Pagi itu, Desa Kemuning diguyur hujan ringan. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut menggantung tipis di perbukitan, menyelimuti Curug Kembar dengan suasana muram. Warga desa sudah terbiasa dengan cerita-cerita menyeramkan tentang tempat itu, tapi tetap saja, para pendatang terus berdatangan. Terutama sejak foto-foto keindahan Curug Kembar viral di media sosial.
Salah satu dari mereka adalah seorang gadis muda bernama Laras, wisatawan dari kota yang baru dua hari menginap di homestay milik warga. Laras datang bersama dua temannya, dan pagi itu mereka memutuskan naik ke atas tebing air terjun untuk melihat pemandangan dari ketinggian. Walau sudah dilarang oleh warga, mereka tetap nekat. “Kita cuma sebentar, kok. Cuma selfie bentar di atas,” kata Laras sambil tertawa. Ia berdiri di pinggir tebing curug, dengan latar belakang air yang jatuh dari ketinggian. Temannya bersiap mengambil gambar. Tapi hanya dalam hitungan detik… Kreekk! Batu yang dipijak Laras retak. Ia sempat berteriak, tapi tubuhnya sudah melayang ke bawah, terhempas oleh gravitasi, menghantam bebatuan dan air curug yang deras. Suasana seketika berubah kacau. Teriakan panik menggema, dan warga yang mendengar kabar itu langsung bergegas ke lokasi. Tubuh Laras ditemukan sekitar dua jam kemudian, tersangkut di celah batu, wajahnya membiru, matanya terbuka seolah masih menyimpan rasa terkejut. Namun yang membuat warga paling merinding adalah posisi tubuh Laras. Tangan kirinya seperti menunjuk ke atas tebing… dan di ujung jari itu, warga yang melihat bersumpah mereka sempat melihat bayangan hitam berdiri di sana, diam saja. --- Kabar kematian Laras menyebar cepat. Arga dan Rino mendengarnya dari Pak Suraji, pemilik warung dekat kontrakan. "Sudah kubilang, jangan main-main ke curug itu. Apalagi kalau cuma mau cari foto!" kata Pak Suraji geram. Arga langsung merinding. Malam-malam tanpa tidur dan gangguan aneh di rumahnya semakin terasa nyata. Ia menatap Rino, yang wajahnya terlihat semakin pucat hari-hari ini. "Gue rasa ini semua ada hubungannya, Rin. Kita harus cari tahu lebih jauh soal curug itu," ucap Arga tegas. Rino menatapnya ragu. "Gue setuju, tapi lo harus siap, Ga. Kalau kita terusin, kita mungkin bakal lihat lebih dari sekadar bayangan atau bisikan..." Malam itu, setelah kejadian nahas yang merenggut nyawa Laras, suasana di Desa Kemuning berubah drastis. Warga yang biasanya masih nongkrong di pos ronda atau warung kopi hingga larut, kini memilih mengurung diri di rumah sejak matahari tenggelam. Bau kemenyan mulai tercium dari beberapa rumah, pertanda bahwa ketakutan lama kembali hidup. Arga dan Rino tak bisa tidur malam itu. Di kamar kontrakan mereka, cahaya remang lampu minyak tak sanggup menenangkan gelisah yang menyelimuti. “Lo denger itu, Ga?” bisik Rino. Arga menajamkan telinga. Suara seperti seseorang menyeret rantai dari arah belakang rumah. Disusul suara angin berdesir… atau bukan angin… tapi bisikan. Jelas sekali. "Pulangkan... pulangkan..." Rino mendadak mematung. “Itu… suara dari arah kebun karet, ya?” Tanpa pikir panjang, mereka berdua mengambil senter dan keluar. Mereka mengikuti suara itu, langkah demi langkah menuju kebun karet yang letaknya hanya sekitar lima puluh meter dari rumah. Pohon-pohon karet berdiri rapat, siluetnya bagai sosok-sosok berjubah hitam di tengah kegelapan. “Ga… itu… lo liat?” bisik Rino dengan suara bergetar. Di salah satu pohon karet tua, mengalir cairan merah pekat. Terlalu merah untuk jadi getah… dan terlalu kental. Seperti darah. Arga melangkah lebih dekat, dan saat senter menyorot ke batang pohon, ia terpaku. Di kulit batang pohon itu… tergores simbol aneh. Seperti mata terbuka, dikelilingi bentuk mirip lidah api. Tiba-tiba, Rino berteriak. “ARGA!!” Arga menoleh dan melihat sesosok bayangan besar berdiri di belakang Rino. Tinggi, berambut panjang, matanya merah menyala—tidak tampak wajahnya, hanya hitam gelap… tapi terasa seperti ditatap dari dalam neraka. Arga menarik tangan Rino dan mereka berlari sekuat tenaga. Suara tawa lirih dan derap langkah berat mengejar di belakang mereka. Daun-daun beterbangan, ranting patah. Dunia terasa seperti jungkir balik. Dan saat mereka hampir sampai ke jalan keluar kebun, tiba-tiba… BRAK! Rino terjatuh. Arga berhenti dan membalikkan badan, membantu Rino bangkit. Tapi saat itu juga, tangan pucat kurus menyergap dari balik semak dan mencengkeram kaki Rino. “LEPASIN!!” Rino menjerit, tendangannya membabi buta. Arga menarik sekuat tenaga. Dengan senter yang tersisa, ia hantamkan ke tangan itu. Suara mengerang parau menggema, dan tangan itu lenyap seketika, seperti kabut tersapu angin. Keduanya berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Napas tersengal, tubuh gemetar, keringat dingin mengalir di pelipis. Sesampainya di rumah, mereka mengunci semua pintu dan jendela. Tak satu pun dari mereka bicara hingga fajar menyingsing. --- Esok paginya, Arga duduk diam di depan rumah. Pikirannya berkecamuk. "Ada sesuatu yang menjaga tempat itu, Rin. Dan sekarang kita udah ganggu." Rino mengangguk lemah. “Gue rasa… kita harus cari tahu soal pusaka itu. Soal kenapa dulu curug itu dijaga.” Arga menatap jauh ke arah perkebunan karet. Di sanalah semuanya bermula. Dan di sanalah... rahasia tergelap Curug Kembar menanti mereka. Setelah matahari sepenuhnya terbit, Arga memberanikan diri kembali ke lokasi kejadian semalam. Rino masih belum sanggup, wajahnya pucat seperti kehilangan darah semalaman. Dengan senter kecil dan jantung berdebar, Arga melangkah pelan melewati kebun karet yang kini terlihat biasa saja di siang hari. Tak ada suara bisikan, tak ada tawa lirih. Tapi saat ia sampai di pohon yang mengeluarkan cairan aneh itu semalam, tubuhnya mendadak membeku. Di tanah, tepat di bawah batang pohon itu, tergurat kalimat yang sepertinya ditulis pakai darah kering: "Yang mengganggu akan ditandai. Yang kembali akan diambil." Arga mundur perlahan. Tapi saat menoleh, matanya membelalak—di telapak tangan kirinya, samar-samar muncul bekas goresan berbentuk simbol mata api… persis seperti yang terukir di batang pohon tadi malam. Tangannya bergetar hebat. "Rin… gue udah ditandai…" ---Pagi itu, desa kembali diselimuti kabut tebal. Udara dingin menembus kulit, membuat napas keluar seperti asap tipis. Arga berdiri di tepi jalan tanah, memandang ke arah hutan bambu yang menjulang bagai dinding raksasa. Ia merasa ada sesuatu yang berubah—tidak hanya pada alam, tapi juga di dalam dirinya. Dimas datang sambil membawa dua botol air dan sepotong roti singkong. “Kita nggak bisa nunggu sampai siang. Jalur air itu harus kita periksa sekarang. Kalau benar ada lorong yang tembus ke Gua Larung, kita harus tahu sebelum orang lain menemukannya,” katanya sambil menyerahkan satu botol ke Arga. Arga mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada hutan. “Kamu sadar nggak, Dim? Sejak malam terakhir kita ke gua itu… desa ini makin sepi. Banyak orang yang tiba-tiba pergi tanpa pamit.” Dimas menghela napas. “Aku dengar kabar… katanya mereka melihat sosok perempuan di tepi kebun bambu. Mukanya nggak kelihatan jelas. Tapi bajunya basah, seperti baru keluar dari sungai.” Arga terdiam. Di
Air setinggi lutut mengalir pelan di lorong sempit itu. Cahaya senter di tangan Dimas menari-nari di dinding batu yang licin dan lembab. Aroma kapur dan lumut memenuhi rongga hidung. Di belakangnya, Arga melangkah hati-hati, menggenggam besi kuning yang dibungkus kain putih."Jalan ini... rasanya nggak cuma gua biasa," gumam Arga."Ini bukan cuma gua, Ga," jawab Dimas lirih. "Orang-orang dulu nyebut tempat ini Gua Larung. Konon, ini jalur pelarungan benda-benda yang dianggap 'bernyawa'.""Kayak besi kuning ini?"Dimas mengangguk. "Dan benda-benda lain yang dulu dipakai buat nutup jalur-jalur gelap itu..."Mereka berjalan terus. Sesekali, arus kecil menyentuh kaki mereka seperti menyapa. Di dinding gua, ada bekas goresan—seperti simbol-simbol tua. Arga berhenti."Dim, kamu liat itu?"Dimas menyorot ke simbol itu. Garis melingkar dengan tiga titik di tengah."...Simbol Segel Bertiga," desis Dimas."Segel?""Jangan disentuh dulu. Bisa jadi ini gerbang..."Belum sempat Dimas menyelesaikan
Hujan tipis masih membasahi tanah ketika Arga berdiri di depan celah sempit yang menganga di lereng longsoran curug. Cahaya senter di tangannya menyorot dinding tanah yang berlumut, memperlihatkan jalur sempit yang seperti tak alami—bukan hasil longsor biasa. Lorong itu seperti... dibuat.“Mas… yakin mau masuk?” tanya Pak Rudi, tetua desa yang menemani.Arga mengangguk pelan. “Kalau memang itu jalur lama yang selama ini ditutup, bisa jadi itu yang menyebabkan semua gangguan ini muncul lagi.”Ia menoleh ke warga yang berkumpul.“Jangan ada yang ikut masuk. Kalau saya nggak keluar satu jam lagi, lapor ke Dimas.”Tanpa menunggu jawaban, Arga menunduk dan merayap masuk ke celah itu. Semakin dalam ia masuk, hawa di sekelilingnya terasa lembap dan berat. Aroma tanah tua dan akar basah memenuhi hidungnya. Tapi bukan itu yang membuat tubuhnya merinding.Ada… bisikan.Bukan suara. Tapi perasaan seolah ada yang berbicara langsung ke dalam pikirannya.> “Kau membuka jalan yang seharusnya tertutu
Sudah hampir dua bulan sejak longsor menutup akses ke Curug Kembar.Tanah yang dulu menjadi jalur masuk ke wilayah paling angker di desa itu kini dipenuhi batu besar, pohon tumbang, dan semak liar yang tumbuh cepat seperti dilahirkan dari rahim tanah itu sendiri. Tidak ada yang berani mendekat. Bahkan suara air terjun yang dulunya nyaring, kini terdengar seperti bisikan jauh—padam, sunyi, nyaris tak nyata.Arga tetap tinggal di desa. Ia lebih banyak diam. Mengurus kebun di belakang rumah, sesekali membantu warga yang datang minta tolong, atau sekadar duduk di beranda memandangi arah hutan. Ningsih tahu, pikirannya belum benar-benar tenang.Dan besi kuning itu… disimpan Arga dalam peti kecil kayu jati yang terkunci, diletakkan di bawah tempat tidurnya.Sejak malam ketika pohon dadap tumbang dan kolam tertutup longsoran, desa memang terasa tenang. Tapi Arga menyadari, bukan berarti semuanya berakhir. Bukan berarti tak ada yang tertinggal.Karena beberapa minggu terakhir, beberapa hal ga
Setelah peristiwa longsor besar yang menutup akses ke Curug Kembar, suasana desa perlahan berubah. Bukan menjadi mencekam, melainkan… tenang. Terlalu tenang. Tidak ada lagi suara-suara aneh di malam hari, tidak ada lagi pengunjung yang kesurupan atau jatuh sakit tiba-tiba saat pulang dari curug.Curug Kembar seolah benar-benar terkubur dalam, bersama segala rahasianya.Arga tetap tinggal di desa itu. Ia tidak pergi ke mana-mana. Setiap hari, ia membantu warga yang sedang berkebun, sesekali menengok sawah, atau mengurus ladang kecil di belakang rumah neneknya yang kini telah menjadi rumah barunya bersama Ningsih.Besi kuning—yang menjadi kunci dari semua kekacauan itu—ia simpan baik-baik. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dijaga. Tidak dalam lemari, tidak di tanah, tapi dibalut kain kafan tipis, diselipkan di ruang kecil bawah lantai kayu rumah, tempat hanya dia dan Dimas yang tahu.Beberapa warga masih membicarakan kejadian tempo hari. Tentang hujan deras, longsor besar, bahkan ad
Beberapa minggu setelah longsor besar menelan Curug Kembar, desa mulai pulih. Air yang sempat meluap kini sudah kembali ke aliran semula. Sawah-sawah yang sempat tergenang mulai menghijau lagi, dan suara anak-anak kembali terdengar di pematang. Seolah-olah bencana itu hanya sebuah kenangan buruk yang perlahan ingin dilupakan orang-orang. Namun, ada satu tempat yang tetap sepi: Curug Kembar. Jalur setapak yang dulu ramai kini tertutup lumpur dan batang-batang pohon tumbang. Kolam air terjun hampir rata dengan tanah longsoran. Dua pohon dadap yang dahulu berdiri kokoh, penanda jalur menuju dunia lain, kini hanya tinggal batang patah yang separuh terbenam di air. Tak seorang pun berani mendekat. Arga berdiri di tepi jalur itu suatu pagi, menatap reruntuhan dari jauh. Ada rasa lega bercampur getir di dadanya. Ia tahu, apa pun yang bersembunyi di balik curug itu kini terkubur selamanya. Tak ada lagi pintu, tak ada lagi suara dari balik kabut, dan tak ada lagi bayangan yang membayangi ti