Aku sedang duduk di balkon sekarang—memandangi bulan yang naik lebih tinggi di ujung langit, sementara bintang bertaburan seperti batu permata. Xaferius baru saja selesai mengoleskan obat dengan jenis salep pada leherku, agak perih, tetapi memberikan efek dingin yang seketika menyirami kulitku yang tergores setelah beberapa menit berlalu. Bukan tipe luka yang serius, tetapi pria itu masih sangat marah.
Pertama kali datang, Xaferius terus menggertakkan giginya berulang kali dan menghancurkan dua buah guci bernilai fantastis di ruang tamu. Benda yang dibelinya secara khusus dari Negeri Tirai Bambu itu spontan pecah berkeping-keping, mengotori seluruh ruangan di lantai dasar. Dia melampiaskan emosinya pada barang malang itu—menyuruhku masuk ke kamar hingga perasaannya stabil, kemudian menyusul dan membantu membersihkan cedera yang kualami.
Aku tak bisa tidur—sungguh, hal sesederhana itu justru tak mampu kulakukan sekarang, seolah-olah memejamkan mata merupakan aktivitas yang berat untukku. Aku bukan tipikal orang yang suka begadang apalagi pengidap insomnia. Aku yakin Xaferius pun merasakan perihal yang sama dengan yang kurasakan.Jam dinding menunjuk ke angka tiga waktu dini hari, tetapi Xaferius juga masih belum kembali ke kamar. Ada rasa enggan yang memuncak di dadaku—aku tak ingin menyusul pria itu di ruang kerjanya atau ruang mini barnya hanya untuk melihatnya marah. Dia bukan Xaferius Black yang kukenal dalam kondisi itu.Aku beringsut ke samping ranjang yang menimbulkan bunyi gemeresik pendek, lantas duduk dan menyisir rambutku dengan jemari—memikirkan sesuat
Aku tertidur setelah pukul sembilan pagi—sendiri, Xaferius sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Kami berdua mendadak melakukan perang dingin—tanpa menyapa apalagi bicara. Durasi tidurku menjadi terpengaruh dan berantakan, aku terbangun dua jam kemudian karena hal yang sama; mimpi buruk.Aku pun beranjak dari ranjang, merendam tubuhku di bathub dan menolak semua pelayanan yang ditawarkan oleh para pelayan Xaferius—mengunci pintunya dari dalam agar mereka tak merecokiku dengan sejuta pertanyaan tentang jenis menu sajian apa yang ingin kumakan atau jenis pakaian apa yang ingin kukenakan, seolah-olah aku merupakan sang putri dari suatu negeri yang harus terus-menerus dilayani.Aku muak.
Aku selesai denganmu.Bagaimana aku sanggup dan otomatis berubah menjadi sekeji itu pada Xaferius? Apa aku justru menyesalinya sekarang? Aku meringkuk di balik dipan tipis yang menimbulkan suara derit panjang sesaat setelah aku menggerakkan salah satu kakiku—memeluk sekaligus mengutuk diriku sendiri; di toko bungaku.Berpisah dari Xaferius memang belum pernah tercetus dalam benakku—aku bahkan tak pernah membayangkan ada dunia yang lebih kelam dari duniaku sebelumnya—kehilangan orang tua di usia kanak-kanak. Kini aku memahami rasanya menjadi Aldrich yang merindukan Cattleya sepanjang waktu.Gelap.Hitam.
Jantungku seketika terasa mencelus ke rongga perut. Suara Aldrich terdengar seperti alunan musik yang paling ingin kuputar sekarang—menghalau kesepian yang telah meninggalkan jejaknya di seluruh sudut ruangan sejak perpisahanku dan Xaferius terjadi. Aku beranjak dari dipan yang lagi-lagi menjerit, seolah-olah mencegahku untuk beralih membuka pintunya.“Anna? Apa kau masih di sana? Bukalah, kumohon.”Sepasang kakiku berhenti melangkah—ragu-ragu, apa aku harus membiarkan Aldrich masuk dan melakukan sesuatu yang akan kusesali lagi? Rasa curigaku kembali mendominasi—mengapa pria itu mengunjungiku di waktu yang kurang tepat? Aku spontan menggeleng, lantas mencoba mengenyahkan segenap pikiran buruk yang muncul di dalam kepalaku—memutar kuncinya dan menarik kosen itu yang serta-merta membuatku menyaksikan
“Cium aku.”Aku terperangah, lantas membenturkan keningku pada pundak Aldrich sebab ukuran tubuhku memang hanya berkisar setinggi itu di hadapannya—berharap tindakan yang baru saja kulakukan dapat memberikan efek menyakitkan baginya. Namun, aku justru mencederai diriku sendiri. Aku mengaduh dan kepalaku mendadak jadi pening—astaga, mengapa tubuh pria itu seperti batu?“Apa yang kau lakukan?” tanya Aldrich—ekspresi wajahnya menahan geli.“Apa hanya itu yang ada di dalam otakmu? Mengapa kau tidak bisa mengontrol pikiranmu?” jeritku gusar sambil menggertakkan gigi padanya.“Bukankah aku pernah mengatakannya padamu, Anna? Aku selalu kehilangan kendali jika aku
“Demi Tuhan, kau manis sekali,” komentar Aldrich setelah melepaskan tautan bibir kami yang basah.“Apa itu cukup manis untuk membuatmu mabuk?”Aldrich memamerkan senyumnya—lebar dan ramah, “Sejak kapan kau jadi pintar menggoda? Apa keahlianmu berkembang sepesat itu dalam dua bulan terakhir?”“Anggap saja aku tipikal murid yang cepat belajar,” bisikku sambil menatap wajahnya.“Sayang sekali kau bukan milikku, Anna. Aku akan menyimpan seseorang sepertimu selamanya.”Selamanya.Aku lagi-la
Perbuatan kami semalam masih membekas di dalam pikiranku. Aldrich mahir menghabisi tenagaku dengan seluruh stamina yang dia punya—kami bahkan mengulangi aktivitas luar biasa itu hingga tiga kali. Sungguh, dia pria yang hebat. Aku tidak ingin membandingkan Aldrich atau Xaferius karena mereka punya nilainya masing-masing.Kini tubuh jahanamku menjadi lebih cepat beradaptasi pada ukuran Aldrich dan Xaferius, seolah-olah aku memang diciptakan untuk mereka—dua werewolf yang sama-sama mengisi hatiku dengan tiang neraca yang tak seimbang. Aku tahu aku terdengar serakah atau apa ada cap yang jauh lebih buruk dari itu? Aku akan menerimanya.Aldrich pergi pagi-pagi sekali, dia bermaksud menghindari fajar—meninggalkan aku yang masih merasa k
Aku berhasil melewati dua minggu tanpa Xaferius di sisiku—kondisi yang awalnya terasa mustahil, tetapi siapa yang menyangka bahwa aku mampu melalui seluruh prosesnya? Rasa patah hati yang hebat itu masih menggoresku hingga sekarang. Aku sudah mencoba menghalau bayang-bayang mate-ku sendiri, meskipun gagal—aku selalu menangis dan menyesali segenap tindakan bodohku. Ironis, bukan? Aku memang mendapatkan ‘hidup normal’ yang kuinginkan—berinteraksi dengan wajar seperti diriku yang dahulu, menjadi manusia yang bebas, dan sejumlah hal lain yang lumrah untuk dilakukan sebagai entitas tak abadi. Namun, mengapa aku justru merasa... kosong? Bukankah aku seharusnya merasa bahagia? Apa itu artinya keputusan yang kubuat salah?