“Apa kalian sedang membicarakanku?”
Suara yang tidak asing itu datang dari arah pintu. Rambut panjangnya yang melewati pundak dibiarkan tergerai bebas di antara bingkai wajahnya. Seringai di bibir pria itu melebar menatap kami.
Itu Aldrich. Dia berdiri di sana, menyandarkan satu sisi tubuhnya yang dibalut piama untuk pasien—persis sepertiku, sementara kedua tangannya terlipat di dada. Dia tampak jauh lebih sehat daripada terakhir kali aku melihatnya—kulit pucat dan kantong yang serupa dengan luka memar di bawah matanya, dia telah mendapatkan warna kulitnya kembali.
“Apa aku boleh masuk?” tanyanya lagi dengan satu alisnya yang menukik ke atas.
“Bukankah kamarmu ada di ruangan
“Have I lost you forever?”Pertanyaan dari Aldrich itu tidak mampu kujawab. Entah mengapa aku tidak ingin membuatnya terluka lebih dalam dari yang dia rasakan sekarang. Sesuatu yang kukhawatirkan itu merupakan salah satu bentuk dari simpati untuknya.Tanpa aku harus memberi jawaban pun, kupikir Aldrich telah mengetahuinya sejak awal—aku hanya milik Xaferius, dia akan kalah bahkan sebelum persaingan di antara mereka dimulai. Dia pergi meninggalkan ruangan sesaat setelah aku mengembalikan kalung yang dia berikan padaku sebagai ‘hadiah’ di hutan Nightingale. Pria itu berpamitan, tetapi sorot matanya lagi-lagi memberikanku sebuah simbol jika dia akan datang kembali—sama seperti tempo lalu.
Xaferius mencoba menenangkanku dengan segenap ucapan lembut yang pada akhirnya sukses membuatku melupakan seluruh kekhawatiran yang tersimpan di dalam kepalaku. Dia mengalihkan topik pembicaraan kami ke hal-hal yang jauh lebih ringan; mulai dari bunga sepatu sampai resep kue pai yang ingin kucoba setelah melihatnya melalui iklan televisi tadi. Barangkali, jika aku menjalin hubungan bersama seorang pria normal—yang berasal dari kalangan manusia sepertiku, kami hanya akan melewati kehidupan yang sederhana. Pergi berkencan dan menonton bioskop atau merencanakan masa depan yang... Aku menghela napas, marah pada diriku sendiri.Lupakanlah, Anna.Suara dalam kepalaku selalu muncul di saat yang tepat, memberiku sejenis sinyal peringatan sekaligus mentor yang berguna agar aku tidak mengambil opsi yang salah. Namun, kadang-kadang itu ju
Aku tidak pernah menyangka jika mimpiku akan terwujud dengan bantuan Xaferius. Dia berjanji untuk mengurus segala sesuatunya minggu depan. Aku kemudian mencubit paha kiriku dua kali, memastikan aku tidak sedang berkhayal lagi. Mulutku spontan mengaduh sesaat setelah efek dari getilan itu terasa menyakitiku. Jadi, itu benar—aku akan mempunyai toko bungaku sendiri, segera. Dadaku diliputi segenap perasaan gembira yang secara otomatis melebarkan garis ekspresif di wajahku. “Pikirkanlah nama yang cocok untuk tokomu, tetapi kau tidak boleh mengkhawatirkan sesuatu dengan berlebihan. Dokter menyuruhmu lebih banyak beristirahat dan menghindari stres,” pesan Xaferius yang kedua alisnya bertaut sekarang. “Tenang saja. Aku tahu porsinya.”
“Aku membawa kabar baik, Anna.”Aku sontak menoleh ke asal suara, lantas mendapati Xaferius yang sedang memegangi sebuket bunga mawar dan sekeranjang buah-buahan untukku. Aku kembali menghela napas, jenuh. Seminggu aku berada di sini, tetapi masih belum ada tanda-tanda bahwa tim medis akan mengizinkanku pulang. Sementara Aldrich sudah keluar lebih dahulu empat hari yang lalu. Aku lagi-lagi iri pada stamina yang dimiliki oleh para werewolf. Mereka pulih dengan cepat.“Ada apa?” sahutku tanpa semangat.“Kupikir aku yang seharusnya bertanya ada apa, Anna. Kau kehilangan antusiasmu.”“Apa yang
Aku sedang berbaring di atas ranjang empuk yang nyaman sekarang—bukan milik rumah sakit yang tinggi dan meneriakkan suara derit setiap kali aku bermaksud untuk turun darinya lagi. Tim medis memperbolehkan aku pulang ke rumah setelah pemeriksaan terakhir yang mereka lakukan; hasilnya baik. Aku kembali memeluk setumpuk bantal yang tersusun rapi di sampingku, kemudian menghirup aromanya—bau pelembut pakaian menempel kuat di balik serat kain, menciptakan suasana kantuk yang menggodaku secara tidak langsung.Sepasang mataku pun nyaris terpejam, tetapi suara ketukan mendadak di pintu berhasil menyentakku kembali ke alam sadar. Aku sontak menyalangkan mata, menoleh dan menyaksikan sederet pelayan Xaferius yang masuk dengan iring-iringan meja dorong bertaplak serba putih, lengkap bersama lusinan nampan tertutup.“Apa itu?&r
Sempurna.Apa aku perlu mengatakannya berulang kali untuk mendeskripsikan figur Xaferius bagiku? Sungguh, dia tanpa cacat—sosok yang belum pernah kutemui di duniaku yang fana dan rapuh. Pria itu sedang berdiri di hadapanku; bertelanjang dada, memamerkan otot-otot tubuhnya yang lebih dari sekadar indah dan kuat. Kupikir tidak akan ada kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan pribadinya secara keseluruhan.Aku menelan ludah, lantas membasahi bibirku yang terasa kering sejak kemeja keluaran Louis Vuitton itu ditanggalkan. Debaran di dadaku seketika berubah menjadi gemuruh yang turut meruntuhkan pertahanan diri kami. Sepasang kakiku refleks bergerak menuruni ranjang dan berayun mendekati Xaferius yang menunggu. Kilau di iris birunya mendadak berkabut setelah kedua tanganku melingkari pinggang kokohnya.
Xaferius bukan tergolong tipe pemaksa seperti Aldrich. Dia memastikan setiap adegan yang akan kulalui bersamanya sempurna dan mengalur dengan lamban. Pria itu ingin aku menikmati seluruh perasaan yang dia berikan padaku. Itu penting katanya.Penting sebab babak yang akan kami lakukan merupakan sebuah pengalaman pertama untukku—sesuatu yang baru dan berharga, sesuatu yang hanya ingin kuserahkan padanya sebagai bukti dari cinta kami. Di sinilah aku sekarang berada, mengerang berulang-ulang di bawah lajunya pacuan tubuh Xaferius yang sedang mengimpitku. Pria itu menenggelamkan wajahnya ke balik dadaku setiap kali ada satu desahan yang berhasil lolos dari bibirku.Keningku selalu mengernyit menahan nikmat sekaligus sakit di waktu yang bersamaan. Sungguh, aku tidak pernah tahu jika bersatu dengan Xaferius rasanya akan semenakjubkan
Kami sedang mengistirahatkan diri di atas sofa setelah permainan panjang dan panas itu berakhir selepas dini hari. Aku duduk di dalam pangkuannya sambil memeluk dada Xaferius yang selalu terasa nyaman, seolah-olah tubuhnya memang diciptakan untukku. Kami saling bertukar cerita dari hal-hal remeh hingga hal-hal di luar nalar yang terjadi selang beberapa waktu terakhir.“Apa kau sudah memutuskan nama toko bungamu?”“Belum. Maksudku, ada dua pilihan yang menjadi kandidat, tetapi aku masih belum memutuskan.”“Dua? Beritahu aku,” serunya antusias.“Berjanjilah untuk tidak menertawakannya.”Satu alis Xaferius terang