Itu priaku.
Aku tidak lagi mengingat sejumlah peralatan infus yang masih terpasang di tubuhku. Kedua kakiku refleks bergerak menuruni ranjang dan seketika menghambur ke dalam pelukannya. Xaferius menghujaniku kecupan yang panjang. Dia menciumku seperti seorang pengembara yang ingin memuaskan dahaganya karena telah berhasil menemukan sumber air yang dia cari selama berhari-hari. Setiap sentuhan darinya melukiskan seluruh kerinduan dan keputusasaan. Dadaku bergetar dipenuhi euforia berlebih yang juga mengisi sepasang netranya.
Sengatan rasa nyeri yang tiba-tiba hadir membawaku kembali berpikir secara rasional setelah melepas pertemuan mengharukan kami. Pandanganku beralih dengan enggan ke pergelangan tangan kiriku—warna selangnya berubah menjadi merah sekarang, sebagian darahku naik dan menimbulkan efek ngilu yang membuat keningku
“Aku mengingatnya sekarang. Apa dia adalah serigala berbulu krim itu?”Xaferius mengangguk menanggapi pertanyaanku, “Kau benar. Sarah bergabung dengan Aldrich setelah konflik berdarah antara Rusia dan Jepang terjadi di tahun 1905. Dia lari dari Manchuria setahun setelah perang itu berakhir. Mereka telah terikat dalam sebuah hubungan yang begitu lama. Kau tidak perlu meragukan loyalitas wanita itu pada Aldrich. Aku yakin dia bahkan rela melompat ke dalam api jika Aldrich yang memintanya.”Itu bukan usia yang singkat—Sarah bahkan telah melewati beberapa peristiwa bersejarah di sepanjang eksistensinya, menyaksikan sederet kejadian luar biasa sebagai saksi hidup yang tidak orang-orang tahu. Aku mengalihkan pandanganku padanya. Wanita itu masih tetap diam di posisi yang sama—tanpa berganti pose. Kedua t
“Tutup mulut kalian!” hardik Sarah dengan nada yang seketika membuatku terlonjak dan menoleh padanya.“Apa yang salah denganmu?” balas Shaunn dengan intonasi yang tidak kalah tinggi.“Tenanglah, Shaunn,” tegur Xaferius, dia langsung berdiri dan bergerak mendekati Sarah.“Serigala betina itu sudah gila!”“Zip your mouth,” tambah Simon yang berusaha untuk membungkam Shaunn.Adaire merangkul kedua pundak werewolf muda itu agar tet
“Ada beberapa rahasia di dalam sana, Anna. Rahasia yang hanya segelintir orang tahu dan kau bahkan belum menyentuh dasarnya.”Rahasia.Aku juga benci itu—selain kejutan, tentu saja. Terakhir kali aku mendapat sebuah kejutan, terakhir kali pula aku melihat Xaferius. Kita tidak pernah tahu sesuatu seperti apa yang sedang menunggu di balik itu, bukan?“Aku tidak ingin mendengarnya.”Xaferius mengangkat satu alisnya, “Mengapa? Kupikir kau selalu penasaran.”“Hanya kadang-kadang. Tidak selalu. Kupikir aku harus belajar menahan diri untuk mengetahui sesuatu yang memang seharusnya tidak kuketahui.”
“Apa kalian sedang membicarakanku?”Suara yang tidak asing itu datang dari arah pintu. Rambut panjangnya yang melewati pundak dibiarkan tergerai bebas di antara bingkai wajahnya. Seringai di bibir pria itu melebar menatap kami.Itu Aldrich. Dia berdiri di sana, menyandarkan satu sisi tubuhnya yang dibalut piama untuk pasien—persis sepertiku, sementara kedua tangannya terlipat di dada. Dia tampak jauh lebih sehat daripada terakhir kali aku melihatnya—kulit pucat dan kantong yang serupa dengan luka memar di bawah matanya, dia telah mendapatkan warna kulitnya kembali.“Apa aku boleh masuk?” tanyanya lagi dengan satu alisnya yang menukik ke atas.“Bukankah kamarmu ada di ruangan
“Have I lost you forever?”Pertanyaan dari Aldrich itu tidak mampu kujawab. Entah mengapa aku tidak ingin membuatnya terluka lebih dalam dari yang dia rasakan sekarang. Sesuatu yang kukhawatirkan itu merupakan salah satu bentuk dari simpati untuknya.Tanpa aku harus memberi jawaban pun, kupikir Aldrich telah mengetahuinya sejak awal—aku hanya milik Xaferius, dia akan kalah bahkan sebelum persaingan di antara mereka dimulai. Dia pergi meninggalkan ruangan sesaat setelah aku mengembalikan kalung yang dia berikan padaku sebagai ‘hadiah’ di hutan Nightingale. Pria itu berpamitan, tetapi sorot matanya lagi-lagi memberikanku sebuah simbol jika dia akan datang kembali—sama seperti tempo lalu.
Xaferius mencoba menenangkanku dengan segenap ucapan lembut yang pada akhirnya sukses membuatku melupakan seluruh kekhawatiran yang tersimpan di dalam kepalaku. Dia mengalihkan topik pembicaraan kami ke hal-hal yang jauh lebih ringan; mulai dari bunga sepatu sampai resep kue pai yang ingin kucoba setelah melihatnya melalui iklan televisi tadi. Barangkali, jika aku menjalin hubungan bersama seorang pria normal—yang berasal dari kalangan manusia sepertiku, kami hanya akan melewati kehidupan yang sederhana. Pergi berkencan dan menonton bioskop atau merencanakan masa depan yang... Aku menghela napas, marah pada diriku sendiri.Lupakanlah, Anna.Suara dalam kepalaku selalu muncul di saat yang tepat, memberiku sejenis sinyal peringatan sekaligus mentor yang berguna agar aku tidak mengambil opsi yang salah. Namun, kadang-kadang itu ju
Aku tidak pernah menyangka jika mimpiku akan terwujud dengan bantuan Xaferius. Dia berjanji untuk mengurus segala sesuatunya minggu depan. Aku kemudian mencubit paha kiriku dua kali, memastikan aku tidak sedang berkhayal lagi. Mulutku spontan mengaduh sesaat setelah efek dari getilan itu terasa menyakitiku. Jadi, itu benar—aku akan mempunyai toko bungaku sendiri, segera. Dadaku diliputi segenap perasaan gembira yang secara otomatis melebarkan garis ekspresif di wajahku. “Pikirkanlah nama yang cocok untuk tokomu, tetapi kau tidak boleh mengkhawatirkan sesuatu dengan berlebihan. Dokter menyuruhmu lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” pesan Xaferius yang kedua alisnya bertaut sekarang. “Tenang saja. Aku tahu porsinya.”
“Aku membawa kabar baik, Anna.”Aku sontak menoleh ke asal suara, lantas mendapati Xaferius yang sedang memegangi sebuket bunga mawar dan sekeranjang buah-buahan untukku. Aku kembali menghela napas, jenuh. Seminggu aku berada di sini, tetapi masih belum ada tanda-tanda bahwa tim medis akan mengizinkanku pulang. Sementara Aldrich sudah keluar lebih dahulu empat hari yang lalu. Aku lagi-lagi iri pada stamina yang dimiliki oleh para werewolf. Mereka pulih dengan cepat.“Ada apa?” sahutku tanpa semangat.“Kupikir aku yang seharusnya bertanya ada apa, Anna. Kau kehilangan antusiasmu.”“Apa yang