Share

Yang Mengikuti Mu Pulang 2

Penulis: Kelaras ijo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-03 06:15:31

Tubuh Arga mendadak terasa ringan, seperti ditarik dari dalam lumpur pekat. Cahaya merah menyala di ujung pandangannya, samar… tapi cukup kuat untuk membuat makhluk-makhluk hitam itu meraung dan mundur.

“ARGA!” suara Rino terdengar dari kejauhan, putus asa tapi penuh semangat.

Tiba-tiba genggaman tangan terasa di pergelangan Arga. Rino—dengan mata merah dan keringat dingin—berhasil menjangkau temannya, menariknya dari jurang kegelapan.

Dengan satu hentakan kuat, keduanya jatuh terguling ke tanah yang kini kembali padat dan terang oleh cahaya fajar.

Hening.

Hutan yang tadi hitam dan penuh kabut kini sunyi… terlalu sunyi.

Mereka saling pandang. Nafas memburu. Tubuh gemetar.

Tapi saat Arga hendak bicara, tanah di belakang mereka retak. Sebuah tangan panjang berkulit pucat menjulur dari celah tanah—diikuti senyum menyeringai yang sama seperti yang dilihat Arga di kota lelembut.

“Mereka belum selesai sama kita, bro…” ucap Rino lirih.

Langit yang tadi biru kembali menggelap pelan,
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Besi Kuning dan Benteng Gaib

    Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Kabut tipis menggantung di atas jalanan berbatu yang menuju bukit, membuat pandangan Arga dan Ningsih terbatas hanya beberapa meter ke depan. Mereka berjalan beriringan, Arga membawa sebuah tas kain yang berisi besi kuning, sedangkan Ningsih sesekali menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang mengikuti. > Ningsih: “Ga, rasanya kayak ada yang ngikutin…” Arga: “Aku juga ngerasain. Jangan berhenti jalan, Nis. Kita harus cepat sampai ke gubuk Dimas.” Suara hutan pagi itu aneh—tak ada kicau burung, hanya suara langkah kaki mereka yang menginjak dedaunan basah. Beberapa kali, Arga merasa tanah di bawahnya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan. Di tikungan terakhir sebelum bukit, angin tiba-tiba bertiup kencang, membawa aroma anyir yang membuat mereka spontan berhenti. Dari balik kabut, samar-samar terlihat bayangan sosok tinggi berdiri diam di tengah jalan. Bayangan itu tidak bergerak, tapi Arga mera

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Jejak Menuju Jalur Keenam

    Sejak malam itu, Arga tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat siluet pintu yang sama—dua pohon dadap yang berdiri tegak, dan di antaranya sebuah celah gelap yang tampak berdenyut, seperti napas makhluk hidup. Pagi harinya, ia pergi ke rumah Dimas. Gubuk itu berdiri di bukit hutan karet, di bawah dua pohon beringin kembar yang seakan menjadi gerbang dunia sendiri. Dimas sudah menunggunya di serambi, seperti tahu Arga akan datang. > Arga: “Mas… makhluk itu bilang pintu berikutnya sudah menunggu. Maksudnya apa? Jalur keenam?” Dimas: “Semua jalur saling terhubung. Menutup satu bukan berarti akhir. Jalur keenam berbeda—lebih tua, lebih berbahaya. Kau tak bisa menutupnya dengan keris lagi.” Arga: “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Dimas: “Cari sumbernya. Jalur keenam punya penjaga, dan penjaga itu tidak bisa dilawan dengan senjata biasa.” Arga mengernyit. > Arga: “Siapa penjaganya?” Dimas tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah hutan, waja

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Bayangan dari Jalur Kelima

    Arga masih duduk di bale-bale rumahnya, pikiran berkecamuk memikirkan pertemuan tadi sore dengan penjaga Gong. Sosok tua itu berbicara pelan namun penuh tekanan, setiap kata seolah membawa bobot bertahun-tahun pengetahuan tentang batas dunia.> “Yang kamu lihat malam itu bukanlah makhluk biasa. Itu sisa dari apa yang sudah kamu lewati di Jalur Kelima. Gong ini… hanya bisa menjaga desa kalau pintunya tidak terbuka terlalu lama,” kata penjaga itu sambil menatap gong kuningan besar di balai desa.“Sekarang, ada yang sudah terlanjur keluar. Dan itu terikat padamu, Arga.”Arga hanya mengangguk, merasa darahnya berdesir.> “Kalau itu terikat padaku, berarti aku juga yang harus menahannya.”> “Benar. Tapi jangan berpikir kamu bisa melakukannya sendiri. Makhluk itu punya satu tujuan: mencari pintu baru. Kalau dia berhasil… semua yang kita kenal bisa hilang.”Malam itu, Arga pulang dengan kepala penuh beban. Di rumah, Ningsih sudah menunggu, wajahnya pucat.> “Mas… aku ngerasa ada yang aneh di

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain    Tiga Pilihan di Bawah Beringin Kembar

    Pagi itu, suasana desa masih terasa berat. Arga duduk di beranda rumah neneknya, memandangi jalan setapak yang masih basah oleh embun. Semalam, tangan hitam itu hampir menerobos keluar dari jalur kelima, dan satu-satunya hal yang menghentikannya hanyalah dentang gong misterius.Ningsih muncul membawa dua cangkir teh hangat.> “kamu nggak tidur sama sekali ya, mas?”Arga menggeleng pelan.> “aku nggak bisa. Suara gong itu masih kedengeran di kepala ku. aku yakin, ada seseorang—atau sesuatu—yang nyelametin kita.”Tak lama kemudian, Pak Lebe datang. Wajahnya lebih kusut dari biasanya, matanya merah tanda kurang tidur. Ia duduk di kursi bambu di depan mereka dan langsung bicara tanpa basa-basi.> “Kita harus cari tau siapa yang mukul gong itu. Kalau dia benar-benar penjaga jalur, mungkin cuma dia yang bisa bantu kita nutup pintunya selamanya.”Arga menatap Pak Lebe serius.> “bapak punya petunjuk?”Pak Lebe menghela napas panjang.> “Sedikit. Ada cerita lama tentang seorang penjaga yang t

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Gong Penjaga Jalur

    Malam itu, langit gelap tanpa bulan. Rumah nenek Arga terasa sesak, udara di dalamnya seolah membeku. Arga berbaring dengan mata terpejam, mencoba tidur, tapi rasa gelisahnya tidak hilang. Di sampingnya, Ningsih sudah tertidur pulas, wajahnya tenang—tidak seperti yang ia rasakan.Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari luar jendela. Suara seperti bisikan, memanggil namanya dengan nada panjang.> “Arrr… gaaa…”Arga membuka mata. Jantungnya berdentum cepat. Ia bangkit perlahan, mengambil keris yang selalu ia letakkan di dekat bantal. Cahaya lampu minyak temaram menerangi ruangan, tapi sudut-sudutnya terasa lebih gelap dari biasanya.Ia mendekati jendela. Tidak ada apa-apa di luar, hanya halaman rumah dan pepohonan yang bergoyang pelan. Namun saat ia menatap lebih lama, ia melihat sesuatu: tanah di bawah pohon rambutan kembali bergeser, seperti ada yang merangkak keluar dari dalamnya.Arga mundur beberapa langkah. Suara itu terdengar lagi, lebih dekat, lebih jelas:> “Buka… jalan…”Tiba-ti

  • Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain   Keluar dari Jalur Keenam

    Arga, Ningsih, dan Pak Lebe akhirnya berhasil melewati lorong gelap jalur keenam. Tangan-tangan hitam yang tadi meraih mereka menghilang begitu saja ketika cahaya kebiruan dari keris Arga semakin terang, membentuk semacam perisai di sekeliling mereka. Dengan napas terengah-engah, mereka bertiga akhirnya keluar dari lorong sempit itu. Udara berubah—lebih hangat, lebih nyata. Di hadapan mereka terhampar hutan biasa, basah oleh embun malam. Tidak ada lagi langit kelabu, tidak ada lagi bisikan yang meracuni pikiran. Ningsih terduduk di tanah, memeluk lututnya sambil menangis pelan. “Aku… aku pikir kita nggak bakal bisa keluar.” Arga berjongkok di sampingnya, mengusap punggungnya. “Kita sudah di luar. Sudah selesai. Jalur itu sudah kita lewati.” Pak Lebe berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah hutan dengan wajah serius. “Tidak, ini belum selesai,” katanya pelan. “Jalur keenam hanya satu dari banyak gerbang. Setiap kali kita menutup satu, yang lain akan mencari celah untuk terbuk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status