Share

Korban Pertama

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-07 07:05:43

Pagi itu, Desa Kemuning diguyur hujan ringan. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut menggantung tipis di perbukitan, menyelimuti Curug Kembar dengan suasana muram. Warga desa sudah terbiasa dengan cerita-cerita menyeramkan tentang tempat itu, tapi tetap saja, para pendatang terus berdatangan. Terutama sejak foto-foto keindahan Curug Kembar viral di media sosial.

Salah satu dari mereka adalah seorang gadis muda bernama Laras, wisatawan dari kota yang baru dua hari menginap di homestay milik warga. Laras datang bersama dua temannya, dan pagi itu mereka memutuskan naik ke atas tebing air terjun untuk melihat pemandangan dari ketinggian. Walau sudah dilarang oleh warga, mereka tetap nekat.

“Kita cuma sebentar, kok. Cuma selfie bentar di atas,” kata Laras sambil tertawa.

Ia berdiri di pinggir tebing curug, dengan latar belakang air yang jatuh dari ketinggian. Temannya bersiap mengambil gambar. Tapi hanya dalam hitungan detik…

Kreekk!

Batu yang dipijak Laras retak. Ia sempat berteriak, tapi tubuhnya sudah melayang ke bawah, terhempas oleh gravitasi, menghantam bebatuan dan air curug yang deras.

Suasana seketika berubah kacau. Teriakan panik menggema, dan warga yang mendengar kabar itu langsung bergegas ke lokasi. Tubuh Laras ditemukan sekitar dua jam kemudian, tersangkut di celah batu, wajahnya membiru, matanya terbuka seolah masih menyimpan rasa terkejut.

Namun yang membuat warga paling merinding adalah posisi tubuh Laras. Tangan kirinya seperti menunjuk ke atas tebing… dan di ujung jari itu, warga yang melihat bersumpah mereka sempat melihat bayangan hitam berdiri di sana, diam saja.

---

Kabar kematian Laras menyebar cepat. Arga dan Rino mendengarnya dari Pak Suraji, pemilik warung dekat kontrakan.

"Sudah kubilang, jangan main-main ke curug itu. Apalagi kalau cuma mau cari foto!" kata Pak Suraji geram.

Arga langsung merinding. Malam-malam tanpa tidur dan gangguan aneh di rumahnya semakin terasa nyata. Ia menatap Rino, yang wajahnya terlihat semakin pucat hari-hari ini.

"Gue rasa ini semua ada hubungannya, Rin. Kita harus cari tahu lebih jauh soal curug itu," ucap Arga tegas.

Rino menatapnya ragu. "Gue setuju, tapi lo harus siap, Ga. Kalau kita terusin, kita mungkin bakal lihat lebih dari sekadar bayangan atau bisikan..."

Malam itu, setelah kejadian nahas yang merenggut nyawa Laras, suasana di Desa Kemuning berubah drastis. Warga yang biasanya masih nongkrong di pos ronda atau warung kopi hingga larut, kini memilih mengurung diri di rumah sejak matahari tenggelam. Bau kemenyan mulai tercium dari beberapa rumah, pertanda bahwa ketakutan lama kembali hidup.

Arga dan Rino tak bisa tidur malam itu. Di kamar kontrakan mereka, cahaya remang lampu minyak tak sanggup menenangkan gelisah yang menyelimuti.

“Lo denger itu, Ga?” bisik Rino.

Arga menajamkan telinga. Suara seperti seseorang menyeret rantai dari arah belakang rumah. Disusul suara angin berdesir… atau bukan angin… tapi bisikan. Jelas sekali.

"Pulangkan... pulangkan..."

Rino mendadak mematung. “Itu… suara dari arah kebun karet, ya?”

Tanpa pikir panjang, mereka berdua mengambil senter dan keluar. Mereka mengikuti suara itu, langkah demi langkah menuju kebun karet yang letaknya hanya sekitar lima puluh meter dari rumah. Pohon-pohon karet berdiri rapat, siluetnya bagai sosok-sosok berjubah hitam di tengah kegelapan.

“Ga… itu… lo liat?” bisik Rino dengan suara bergetar.

Di salah satu pohon karet tua, mengalir cairan merah pekat. Terlalu merah untuk jadi getah… dan terlalu kental. Seperti darah.

Arga melangkah lebih dekat, dan saat senter menyorot ke batang pohon, ia terpaku. Di kulit batang pohon itu… tergores simbol aneh. Seperti mata terbuka, dikelilingi bentuk mirip lidah api.

Tiba-tiba, Rino berteriak. “ARGA!!”

Arga menoleh dan melihat sesosok bayangan besar berdiri di belakang Rino. Tinggi, berambut panjang, matanya merah menyala—tidak tampak wajahnya, hanya hitam gelap… tapi terasa seperti ditatap dari dalam neraka.

Arga menarik tangan Rino dan mereka berlari sekuat tenaga. Suara tawa lirih dan derap langkah berat mengejar di belakang mereka. Daun-daun beterbangan, ranting patah. Dunia terasa seperti jungkir balik. Dan saat mereka hampir sampai ke jalan keluar kebun, tiba-tiba…

BRAK!

Rino terjatuh. Arga berhenti dan membalikkan badan, membantu Rino bangkit. Tapi saat itu juga, tangan pucat kurus menyergap dari balik semak dan mencengkeram kaki Rino.

“LEPASIN!!” Rino menjerit, tendangannya membabi buta.

Arga menarik sekuat tenaga. Dengan senter yang tersisa, ia hantamkan ke tangan itu. Suara mengerang parau menggema, dan tangan itu lenyap seketika, seperti kabut tersapu angin.

Keduanya berlari tanpa menoleh ke belakang lagi. Napas tersengal, tubuh gemetar, keringat dingin mengalir di pelipis. Sesampainya di rumah, mereka mengunci semua pintu dan jendela. Tak satu pun dari mereka bicara hingga fajar menyingsing.

---

Esok paginya, Arga duduk diam di depan rumah. Pikirannya berkecamuk.

"Ada sesuatu yang menjaga tempat itu, Rin. Dan sekarang kita udah ganggu."

Rino mengangguk lemah. “Gue rasa… kita harus cari tahu soal pusaka itu. Soal kenapa dulu curug itu dijaga.”

Arga menatap jauh ke arah perkebunan karet. Di sanalah semuanya bermula. Dan di sanalah... rahasia tergelap Curug Kembar menanti mereka.

Setelah matahari sepenuhnya terbit, Arga memberanikan diri kembali ke lokasi kejadian semalam. Rino masih belum sanggup, wajahnya pucat seperti kehilangan darah semalaman.

Dengan senter kecil dan jantung berdebar, Arga melangkah pelan melewati kebun karet yang kini terlihat biasa saja di siang hari. Tak ada suara bisikan, tak ada tawa lirih. Tapi saat ia sampai di pohon yang mengeluarkan cairan aneh itu semalam, tubuhnya mendadak membeku.

Di tanah, tepat di bawah batang pohon itu, tergurat kalimat yang sepertinya ditulis pakai darah kering:

"Yang mengganggu akan ditandai. Yang kembali akan diambil."

Arga mundur perlahan. Tapi saat menoleh, matanya membelalak—di telapak tangan kirinya, samar-samar muncul bekas goresan berbentuk simbol mata api… persis seperti yang terukir di batang pohon tadi malam.

Tangannya bergetar hebat.

"Rin… gue udah ditandai…"

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Batas yang Tak Terlihat

    Langkah Rino terhenti di depan dua pohon beringin raksasa yang saling melilit akar. Di antara celahnya, tampak gelap dan dalam—seolah mulut dunia lain tengah menganga.Ia siramkan air kendi seperti perintah si perempuan tua.Celah itu perlahan terbuka, tanpa suara, tanpa cahaya—hanya kegelapan murni yang terasa mengisap keberanian.Dengan napas tertahan, Rino melangkah masuk.Seketika, hawa berubah. Dingin menusuk, tapi tidak membeku. Hening, tapi tidak damai. Yang terdengar hanya derit dedaunan dan gemerisik langkahnya sendiri.Tak ada cahaya aneh.Tak ada sosok berjubah.Tak ada suara gamelan.Hanya lorong panjang dari pepohonan yang membentuk lengkungan sempurna di atas kepala, seperti terowongan alami yang tumbuh sendiri. Kabut tipis menyelimuti tanah, dan sinar remang-remang entah dari mana menerangi jalan kecil di depannya.Rino berjalan pelan, matanya awas ke segala arah.Semakin dalam ia melangkah, semakin sunyi suasananya. Suara jangkrik pun lenyap. Tak ada burung. Tak ada an

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Tak Pernah Kembali

    Seseorang menyeret tubuh Rino dari tanah hutan yang lembap. Tangan kurus namun kuat mencengkeram pergelangan tangannya, lalu membawanya menjauh dari batu besar di antara dua pohon dadap itu. Suara gamelan sudah lenyap, angin pun berhenti, seolah semua kembali normal. Rino membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Bau kemenyan yang samar tercium dari ujung hidungnya. Suara pelan dan bergetar membangunkannya: “Alhamdulillah… dia masih hidup.” Tiga orang berdiri di sekelilingnya. Mbah Rekso, Pak Dargo si penjaga curug, dan satu orang tak dikenal—lelaki tua dengan ikat kepala kain mori dan mata cekung menatap tajam. “Kalian sudah melewati batas... nyaris tidak kembali,” gumam lelaki tua itu. Suaranya berat, seperti keluar dari dalam gua. Rino mencoba duduk. Kepala masih berdenyut. “Arga… temen saya... dia—dia hilang…” Mbah Rekso menghela napas panjang. Ia mengambil kantong kain dari sakunya, lalu menaburkan serbuk putih ke tanah. “Kamu lihat sendiri tadi. Batu itu... bukan seka

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Jejak yang Hilang

    Pagi itu langit mendung, seperti ikut menyimpan rahasia dari malam yang mencekam. Arga dan Rino hampir tidak tidur semalaman. Mata mereka merah, kepala berat, tapi rasa penasaran jauh lebih kuat dari rasa takut yang menghantui. “Aku nggak bisa diem aja, Rin. Kayaknya kita harus ke hutan belakang curug itu,” ucap Arga pelan, tapi tegas. Rino menatapnya dengan ragu. “Lo waras, Ga? Habis diganggu gitu, malah mau ke tempat yang lebih angker?” “Ada yang aneh. Semua ini nggak sekadar mitos. Cewek yang semalam itu... dia bukan cuma penampakan. Dia nyari sesuatu. Atau... nyari seseorang.” Rino akhirnya mengangguk, meski wajahnya penuh keraguan. Mereka memutuskan berangkat siang itu, membawa senter, kamera, dan kemenyan dari mbah Rekso—yang menurutnya bisa sedikit “menenangkan” jalur menuju hutan itu. Saat kaki mereka mulai menapaki jalan setapak di sisi curug, udara berubah lebih dingin dari biasanya. Suara air terjun terdengar, tapi seperti teredam. Beberapa warga yang sedang melintas m

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Hawa Tidak Biasa

    Desa Kemuning berubah.Tak ada lagi suara ceria anak-anak bermain di sore hari. Burung-burung tak lagi bersiul dari dahan. Bahkan, jangkrik pun seperti ikut bungkam. Sejak kejadian aneh di Curug Kembar yang menimpa Arga dan Rino, suasana desa seperti diliputi kabut tipis yang tak kasat mata, tapi bisa dirasakan—menyesakkan dada dan membuat bulu kuduk terus berdiri.Langit selalu mendung, bahkan saat matahari seharusnya bersinar terang. Warga mulai resah, terutama setelah kejadian aneh mulai bermunculan.Ternak milik Pak Surip ditemukan mati mendadak, matanya terbuka lebar seolah melihat sesuatu sebelum ajal menjemput. Tubuhnya kaku, tapi tidak ada luka sedikit pun. Di tanah kandang, terlihat bekas telapak kaki besar dengan jari-jari panjang dan dalam—bukan milik manusia atau hewan biasa.Lalu, Bu Ratmi, tetangga Arga, mendadak kerasukan saat sedang menanak nasi. Ia berteriak-teriak dengan suara berat dan kasar, “Gerbang sudah dibuka… bendera telah ditegakkan… tak bisa ditutup lagi!”S

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tanda-Tanda

    Pagi itu Desa Kemuning tak seperti biasanya. Udara yang biasanya segar dan tenang mendadak terasa berat, seolah ada sesuatu yang menggantung di langit. Beberapa warga mulai mengeluhkan mimpi-mimpi aneh—tentang orang-orang berwajah datar berdiri di pinggir curug, atau suara perempuan menangis dari balik pepohonan. Warung Bu Ning sepi. Biasanya tempat itu jadi pusat keramaian warga selepas subuh, tapi pagi ini hanya ada dua orang tua duduk diam sambil sesekali melirik ke luar. Anak-anak dilarang bermain jauh, terutama ke arah Curug Kembar. Ibu-ibu mulai menyimpan garam di depan pintu, dan beberapa rumah bahkan menggantungkan daun kelor kering di atas jendela. “Ini bukan hal biasa,” gumam Mbah Rekso pelan saat Arga menemuinya pagi itu. Suaranya parau dan wajahnya semakin muram. Arga mengangguk. “Ada yang berubah, Mbah. Semalam… saya melihat sesuatu. Tiang bendera… lambang kerajaan…” Mbah Rekso menatap Arga dalam-dalam. “Kau sudah melihatnya. Itu bukan sekadar penglihatan, itu peringa

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Mereka yang Mengawasi

    Langit pagi itu tampak muram. Kabut tipis menyelimuti perbukitan dan hawa dingin seperti merayap masuk ke sela-sela tulang. Arga dan Rino berdiri di depan jalan setapak menuju Curug Kembar. Meski matahari belum tinggi, suasana sudah terasa berat. "Kita beneran mau masuk sekarang?" tanya Rino pelan, matanya memandang ke arah pohon-pohon tinggi yang berdiri seperti penjaga. Arga mengangguk mantap. “Kita udah terlalu jauh, Rin. Lagian aku ngerasa… kita memang harus ke sini.” Dengan langkah hati-hati, mereka mulai menyusuri jalur tanah yang lembab. Suara burung dan dedaunan basah menemani langkah mereka, tapi entah kenapa... terdengar seperti bisikan samar yang datang dari balik pepohonan. Sesampainya di area curug, suara gemuruh air terdengar jelas. Air terjun itu jatuh dari dua sisi batuan yang kokoh, membentuk kolam bening di bawahnya. Tapi hari itu, airnya tampak agak kehijauan—seolah ada cahaya samar dari dasar kolam. Rino menyalakan kamera, merekam suasana sekitar. Tapi tiba-ti

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Rahasia yang Menyimpan Nyawa

    Langit desa Kemuning mendung sejak pagi. Udara lembap, angin dingin meniup dedaunan kering yang jatuh satu-satu seperti firasat akan datangnya peristiwa besar. Arga masih terduduk di teras rumahnya, memandangi arah bukit tempat Curug Kembar berada. Semakin banyak kejadian di sana, semakin dalam rasa penasarannya.“Lo masih mikirin curug itu, Ga?” tanya Rino sambil menyeruput kopi hitam yang baru saja dia buat.Arga mengangguk pelan. “Gue yakin, tempat itu bukan sekadar air terjun biasa, Rin. Ada sesuatu di sana… sesuatu yang dari dulu udah diem, tapi sekarang mulai bergerak lagi.”Rino menoleh dengan tatapan serius. “Lo tahu nggak, dari dulu orang-orang desa tuh udah nggak berani main ke sana, apalagi malem-malem. Bahkan pas siang aja, warga jarang yang berani deketin curug kalau sendirian.”“Gue denger itu,” Arga membalas. “Waktu kecil, nenek gue pernah cerita. Katanya dulu ada yang ilang di sana, nggak pernah ketemu sampai sekarang. Ada juga yang kesurupan atau pulang dengan kondisi

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tujuh Hari Tertelan Air

    Hujan rintik membasahi desa Kemuning sejak pagi. Kabut menggantung rendah, menyelimuti pepohonan dan menyusup hingga ke sela-sela rumah warga. Aroma tanah basah berpadu dengan dingin yang menggigit, menciptakan suasana yang murung dan penuh ketegangan.Sudah seminggu berlalu sejak kejadian jatuhnya pemuda dari tebing Curug Kembar. Warga belum sempat benar-benar pulih dari rasa takut saat kabar baru kembali mengguncang.Seorang gadis muda, bernama Sinta, dinyatakan hilang setelah berkunjung ke Curug Kembar bersama dua temannya. Mereka bertiga awalnya hanya ingin menikmati air terjun dan berfoto. Tapi ketika hari mulai gelap dan mereka hendak pulang, Sinta tidak terlihat lagi. Teman-temannya mencari, memanggil, bahkan kembali menyusuri aliran air... tapi hasilnya nihil.“Sumpah, Pak! Dia ada di belakang kami waktu itu! Baru beberapa detik kami menoleh, dia sudah gak ada!” seru salah satu temannya saat laporan dibuat di balai desa.Warga segera menggelar pencarian. Tim SAR lokal, dibantu

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tanda yang Tak Bisa Hilang

    Setelah kejadian semalam, Rino memilih untuk tidak kembali ke lokasi curug. Ia bilang kepalanya masih pusing, tapi Arga tahu, temannya itu sedang dilanda ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.Sementara itu, bekas goresan di telapak tangan Arga tidak hilang. Ia sudah mencoba mencuci, menggosok pakai sabun, bahkan merendam dengan air hangat. Tapi simbol mata api itu tetap terlihat samar, seperti terukir di bawah kulitnya.Pagi itu, Arga memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Jatmiko, juru kunci curug sekaligus tokoh tua yang dianggap mengerti soal hal-hal gaib di Desa Kemuning.“Pak, saya mau tanya soal pohon karet yang getahnya merah dan tentang tanda ini,” ucap Arga sambil menunjukkan telapak tangannya.Pak Jatmiko terdiam. Matanya langsung tertuju ke simbol di tangan Arga, dan wajahnya berubah serius.“Kowe wes ditandai, Le…” gumamnya pelan. “Tandha kuwi bukan sekadar goresan. Kuwi pertanda yen kowe wis nyenggol wilayah sing ora kowe pahami.”Arga menarik napas dalam. “Apa maksudnya,

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status