Share

7 : ...

"Saya benci kamu."

"Kenapa lo harus mengingatkan gue dengan wanita gila itu?"

"Gue benci lo dek."

"Aku gak bisa dekat kakak, pasti akan mengingatkan ku sama dia."

"Lo atau gue yang pergi?"

"Tolong dedek bang. Bang jangan tinggalin dedek sendiri."

"Anak gak tahu diuntung."

Gangguan suara itu lagi. Kenapa rasanya masih sama? Sama-sama menyakitkan. Tuhan. Tolong Ria...

Gue berusaha menggapai setitik cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti. Suara-suara tersebut terus mengelilingi.

Apa dosa yang diperbuat Ria di masa lalu, Tuhan? Kenapa harus Ria yang mengalami ini?

Gue berhasil membuka mata dan melihat sekitar bahwa gue masih di rumah papah. Tidak terjadi apa pun.

Air mata tumpah mewakili perasaan gue saat ini. Sudah berlalu, sudah berlalu. Saatnya bangkit dan menyapa dunia baru. Tapi gue gak bisa.

Memori masa lalu kembali muncul di kepala gue. Perasaan tak diinginkan, dibuang, dibenci dan lainnya yang sulit gue deskripsikan.

Aarrgghh. Nafas gue sakit. Leher gue tercekik. Dada gue sesak.

Tuhan... Ampuni Ria, Tuhan. Sudahi semua penderitaan ini Tuhan. Ria mohon.

Hanya bicara pada Tuhan yang dapat gue lakukan saat ini. Gak tahu sampai kapan serangan ini muncul. Gue memilih memejamkan mata sambil terus meminta pertolongan pada Tuhan.

'Tenang Ria. Tenang. Tuhan sayang Ria. Ria anak baik. Ria tidak nakal'

Suara tersebut mendominasi di telinga gue saat ini di tengah ramainya suara yang hadir. Benar. Tuhan sayang Ria.

Gue bisa tenang dalam sekian waktu, tapi tak bisa melanjutkan tidur.

"Lebih baik kamu mati Ria."

"Saya tidak butuh anak sok pahlawan seperti kamu."

"Gue harap gak akan pernah lihat lo lagi di muka bumi ini."

"Kalau dedek mati, apakah akan menyelesaikan masalah?"

"Oke dedek pergi ya. Semoga kalian bahagia tanpa dedek"

Aaarrrgghhh. Berhenti. Suara sialan. Kenapa mereka terus-terusan muncul? Pergi!!!!

Gue menabrakkan tubuh ke dinding kamar. Suara-suara tadi tidak mau pergi. Mereka masih bermunculan di sekitar gue.

"Hahahahaha. Mau ngapain kamu Ria? Terus tabrakin dinding nya. Benar-benar manusia tak tahu diuntung."

Aahh. Kenapa gak mati-mati sihh. Udah gak ada rasa sedikit pun loh ini. Seperti menabrak kasur sendiri.

Oh. Coba yang lain. Kepala gue belum dicoba.

Dug. Dug. Dug.

Hmm. Lumayan berasa. Tapi suara tadi masih terdengar.

"Kurang kencang Ria. Dicoba lebih keras lagi!"

Benar juga. Coba lebih keras lagi.

Dugg. Dugg. Dugg. Dugg.

Gue capek. Gak ada hasil. Gak berasa apapun. Ngapain lagi ya?

"Saya menyesal melahirkan kamu."

"Anak yang tak diinginkan."

Bajingan. Kenapa makin banyak suara yang muncul? Kenapa sangat menyakitkan mendengar suara tersebut?

Gue gak mau dengar suara itu lagi. Tapi gue capek menabrakkan diri, gak ada yang berhasil.

"Coba kamu keluar kamar atau rumah sekalian"

Benar juga usulan dia. Gue keluar kamar dan menuju kemana pun terserah kaki gue melangkah.

Eh kok haus ya. Minum dulu deh. Berjalan menuju dapur dan mengambil gelas. Aahh lumayan segar.

Boleh juga nih gelas. Coba banting ah.

Prangg

"Coba pake pecahan gelas. Kali aja berasa."

Saran dari suara sialan boleh juga. Baru dipegang udah berdarah aja. Yakin nih ada rasanya? Gue menimbang-nimbang kembali. Malas banget kalau gak berhasil juga.

"Coba aja dulu. Buat garis panjang di lengan."

Tanpa pikir panjang gue langsung melakukannya.

"Sakit Ibu. Kenapa gak dibius dulu."

Ingatan macam apa itu. Gue takut dijahit lagi. Gak gak.

"Ria, berhenti! Cukup Ria!" Tubuh gue digoncang oleh sesuatu. Duh ganggu aja sih.

Gue bangkit dan berlari menuju luar karena mulai merasakan gangguan.

Brakk.

Kok gak terbuka sih.

Brakk. Brakk.

"Sadar, Anakku. Ria, papah mohon."

Apaan sih. Kenapa gue gak bisa maju ke pintu lagi. Gue memberontak sekuat tenaga. Gue gak bisa gerak.

"Lo kalah Ria. Lo gak bisa dapatkan rasa sakit itu sekarang. Hahahaha Ria kalah."

"Diam! Gue gak kalah. Aaarrgghhh"

Eh apaan nih. Kok sakit. Yah, kok gue melemah. Pergi pergi, gue gak kalah.

*****

Dugg. Dugg. Dugg.

Terdengar suara bedebum seperti barang yang keras ditabrakkan ke dinding. Tara yang masih melanjutkan pekerjaannya dibuat kebingungan.

'Randy lagi tinju kali ya? Tapi sejak kapan dia tinju?'

Tara mengabaikan bunyi tersebut dan melanjutkan membaca berkas di hadapannya.

Dugg. Dugg. Dugg. Dugg.

Kali ini bunyinya makin kencang. Perasaan Tara tidak enak. Ia menunggu suara berikutnya. Jika terdapat suara lagi, ia harus keluar mengecek keadaan rumah.

Prangg

Bergegas Tara menelepon Anton untuk ikut mengecek keadaan dan ia berjalan keluar ruang kerjanya.

"Nona berhenti Non, istighfar Non." Terlihat Bi Inah yang bersimpuh di lantai dekat pecahan gelas.

Tara berlari menghampiri tempat kejadian karena terdengar suara Ria.

"Astaga anakku," ujarnya sangat terkejut.

"Kenapa bisa begini?" tanya Tara tajam pada Bi Inah.

"Saya gak tahu Tuan, saya juga baru keluar saat mendengar suara pecahan kaca," balas Bi Inah bergetar ketakutan.

"Cepat bangunkan Randy!"

"Buang itu Ria. Jangan sakiti dirimu sendiri Sayang." Tara mengambil pecahan gelas di tangan Ria dan membuangnya jauh-jauh.

"Ada apa pak?" Anton yang baru datang dan terengah-engah, terkejut melihat keadaan nonanya.

"Cepat bersihkan ini semua, dan jemput dokter Ardi di rumahnya sekarang!"

"Baik pak." Anton bergegas mengikuti perintah Tara, ia sangat terkejut melihat kekacauan di hadapannya. Nonanya sepertinya sedang kambuh.

Ria masih memberontak untuk lepas dari dekapan Tara. Tara sempat melemah karena berbicara dengan Anton tadi.

"Ria, berhenti! Cukup Ria!" Ria sedikit tenang dan Tara mengendurkan pelukannya.

Kejadiannya sepersekian detik, Ria berhasil lepas dari dekapannya dan menabrakkan diri ke pintu.

"ASTAGA RIA" Tara mendapati hal itu sangat terkejut, melihat tubuh putrinya menabrak pintu dengan sangat keras.

Brakk. Brakk.

Percobaan keduanya. Randy yang baru keluar dari kamarnya langsung berlari menghampiri Ria dan menariknya jauh dari pintu.

"Sadar anakku. Ria, papah mohon," ujar Tara dengan sangat sedih. Ia sudah tak tahu harus apa untuk menyadarkan dan menenangkan Ria.

"Diam! Gue gak kalah. Aaarrgghhh." Teriakan Ria membuat mereka berdua sangat sedih dan terpukul. Kenapa harus Ria, Ya Tuhan?

Tara dan Randy meratapi nasib sambil terus memeluk Ria agar ia tak kembali menabrakkan diri ke suatu hal. Mereka terus memanjatkan doa yang terbaik demi kesembuhan Ria.

Tak berselang lama dokter Ardi tiba di hadapan mereka dan langsung menyuntikkan obat penenang pada Ria. Jika memang sudah di luar kendali, dokter Ardi memilih tindakan untuk memberi obat penenang pada pasiennya, seperti Ria.

Tara dan Randy menghela nafas lega tatkala Ria sudah di bawah pengaruh obat.

"Ria harus segera dibawa ke rumah sakit, saya takut ada pendarahan di kepalanya melihat sudah banyak memar di tubuhnya." Dokter Ardi bergegas keluar rumah bersama Ria yang digendong Tara untuk membawanya ke rumah sakit.

Randy menyusul menggunakan mobil lainnya karena ia harus mengambil dompet dan ponsel terlebih dahulu. Tara tak kepikiran harus membawa uang jika ke rumah sakit.

"Pasti suara tersebut sangat menyakitkan ya Ria, sampai hati kamu menyakiti lengan mu sendiri." Dokter Ardi membersihkan darah di tangan Ria dengan peralatan yang ia bawa.

Tara sangat terenyuh mendengar ucapan Ardi. Betapa sangat menyakitkan yang harus anaknya lalui.

Dokter Ardi merupakan psikiater pribadi Ria yang menanganinya semenjak Ria terdiagnosis mental illness. Ardi teman baiknya Tara. Mereka sudah berteman semenjak kuliah dan hingga saat ini sudah mencapai kesuksesan di bidangnya masing-masing.

Begitu tahu salah seorang anaknya Antara mengalami gangguan mental serius, Ardi langsung menawarkan diri untuk menghandle. Ia tahu betul gonjang-ganjing rumah tangga Antara kala itu.

Ardi sudah menyangka bahwa salah seorang anak Antara akan menjadi korban, tapi tak menyangka jika Ria anaknya. Ria anak yang sangat baik, sopan dan penurut. Tak jarang ia meminta Ria untuk diasuh olehnya ketika prahara rumah tangga Antara semakin parah.

Ria selalu menolaknya. Ia berdalih bahwa abang dan adiknya butuh kehadirannya dan tak bisa ia tinggal begitu saja. Ria, si gadis kecil yang baik hati bak malaikat.

"Maafin Ayah yang lupa sama kamu belakangan ini ya Ria. Salah Ayah yang tidak fokus lagi sama kamu." Ardi mencium tangan Ria dan menyesali tindakannya akhir-akhir ini yang melupakan kondisi Ria. Saking dekatnya mereka, Ardi membahasakan dirinya sebagai ayah bagi Ria.

Antara yang mendengar hal tersebut semakin teriris hatinya. Betapa ia sangat mengabaikan kondisi Ria juga dan tak terfikirkan olehnya sedikit permintaan maaf untuk Ria.

Memang, semua akan merasa menyesal ketika korban sudah di depan mata. Korban dari segala keegoisan orang dewasa yang tak pernah mencoba untuk menekan rasa.

#############################

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status