melihat putrinya kambuh ketika tengah malam di mana waktu yang senggang dari pengawasan. Selama seminggu Ria tidur di dekapan Tara.
Seseorang memasuki kantornya ketika mayoritas penghuni kantor telah hadir. Kehadirannya tidak disambut dengan heboh karena memang ia datang diam-diam. Para penghuni lantai 15 sepertinya masih terkejut melihat Ria yang berjalan menuju ruangannya. Terlebih Ria yang diikuti oleh Anton di belakang, membuat orang-orang makin terdiam karena disuguhi wajah tampan nan rupawan milik Anton. Ria tak langsung menyapa penghuni lantai 15, ia memilih untuk memasuki ruangannya terlebih dahulu. Ruangan yang sudah ditinggalkannya lebih dari dua bulan. "Waaww ruanganku dibersihkan terus ya? Gak kelihatan ada debunya." Ria berkeliling dan mengecek kondisi barangnya yang sebenarnya ia juga lupa. Biar kelihatan excited saja. Anton tersenyum menanggapi, ia bukan tipikal bodyguard yang diam dan terkesan misterius. Anton sangat ramah dan murah ekspresi. "Ayo Nona, keluar sapa teman-teman, mereka sudah memperh
"36 Milyar itu bukan nominal yang kecil Ria. Yang masuk akal aja dong! Produknya juga belum tentu laku di pasaran meskipun telah menggunakan mereka sebagai Brand Ambassador!" balasan telak dari keuangan ketika Ria mengajukan usul untuk menggunakan GMC sebagai Brand Ambassador mereka."Jelas dari segi pemasaran ini terlalu riskan. Penggemar mereka itu tersebar di seluruh penjuru dunia, apakah dari pendistribusian sudah memikirkan efek dan dampaknya kalau penjualan hingga luar negeri? Terlebih pabriknya hanya satu dan terpusat di sini." Tambah lagi dari pemasaran. Beberapa anggota timnya juga tidak setuju jika Ria ingin menggunakan GMC sebagai sarana pengiklanan produk mereka."Coba Ri dipikirkan dulu, jangan impulsif. Saya tahu kamu ingin mengejar ketertinggalan, tapi dilihat dulu dari berbagai aspek. Target peluncuran pertama kita cuman satu juta pieces Ri dan maksimal profit yang diambil cuman 8 Milyar.
Negosiasi berjalan cukup rumit karena ternyata agensi yang menaungi GMC (re: jiemsi) sangat ketat terhadap iklan atau pun kerja sama lainnya seperti menjadi Brand Ambassador. Ria telah mencoba menawarkan berbagai skema kerja sama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.Anggota tim yang lain juga sedang berusaha advokasi ke atas terkait dana tersebut. Sambil jalan proses produksi untuk melakukan sertifikasi dan urusan administrasi lainnya untuk kelayakan jual.Satu minggu sudah Ria bolak-balik rapat dengan pihak agensi, tapi tak kunjung mendapat kesepakatan yang menguntungkan keduanya. Opsi yang ditawarkan Ria selalu dipandang mereka sebagai opsi yang merugikan bagi agensi, begitu pun sebaliknya.Satu minggu ini tidak setiap hari mereka berjumpa, karena Ria mau pun perwakilan agensi memiliki kesibukannya masing-masing di kantor.Satu minggu sudah Christian berusaha menyempatkan diri untuk mampi
"Kenapa kak? Hectic banget keliatannya." Julio menghentikan langkah Delfi yang mondar-mandir sedari tadi."Ada sedikit masalah biasa, nanti gue sampaikan kalau udah senggang. Kalian fokus aja untuk talk shows okay." Delfi menepuk pundak Julio dan bergegas pergi lagi."Ada apa sih?" Julio kembali bertanya begitu melihat Jimmy. Biasanya Jimmy sumber informasi bagi mereka.Jimmy menarik tangan Julio dan membawanya berkumpul bersama dengan member yang lain."Ingat perusahaan yang mau jadiin kita BA?" Pembukaan dari Jimmy membuat semua menaruh atensi padanya."Ternyata rapatnya sudah berlangsung satu mingguan dan yang rapat sama perusahaan belum masukin berkas dan notulanya ke tim analis maupun kak Delfi. Makanya kak Delfi sibuk mondar-mandir karena itu," jelas Jimmy sambil memakan kentang goreng di hadapannya."Terus terus." Elang meminta la
"Christ, bangun!" Julio menghampiri Tian yang masih nyaman dalam tidurnya."Lang, bangun!" Julio menepuk betis Elang yang memang sedang tidur satu kasur dengan Tian."Mau makan apa? Bang Septa mau masak tuh.""Apa aja," balas Tian dengan gumaman."Huhh terserah kalian lah." Julio menyerah untuk membangunkan mereka, biar lah sebangunnya saja.GMC lebih sering tinggal di lantai yang khusus disediakan untuk mereka di gedung Monokrom. Tiga lantai yang diberikan Monokrom sebagai wilayah kekuasaan GMC. Satu lantai khusus untuk tempat tinggal mereka yang berisi kamar dan ruang bersantai atau ruang keluarga, satu lantai untuk mereka bekerja seperti studio rekaman, studio untuk berlatih dan ruangan lainnya yang mendukung mereka untuk menghasilkan karya. Satu lantai lainnya sebagai sport center dan beberapa fasilitas untuk bermain mereka.Sebenarnya mereka bebas saja berkel