Share

13. Pengakuan

last update Last Updated: 2022-02-06 00:23:35
“Kau! Silahkan pilih dari sekarang, kau ingin bangkaimu dibakar atau ditanam?” bentak Arya sambil menghunus anak panahnya ke arah pria yang kini segera menghentikan tawanya.

Seluruh prajurit panah seketika terdiam. Beberapa di antara mereka saling pandang. Pria yang mengolok-olok ibu dari Arya tadi sempat terdiam, namun ia melanjutkan lagi tawanya. Di susul rekan-rekan yang berada di dekatnya.

“Lihatlah, dia merajuk! Aku tak ingin dibakar atau di tanam, aku hanya ingin tidur di samping Ibumu!” Tawa pria itu semakin keras. Begitupun prajurit lainnya. Hanya ada beberapa prajurit yang menyadari bahwa ketua baru mereka sudah tersulut amarah.

Arya tak kuasa lagi menahan energi yang muncul dari dalam tubuhnya. Energi besar yang hadir seiring dengan memuncaknya amarah itu kini tanpa disadari sudah terkumpul di tangan kanannya. Tarikan tali busur itu menjadi begitu mantap dan bertenaga. Tak ada getaran yang biasa terjadi di lengan kiri.

Sesaat sebelum dilepaskan, ujung runcing anak panah i
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status