“Kamu cari siapa?”
“Mobilku ke mana??”
Wajah Ran terlihat panik saat melihat mobil dan supirnya sudah tidak ada di halaman panti ini. Wanita ini mengedarkan pandangan ke segala penjuru halaman. Hanya ada mobil Aryan yang berada tak jauh di tempatnya berdiri saat ini.
Pergerakannya terhenti saat mendengar kekehan geli di belakangnya.
Ran membalikkan tubuh, lalu menatap sengit pria yang paling ingin dia hindari saat ini. “Kenapa kamu tertawa?!” tanya Ran tak suka.
“Pak Kirman udah aku suruh pulang.”
“A—apa??? Kenapa kamu lancang sekali sih?!” pekik Ran heboh.
“Lancang apanya?”“Lancang memerintah Pak Kirman buat pulang! Kamu mau mengerjaiku ya?! Sekarang bagaimana aku bisa pulang, hah?!” delik Ran penuh amarah ke arah pria di depannya ini.“Ah sial!” umpat wanita ini sambil membalikkan tubuh, karena tak ingin m
“Mau ke mana kamu?!”Ran berjengit saat Aryan tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya dengan wajah kesal. Pria itu berkacak pinggang. Matanya melotot galak.“Ka-kamu???”“Iya, aku.”“Kamu..kamu bukannya tadi pergi?”“Hm..ada pemotretan, dan udah selesai dari dua jam yang lalu.”Ran menghindari tatapan Aryan yang masih menatapnya galak. Tak ada senyum di bibir pria ini, membuat Ran salah tingkah sendiri. Wanita ini menutup mata dan memaki diri sendiri.‘Kenapa pergerakanku lambat banget sih?! Jadi ketahuan kan tuh! Ish! Kenapa juga pria sinting ini kembali lagi?! Seharusnya dia langsung pulang saja!’Ran sudah senang saat Aryan sejak siang tadi tak terlihat di hotel. Wanita ini pikir Aryan lupa akan ucapannya kemarin. Nyatanya, pria ini malah tahu-tahu saja sudah muncul di depannya. Sudah seperti hantu.Percuma saja dong usahanya pulang mela
“Hachi!”“Apakah Anda baik-baik saja?”“Saya..hachi!”“Kamu kenapa, Pumpkin?” tanya Aryan panik. Sejak sampai di rumah keluarga Bagaskara, Ran bersin beberapa kali. Tentu saja itu membuat Aryan khawatir. “Kamu sakit?” Aryan segera meletakkan punggung tangannya pada dahi Ran.Ran hanya mampu terbengong. Wajah mereka kini berdekatan. Ran bahkan dapat merasakan napas mint Aryan yang menerpa bibirnya seringan bulu.“Suhu badanmu normal.” Aryan menjauhkan tangannya dari dahi Ran. Binar matanya masih menatap sang calon tunangan cemas. “Tenggorokanmu sakit? Kepalamu gimana? Pusing? Kamu rasain hidungmu gimana? Tersumbat gak?” Aryan bertanya bertubi-tubi, melebihi dokter yang sedang bertanya pada pasiennya.Ran menggeleng sebagai jawaban setelah lepas dari rasa terkejutnya.“Hachi!” Ran kembali bersin. Sebelah tangannya sudah menutupi mulut. Wajah
Setiap orang memiliki masa lalu. Begitu juga dengan calon tunangannya. Hey… bahkan dia pun memiliki masa lalu yang mungkin saja membuat banyak wanita geram. Menjadi orang ketiga di dalam hubungan orang lain.Ran menghela napas berat. Entah sudah berapa kali Ran mensugesti diri sendiri, meyakinkan jika keputusannya mencoba menjalin tali pertunangan dengan Aryan adalah benar.Jujur saja, pertemuannya dengan Alina Bagaskara dua hari yang lalu malah membuat Ran jadi semakin tahu sosok seperti apa calon tunangannya itu. Bayangan tentang kata-kata Alina Bagaskara yang mengatakan kalau Aryan juga pernah merayunya, mengganggu pikiran Ran.Apalagi Ran melihat sendiri interaksi yang terjalin antara Alina dan Aryan. Walaupun mereka terlibat adu mulut, tapi terlihat sekali jika mereka nyaman satu sama lain.Ini gila. Ran melihat tatapan penuh cinta Alina dan sang suami. Mengapa Ran seperti orang bodoh, yang malah mengkhawatirkan hubungan Aryan dan wanita itu.
“Itu Ran sudah pulang, Ma.”Langkah Ran terhenti saat melihat wanita yang berdiri di samping sang mama. Wajah wanita ini pucat seketika.Zanna Mahendra. Wanita itu…wanita yang selalu ingin Ran hindari.“Oma…” bisik Ran dengan suara bergetar. Suara wanita ini amat sangat pelan. Hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.Ran dan wanita yang Ran sebut ‘Oma’ itu saling tatap dengan tatapan yang berbeda. Kalau Ran menatap wanita itu dengan tatapan takut, sedangkan wanita itu menatap Ran dengan sorot kebencian.Pria yang berdiri di samping Ran menatap bergantian Ran dan wanita asing yang berada di samping mama Ran. Usia wanita itu sudah tak muda lagi. Kalau pria ini tebak, mungkin seumuran dengan usia neneknya sendiri.“Ada apa, Pumpkin?” tanya pria ini.Ran menarik dan membuang napasnya panjang. Wanita ini mencoba menormalkan detak jantung yang menggila karena sosok wanita yang b
“Kamu semakin cantik saja, Kania.”“Mama bisa saja. Mama juga, malah kelihatan lebih cocok jadi kakaknya Rion daripada mamanya.”“Mulut kamu itu selalu manis sejak dulu.”Terdengar tawa renyah saling bersahutan dari arah depan pintu dapur.Ran fokus pada apa yang sedang dia kerjakan, tanpa berani melirik sang oma yang sudah berbincang hangat dengan mama dari calon tunangannya.Calon tunangan?Apakah pria itu akan benar-benar jadi tunangannya?Sejak kemarin habis mendengar percakapan ayahnya dan sang oma, Ran sudah bersiap kalau sang ayah akan membatalkan pertunangannya dan Aryan. Tapi sampai sore ini, semua seperti biasa, tidak ada yang aneh. Ayahnya pun sebelum berangkat bekerja terlihat biasa-biasa saja saat melihatnya.“Kamu seharusnya di depan saja, Aryan. Tidak perlu repot-repot seperti ini.”Ran melirik dua orang yang berada di sampingnya. Sang mama sedang mengusi
Sepanjang makan malam, Ran menjadi pemurung. Setelah Aryan dan Adara kembali ke rumah, dua orang itu entah mengapa menjadi dekat dan saling melempar candaan. Ran ingin bersikap biasa, tapi hatinya terus-terusan saja merasa nyeri, seperti jerawat baru yang ditekan.Apalagi Aryan dan Adara tiba di rumah lebih lama daripada yang diperkirakan. Mereka bahkan sempat menunda makan malam mereka karena Adara dan Aryan belum datang. Sementara Rion dan Admaja datang di waktu yang berdekatan.Ran menatap langit malam yang kali ini ditaburi lebih banyak bintang. Langit itu sangat indah, lumayan mampu membuat hatinya yang tidak karuan terasa sedikit lebih baik.Setelah makan malam, Ran memutuskan pergi ke taman belakang rumahnya, duduk di ayunan yang terbuat dari kayu jati.Ran mengedarkan pandangan ke sekeliling taman. Wanita ini tersenyum. Sang ayah pandai mendesain rumah mereka agar lebih nyaman ditempati.Rion sengaja mendesain rumahnya seperti itu. Memiliki
“Akhirnya Anda bertunangan juga, Nona Callia. Semoga tidak ada yang sampai gila ka—”“Stevi, kita harus segera kembali.”Wanita yang bernama Stevi itu tersenyum sinis ke arah pria yang berada di sampingnya, Arjuna Hendrawan, sang tunangan.Ran menatap datar sepasang tunangan yang saat ini berada di depannya itu. Arjuna akhirnya datang ke acara pertunangannya.Acara pertunangan yang diadakan besar-besaran, dan tentu saja diadakan di ballroom Hotel Kusumo.Ya, akhirnya dia bertunangan dengan pria gila yang saat ini berdiri di sampingnya. Cincin sederhana yang waktu itu dibelinya bersama Aryan sudah tersemat dengan indah di jari manis di tangan sebelah kirinya.“Ran, aku pulang dulu.”Ran mengangguk kaku. “Terima kasih sudah datang, Juna dan—” Ran mengalihkan pandangan ke arah tunangan Juna. “—Nona Stevi.” Setelah mengatakan itu, Ran mencoba menyunggingkan seny
“Oh tidak! Ini semakin mengesalkan! Tidak, aku tidak bisa kalah lagi kali ini!”Ran kembali menekan tulisan ‘start’ di dalam kotak yang terpampang nyata di layar ponselnya. Setelah itu, muncul kotak-kotak yang berjalan dengan cepat, diiringi sebuah musik. Ran langsung asyik menekan kotak-kotak itu. Wajahnya terlihat serius. Pekikan beberapa kali terdengar dari mulutnya saat hampir saja dia gagal menekan salah satu kotak yang berjalan cepat itu. Ran tanpa sadar menggoyang sedikit kencang ayunan yang didudukinya karena terlalu gemas. Saat ini dia sedang berada di dalam gazebo di taman belakang rumahnya, menikmati liburan yang malah membuatnya kesal karena salah satu aplikasi game di dalam ponselnya ini.Ran tidak sadar jika sejak lima menit yang lalu, ada seorang pria yang memperhatikannya dengan mata terbelalak. Pria itu terkejut, tak menyangka jika wanita yang lima hari yang lalu bertunangan dengannya bisa seperti itu. Sebenarnya apa yang dilaku