Dimas mengatur napas, lalu duduk bersila di depan Arga dan Ningsih. Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit keraguan yang tak bisa disembunyikan.> Dimas: “Sekarang kalian paham kenapa aku minta jangan buka mata? Di luar tadi… mereka bukan cuma sekadar gangguan. Itu para penjaga jalur keenam. Begitu mereka tahu keberadaan besi kuning ini, mereka akan terus mengejar.”Arga menatap benda itu. Besi kuning itu tak lebih besar dari kepalan tangan, bentuknya memanjang dengan permukaan kasar, tapi memancarkan cahaya keemasan samar yang terasa hidup.> Arga: “Kenapa… cuma aku yang bisa menyentuhnya, Mas?”Dimas menghela napas panjang, lalu menjawab lirih.> Dimas: “Karena jalur itu sudah memilihmu. Aku sendiri tak bisa memastikan kenapa, tapi setiap jalur memiliki penjaga kunci. Sejak kau kembali dari curug kembar… ada sesuatu yang tertinggal di tubuhmu. Energi dari sana menempel, membuatmu satu-satunya yang bisa mengangkat besi ini tanpa terbakar.”Ningsih menggenggam tangan Arga, wajahnya
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Kabut tipis menggantung di atas jalanan berbatu yang menuju bukit, membuat pandangan Arga dan Ningsih terbatas hanya beberapa meter ke depan. Mereka berjalan beriringan, Arga membawa sebuah tas kain yang berisi besi kuning, sedangkan Ningsih sesekali menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang mengikuti. > Ningsih: “Ga, rasanya kayak ada yang ngikutin…” Arga: “Aku juga ngerasain. Jangan berhenti jalan, Nis. Kita harus cepat sampai ke gubuk Dimas.” Suara hutan pagi itu aneh—tak ada kicau burung, hanya suara langkah kaki mereka yang menginjak dedaunan basah. Beberapa kali, Arga merasa tanah di bawahnya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan. Di tikungan terakhir sebelum bukit, angin tiba-tiba bertiup kencang, membawa aroma anyir yang membuat mereka spontan berhenti. Dari balik kabut, samar-samar terlihat bayangan sosok tinggi berdiri diam di tengah jalan. Bayangan itu tidak bergerak, tapi Arga mera
Sejak malam itu, Arga tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat siluet pintu yang sama—dua pohon dadap yang berdiri tegak, dan di antaranya sebuah celah gelap yang tampak berdenyut, seperti napas makhluk hidup. Pagi harinya, ia pergi ke rumah Dimas. Gubuk itu berdiri di bukit hutan karet, di bawah dua pohon beringin kembar yang seakan menjadi gerbang dunia sendiri. Dimas sudah menunggunya di serambi, seperti tahu Arga akan datang. > Arga: “Mas… makhluk itu bilang pintu berikutnya sudah menunggu. Maksudnya apa? Jalur keenam?” Dimas: “Semua jalur saling terhubung. Menutup satu bukan berarti akhir. Jalur keenam berbeda—lebih tua, lebih berbahaya. Kau tak bisa menutupnya dengan keris lagi.” Arga: “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Dimas: “Cari sumbernya. Jalur keenam punya penjaga, dan penjaga itu tidak bisa dilawan dengan senjata biasa.” Arga mengernyit. > Arga: “Siapa penjaganya?” Dimas tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah hutan, waja
Arga masih duduk di bale-bale rumahnya, pikiran berkecamuk memikirkan pertemuan tadi sore dengan penjaga Gong. Sosok tua itu berbicara pelan namun penuh tekanan, setiap kata seolah membawa bobot bertahun-tahun pengetahuan tentang batas dunia.> “Yang kamu lihat malam itu bukanlah makhluk biasa. Itu sisa dari apa yang sudah kamu lewati di Jalur Kelima. Gong ini… hanya bisa menjaga desa kalau pintunya tidak terbuka terlalu lama,” kata penjaga itu sambil menatap gong kuningan besar di balai desa.“Sekarang, ada yang sudah terlanjur keluar. Dan itu terikat padamu, Arga.”Arga hanya mengangguk, merasa darahnya berdesir.> “Kalau itu terikat padaku, berarti aku juga yang harus menahannya.”> “Benar. Tapi jangan berpikir kamu bisa melakukannya sendiri. Makhluk itu punya satu tujuan: mencari pintu baru. Kalau dia berhasil… semua yang kita kenal bisa hilang.”Malam itu, Arga pulang dengan kepala penuh beban. Di rumah, Ningsih sudah menunggu, wajahnya pucat.> “Mas… aku ngerasa ada yang aneh di
Pagi itu, suasana desa masih terasa berat. Arga duduk di beranda rumah neneknya, memandangi jalan setapak yang masih basah oleh embun. Semalam, tangan hitam itu hampir menerobos keluar dari jalur kelima, dan satu-satunya hal yang menghentikannya hanyalah dentang gong misterius.Ningsih muncul membawa dua cangkir teh hangat.> “kamu nggak tidur sama sekali ya, mas?”Arga menggeleng pelan.> “aku nggak bisa. Suara gong itu masih kedengeran di kepala ku. aku yakin, ada seseorang—atau sesuatu—yang nyelametin kita.”Tak lama kemudian, Pak Lebe datang. Wajahnya lebih kusut dari biasanya, matanya merah tanda kurang tidur. Ia duduk di kursi bambu di depan mereka dan langsung bicara tanpa basa-basi.> “Kita harus cari tau siapa yang mukul gong itu. Kalau dia benar-benar penjaga jalur, mungkin cuma dia yang bisa bantu kita nutup pintunya selamanya.”Arga menatap Pak Lebe serius.> “bapak punya petunjuk?”Pak Lebe menghela napas panjang.> “Sedikit. Ada cerita lama tentang seorang penjaga yang t
Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.> “Arrr… gaaa…”Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:> “Buka… jalan…”Tiba-ti