Share

Langkah Menuju Gerbang

Author: Kelaras ijo
last update Huling Na-update: 2025-07-14 07:38:52

Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasanya.

Langkah kaki Arga terasa berat saat berjalan ke sawah yang biasanya jadi tempat neneknya memetik sayur.

Tak ada suara ayam. Tak ada suara warga.

Hanya desis angin yang seolah berbisik di antara dedaunan basah.

> “Kita makin dekat,” suara lirih itu muncul lagi di kepalanya.

“Gerbang sudah siap… tinggal kamu yang belum.”

Arga menggeleng keras, menutup telinganya. Tapi suara itu tak mau pergi. Ia mencoba melawan, mencoba kembali ke rutinitas... tapi semua terasa ganjil. Bahkan, senyum tetangga pun kini terlihat seperti topeng yang memaksa.

---

Siangnya, Arga duduk bersama Pak Lebe dan Ningsih di serambi. Mereka menatap peta tua yang digambar ulang dari isi kitab warisan. Di sana terlihat jalur-jalur halus yang membentuk simbol besar—sebuah pola yang jika disambungkan dengan letak dua pohon dadap dan curug kembar, membentuk mata tertutup.

> “Ini bukan cuma tempat keramat,” kata Pak Lebe pelan.

“Ini penutup. Segel. Dan tanda di tubuhmu itu...
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Teringgal

    Sudah tiga minggu berlalu sejak malam itu. Desa kembali tenang. Curug kembar kini ditutup permanen. Para tetua desa membuat pagar keliling dari batu dan kayu, serta melantunkan doa setiap malam Jumat Kliwon. Tapi ketenangan luar... tidak selalu mencerminkan kedamaian dalam jiwa. Arga duduk di beranda rumah neneknya. Sinar matahari sore mengintip di balik awan. Burung-burung bersahutan. Tapi dalam kepalanya, suara-suara dari malam itu masih bergema. > “Ga… jagain pintunya…” Kalung Rino sudah tak ada. Hancur bersama gerbang yang kini tertutup. Tapi kadang, Arga masih terbangun tengah malam, merasa seperti ada yang duduk di ujung tempat tidurnya. Ia menatap kosong ke arah curug, meski dari sini tak terlihat. Tapi ada ikatan yang tak bisa dijelaskan… seperti sebagian dari dirinya masih tertinggal di balik dua pohon dadap itu. Ningsih datang membawa teh hangat. > “Masih kebayang ya?” tanyanya lembut. Arga mengangguk pelan. “Gak akan bisa hilang, Ning. Tapi gue harus terus hidup. It

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Tiga Malam Penentu

    Malam pertama turun dengan hawa yang ganjil. Udara terasa berat dan lengket, seperti ada sesuatu di udara yang tak kasatmata. Warga desa mulai gelisah. Anak-anak menangis tanpa sebab, binatang peliharaan menolak makan, dan burung hantu terdengar terus bersahutan… dari arah curug.Arga duduk di beranda rumah neneknya, memegang kalung Rino yang tak lagi bersinar. Ningsih menemaninya, sesekali memandang ke luar dengan cemas.> “Kamu yakin mau hadapi ini sendirian, Ga?” tanya Ningsih lirih.> “Gak ada yang bisa gantiin tempatku, Ning… semua ini karena aku ikut buka jalur itu dulu…”Suara petir tiba-tiba menggema, padahal langit tak berawan. Tanah bergetar sedikit. Dan dari arah jalan masuk desa, terdengar suara sepatu berjalan pelan.Pak Lebe muncul dengan wajah letih. Tapi ada sesuatu di belakangnya—seorang lelaki asing, berjubah hitam dengan ikat kepala kain putih. Tatapannya tajam, dan tubuhnya tinggi tegap. Tangannya menggenggam tongkat kayu.> “Ini… Ki Jatmadra,” ujar Pak Lebe. “Sala

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Langkah Menuju Gerbang

    Pagi itu kabut turun lebih tebal dari biasanya.Langkah kaki Arga terasa berat saat berjalan ke sawah yang biasanya jadi tempat neneknya memetik sayur.Tak ada suara ayam. Tak ada suara warga.Hanya desis angin yang seolah berbisik di antara dedaunan basah.> “Kita makin dekat,” suara lirih itu muncul lagi di kepalanya.“Gerbang sudah siap… tinggal kamu yang belum.”Arga menggeleng keras, menutup telinganya. Tapi suara itu tak mau pergi. Ia mencoba melawan, mencoba kembali ke rutinitas... tapi semua terasa ganjil. Bahkan, senyum tetangga pun kini terlihat seperti topeng yang memaksa.---Siangnya, Arga duduk bersama Pak Lebe dan Ningsih di serambi. Mereka menatap peta tua yang digambar ulang dari isi kitab warisan. Di sana terlihat jalur-jalur halus yang membentuk simbol besar—sebuah pola yang jika disambungkan dengan letak dua pohon dadap dan curug kembar, membentuk mata tertutup.> “Ini bukan cuma tempat keramat,” kata Pak Lebe pelan.“Ini penutup. Segel. Dan tanda di tubuhmu itu...

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Yang Membuka, Tak Pernah Berniat Menutup"

    Pagi itu kelabu. Kabut masih menyelimuti desa meski matahari sudah naik. Arga berdiri di belakang rumah, menatap sumur tua yang kini terlihat seperti mulut yang menunggu mangsanya.Di sampingnya, Pak Lebe berdiri dengan wajah muram. Ia membawa segenggam garam dan segelas air yang telah didoakan semalaman.> “Kita bisa tutup sementara. Tapi ingat, ini hanya untuk melambatkan. Bukan menghentikan,” katanya.Arga mengangguk. Tapi dalam hati, ada rasa tidak tenang. Semalam ia tak bisa tidur. Kalung Rino sempat menyala lagi. Dan… ia mendengar seseorang memanggil namanya dari bawah tanah.Saat mereka mulai melakukan ritual kecil penutup, Ningsih muncul membawa selembar kain lusuh yang ditemukan di belakang dapur. Kain itu basah, seperti habis direndam.Arga menatapnya heran.> “Aku nemu ini nyangkut di bambu belakang… pas aku tarik, baunya nyengat banget. Tapi lihat, Ga…”Kain itu ternyata berisi simbol. Bukan tulisan Jawa kuno, bukan huruf Arab, tapi seperti lingkaran penuh mata, dan di ten

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Sumur yang Tidak Lagi Menyimpan Air

    Malam itu, hujan turun gerimis. Udara dingin menyusup ke tulang. Di langit desa, bulan nyaris tak terlihat, seolah malu menyaksikan apa yang sedang terjadi.Pak Lebe duduk di ruang tamu dengan wajah gelisah. Arga dan Ningsih duduk di depannya, mendengarkan cerita dari seorang warga bernama Mang Sarto—warga yang tadi sore mengaku melihat Pak Raji… tapi dalam wujud yang tak lagi manusia.> “Saya mau ambil air di sumur tua, Pak… yang deket kebun jati itu. Pas nyenter ke dalam, saya liat ada sosok berdiri di dasar sumur. Dia ngeliatin saya. Bajunya sobek-sobek… dan… wajahnya, Pak… kayak kulitnya nempel tulang.”> “Kamu yakin itu Pak Raji?” tanya Pak Lebe, mencoba tetap tenang.> “Sumpah demi Allah, saya kenal betul raut mukanya. Tapi yang saya lihat itu bukan beliau… itu kayak… ‘sisanya’.”Arga langsung berdiri. “Kita harus ke sana, Pak.”> “Jangan malam ini,” cegah Pak Lebe. “Sumur itu udah gak dipakai bertahun-tahun. Dulu… pernah ada yang jatuh ke dalam, dan sejak itu sumur itu ditutup

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Jejak yang Tak Bisa Dihapus

    Malam itu, Arga kembali tidur di rumah neneknya. Meski tubuhnya lelah, matanya sulit terpejam. Setiap kali ia menutup mata, ada suara-suara aneh di telinganya. Bukan bisikan… lebih seperti desiran air dan dengungan jauh, seolah ia masih dekat dengan Curug Kembar, padahal sudah jauh dari sana.Di sisi lain, Ningsih tidur di ruang tamu, dibungkus selimut tebal. Tapi matanya juga terbuka, menatap langit-langit rumah yang gelap. Di luar, angin malam kembali berhenti.Dan pada pukul 2.13 dini hari, Arga terbangun karena bau tanah basah yang menyengat.Ia menoleh ke jendela. Embun menempel tipis di kaca. Tapi bukan itu yang membuatnya mendadak duduk tegak. Di luar jendela, samar-samar… ada jejak kaki. Tapi anehnya, bukan dari luar masuk—melainkan dari dalam kamar menuju ke luar.> “Apa gue jalan dalam tidur…?” gumamnya.Ia turun dari tempat tidur, melangkah perlahan, membuka jendela dan menelusuri jejak itu dengan senter kecil.Jejak itu memanjang, menurun ke arah jalan belakang rumah… lalu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status