07
*Grup Petinggi PBK Original*
Hisyam Fayadh : Ada yang senyum-senyum sepanjang jalan pulang.
Yoga Pratama : Siapa? @Hisyam.
Hisyam : Naysila. Habis berbalas senyuman dan dadah-dadahan sama Yusuf, jadi cengengesan mulu Adik iparku itu.
Aditya Bryatta : Eeaaa!
Qadry Muharram : Cie, cie!
Chairil Fahrezi : Uhuy!
Wirya Arudji Kartawinata: Aku sudah curiga lihat mereka pandang-pandangan.
Zulfi Hamizhan : Alhamdulillah. Semoga berjodoh.
Andri Kaushal : Kalau beneran jadi, aku mau sedekah ke anak yatim.
Haryono Abhisatya : Aku nitip, @Andri.
Yanuar Kaisar : Gue juga.
Alvaro Gustav Baltissen : Apa ini yang diomongin Pak Mulyadi waktu itu? @Wirya.
Wirya : Kayaknya. Karena waktu itu Pak Mulyadi bilang, setelah Ari, Yusuf yang akan nyusul.
Aditya : Aku, kapan, dong? Sudah panas kupingku diomelin Ibu.
Zulfi : Sabar, @Aditya. Semoga setelah ini giliranmu.
Nanang Rahardja : Nasibku ternyata sama dengan Bang Said. Jadi penutup di lapis tiga.
Haryono : Nanti tak carikan jodoh buat Adit dan Nanang. Biar nikahnya barengan.
Yoga : Enggak percaya aku, @Yono. Kamu aja, kalau nggak dijodohin sama Rida, mungkin sampai sekarang nggak nikah-nikah.
Haryono : Aku serius, @Yoga. Kebetulan ada beberapa kerabat istriku yang baru lulus kuliah. Ayu semuanya.
Aditya : Baru lulus? Berarti beda 10 tahun denganku. Kejauhan jaraknya.
Nanang : Kalau aku, sih, nggak masalah beda umur segitu. Jadi saat aku umur 50, istriku masih 40 dan tetap molekh.
Chairil : Gusti! Nanang, bahasanya. Molekh = Demplon.
Ibrahim Kripala : Tidak kusangka, Nanang ternyata suka daun muda.
Jauhari Devanka : Eleuh-eleuh, Kang Nanang. Mau samaan denganku rupanya. Gasskeun!
Qadry : Aku ngakak, digaplok anakku.
Fawwaz Priyatama : Puas!
Yanuar : Papi mau bantu Taza buat menghajar papanya.
Zulfi : Aku duluan yang bantuin Taza nampol Qadry.
Andri : Aku ngebayangin Taza nabok papanya, kok, senang, ya?
Qadry : Kalian memang psikopat!
Hisyam : Aku maunya ketupat.
Jeffrey Ekadanta : Tambah sate.
Fawwaz ; Atau rendang.
Ibrahim : Opor.
Jauhari : Sayur pepaya muda.
Chairil : Sambal goreng peteuy.
Aditya : Pakai kuah kari aja, udah enak.
Alvaro : Aku otw ke rumah Emak. Mau minta masakin lontong kari.
Yoga : Samper aku, @Varo.
Andri ; Ikut!
Haryono : Aku mandi dulu. Nanti aku berangkat ke sana sama Baman.
Wirya : Aku tunggu di teras.
Zulfi : Aku nyusul. Ini lagi di rumah Mas Arya.
Yanuar : Tungguin gue! @Bang bule.
Alvaro : Elu dipanggilin dari tadi, kagak nongol, @Sipitih.
Yanuar : Tadi gue luluran dulu, supaya tambah cling.
***
Yusuf menarik napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Dia meremas-remas poni yang memanjang, sambil membatin jika dirinya akan makin sering dicandai di grup petinggi PBK dan PB Baru.
Yusuf tidak mengira jika adegan perpisahannya dengan Naysila kemarin, dilihat oleh Hisyam dan semua anggota rombongan yang akan pulang ke Jakarta.
Pria berbibir tipis, memejamkan matanya sembari menenangkan diri. Yusuf merunut peristiwa tempo hari, yang membuatmu terpaksa melakukan hal rumit untuk menyelamatkan Naysila.
Seperti yang dikatakannya pada Naysila, Yusuf memang tidak sempat melihat punggung gadis itu. Selain karena minimnya cahaya, pikiran Yusuf tengah kalut dan dia harus bergegas untuk membantu Naysila, agar tidak terkena pneumonia.
Terbayang kembali adegan saat tubuh mereka menempel. Yusuf bingung sendiri, karena saat itu dia sama sekali tidak merasakan apa yang biasanya dirasakan lelaki pada perempuan.
Yusuf membuka matanya, lalu menggeleng pelan. Dia menggaruk-garuk dagunya yang mulai ditumbuhi janggut pendek, sambil mengingat-ingat untuk bercukur.
Sekian menit berlalu, Yusuf telah berpindah ke sofa. Dia menonton berita di televisi sambil mengunyah keripik kentang. Kala ponselnya bergetar, Yusuf melirik benda itu sekilas, sebelum cepat-cepat mengangkat panggilan dari rekannya.
"Waalaikumsalam," jawab Yusuf membalas sapaan sang penelepon.
"Bang, tadi aku meeting bareng Bang Jeffrey. Dia cerita, kalau minggu lalu, Abang kecelakaan helikopter di Cina. Beneran?" tanya Agnia Istara Umapati, dari seberang telepon.
"Iya."
"Abang terluka?"
"Cuma lecet dikit."
"Syukurlah. Tadi aku kaget banget. Mau langsung nelepon Abang, tapi masih harus rapat kedua."
"Makasih perhatiannya, Nia."
"Hmm. Abang, kapan pulang?"
"Dari sini aku mau ke Sydney dulu. Ke Jakarta, mungkin tanggal 31."
"Langsung kerja?"
"Enggak. Mau cuti seminggu."
"Kita hang out, yuk!"
"Ke mana?"
"Aku pengen ke resor 5 sekawan di Pulau Seribu. Belum pernah ke sana, jadi penasaran."
"Boleh, tapi aku mudik dulu ke Tambun, 3 hari. Setelah aku nyampe Jakarta, baru kita berangkat."
"Oke."
"Sahabatmu ikut, kan?"
"Iya. Aku juga mau ngajak Kak Fairish dan Kak Lova."
"Ehm, aku bingung mau ngajak siapa. Nggak mungkin juga aku cowok sendirian. Nanti kalian ngeroyok aku."
Agnia terkekeh dan memancing Yusuf turut tersenyum. Meskipun baru berteman selama enam bulan terakhir, tetapi Yusuf merasa nyaman dengan Agnia yang ramah dan cerdas.
Berbeda dengan sepupunya, Lova Hanasta Padmana yang sedikit introvert, Agnia pandai bergaul. Bahkan putri bungsu Azmadi Umapati itu tidak sungkan untuk berteman, dengan orang-orang yang berbeda strata dengannya.
Yusuf pertama kali bertemu dengan Agnia, saat dia mengawal Alvaro ke Amerika, dua tahun silam. Agnia yang tengah meneruskan kuliah pascasarjana di sana, mendatangi kelompok Alvaro di hotel, untuk mengambil titipan dari keluarganya.
Kendatipun sudah kenal cukup lama, tetapi Yusuf dan Agnia baru akrab sejak sang ajudan tersebut kembali ke Indonesia, setelah bertugas menjaga Jauhari di Sydney selama setahun lebih.
Yusuf dan Agnia sering bertemu saat mengikuti rapat proyek yang mereka kerjakan bersama. Terkadang mereka berangkat sama-sama untuk meninjau lokasi proyek, tentu saja dengan ditemani para wakil perusahaan lainnya.
Sementara itu di tempat berbeda, Naysila tengah berbincang dengan kedua Kakak sepupunya yang datang ke kediaman Gamal Dewawarman, untuk berjumpa dengan sang putri bungsu.
Maudy dan Utari sama-sama terkejut, setelah Naysila menerangkan kejadian malam itu di gubuk hutan. Namun, akhirnya kedua perempuan tersebut memahami tindakan darurat yang diambil Yusuf, tidak lain hanya untuk menyelamatkan Naysila.
"Yusuf pegang-pegang kamu, nggak, Dek?" tanya Maudy.
"Aku nggak ingat, Kak. Tapi, kata dia, sih, nggak. Karena tangan kirinya ditaruh di pinggang, sedangkan tangan kanannya nekuk dan jadi bantal," terang Naysila.
"Waktu bangun, badan kalian masih nempel?"
"Enggak. Kayaknya dia bergeser dan telentang. Aku memang ngerasa punggung jadi dingin, karena ternyata bajunya tersingkap."
"Lalu?"
"Aku bangunin dia, dan kami berdebat. Terus ... aku nampar dia."
Maudy dan Utari serentak membulatkan mata. Sedangkan Naysila menunduk sambil memilin jemarinya di pangkuan.
"Dia marah, nggak?" tanya Utari.
"Hu um, tapi nggak ngomong apa-apa. Cuma melototin aku. Habis itu dia pergi," jelas Naysila sembari menengadah.
"Abang nggak ada cerita tentang itu."
"Memang dirahasiakan, Kak. Mas Damsaz yang minta semua orang tutup mulut. Aku bahkan dilarang cerita ke orang tua, takut Papa marah dan urusannya jadi panjang."
"Ehm, ya. Itu benar. Apalagi Bang Yusuf cuma berusaha menyelamatkanmu. Buktinya, dia nggak memanfaatkan situasi. Padahal bisa aja dia maksa kamu buat ... ehm ... kamu pasti tahu maksudku."
Naysila mengangguk mengiakan. "Itu juga kata Mas Damsaz dan Mas Aric. Kalau bukan Bang Yusuf yang nemenin aku, bisa jadi akan beda ceritanya."
83Ratusan orang berkumpul di ruang tunggu khusus pesawat pribadi dan carteran, di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka berkumpul sesuai tujuan masing-masing. Tim Australia yang mengenakan baju putih, berangkat terlebih dahulu menggunakan pesawat milik Timothy Arvhasatys. Disusul tim Kanada. Pasukan pimpinan Aditya yang kompak menggunakan baju hitam, menaiki pesawat carteran berukuran besar. Sebab mengangkut banyak pengawal muda yang hendak dinas di sana. Selanjutnya, tim Eropa yang menumpangi pesawat pribadi milik keluarga Baltissen, dan satu pesawat carteran. Seperti halnya rombongan Kanada, pesawat carteran juga mengangkut banyak pengawal muda angkatan terbaru, yang akan menggantikan posisi senior mereka. Rombongan China yang dipimpin Nawang, menjadi penumpang terakhir yang meninggalkan bandara. Mereka berduyun-duyun menaiki pesawat carteran berukuran cukup besar. Supaya bisa menampung semua orang yang jumlahnya banyak. Yusuf memastikan semua barang bawaan masuk
82Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Yokohama. Setelah terparkir sempurna, petugas membukakan pintu dan menurunkan tangga. Semua penumpang melepaskan sabuk pengaman. Lyon menyalami Tanaka Hideyoshi dan asistennya, kemudian Lyon berbalik dan keluar dari pesawat. Tanaka Hideyoshi turut menuruni tangga bersama asisten dan semua kru pesawat. Mereka bersalaman, lalu Hideyoshi dan tim-nya menaiki mobil sedan mewah yang telah menunggu sejak tadi. Kelompok Lyon memasuki ruang tunggu kecil yang tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang berada di sana, termasuk asisten Lyon, yakni Jemmy. Lyon hendak mendatangi sang asisten. Namun, beberapa orang menghadangnya. Pria terdepan membuka masker yang dikenakan, lalu dia menunjukkan kartu identitas. "Kami interpol. Anda ditangkap atas tuduhan berlapis," tukas pria beralis tebal dengan bahasa Inggris berlogat aneh. Lyon hendak menyanggah, tetapi beberapa orang lainnya telah menodongkan senapan laras pendek ke arahnya, dan anak buahnya.
81Malam beranjak larut. Suasana di kediaman Gamal Dewawarman telah sepi. Semua penghuni sudah berpindah ke kamar masing-masing guna beristirahat, sejak satu jam silam. Naysila keluar dari kamar mandi sembari merapikan jepitan rambut. Dia berhenti di depan meja rias untuk mengecek kebersihan wajah. Yusuf yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, mengamati Naysila sembari membatin, jika perempuan itu sepertinya sengaja berlama-lama di depan cermin.Yusuf mengangkat alis, ketika Naysila berbalik dan menjauh. "Mau ke mana?" tanyanya. "Matiin lampu," jawab Naysila. "Enggak usah. Nanti aja." "Aku nggak bisa tidur kalau terang, Bang." "Tidur?" "Hu um." Yusuf melengos. "Aku sudah nungguin kamu dari tadi, tapi kamu malah pengen tidur." Naysila menggigit bibir bawah. Dia memahami maksud Yusuf. Namun, Naysila masih ngeri untuk berdekatan dengan lelaki berkaus putih. Yusuf menyalakan lampu kecil di sisi kanan dan kiri kasur. "Oke, sekarang lampunya boleh dimatikan," ujarnya. Nay
80Seorang pria berpakaian ala pendekar zaman dulu, hadir dari pintu kanan panggung dengan diiringi lagu khas Sunda. Dia berhenti di tengah-tengah panggung, lalu berbalik menghadap panggung kecil. Lelaki berbaju merah itu, mengambil kedua kipas dari dalam pakaian, lalu mengembangkannya di masing-masing tangan. Yìchèn yang berdiri di panggung kecil, meniup serulingnya untuk mengiringi gerakan silat Hendri, yang dipadukan dengan jurus halus olah napas Margaluyu. Yìchèn bergegas turun dan mendampingi Hendri. Yìchèn mengeluarkan dua kipas, lalu dia berpose bak pendekar China, sambil mengembangkan kedua benda di tangannya.Musik berganti dengan genderang perang. Hendri dan Yìchèn berlakon bertarung. Keduanya mengeluarkan jurus olah napas masing-masing, sembari berganti posisi. "Haiyya! Lu olang, ngalangin jalan owe!" seru Wirya yang datang dari pintu kiri panggung, sambil menuntun sepeda ontelnya. "Engkoh lewat sana aja," balas Hendri yang terpaksa berhenti bertarung. "Ooo, tidak bi
79Ruangan luas yang dihias dengan indah, siang itu tampak banyak orang. Mereka menduduki kursu-kursi di sekitar meja bundar, sesuai dengan kategori tamu. Tatapan hadirin mengarah pada tepi kanan panggung, di mana Fikri dan Rinjani tengah bertugas sebagai MC. Pasangan tersebut menyapa hadirin dengan salam, kemudian menyebutkan semua nama tamu penting, yang menempati ruang VIP 1, 2 dan 3. Sekian menit berlalu, seluruh lampu dipadamkan. Beberapa lampu sorot mengarah ke pintu utama. Lagu rock menghentak terdengar dari pengeras suara. Pintu terbuka dan Yusuf maju beberapa langkah, lalu dia salto berulang kali. Hadirin berseru ketika pengantin laki-laki tersebut berhenti di tengah-tengah area. Yusuf menyambar tongkat gemerincing yang dilemparkan rekannya, kemudian dia menaiki tangga hingga tiba di panggung. Kesembilan tim lapis tiga lainnya muncul dari sisi kanan dan kiri panggung. Mereka membentuk formasi di belakang Yusuf yang tengah berpose bak pendekar. Suitan Nanang menjadi kode.
78*Grup Konvoi Pengantar Pengantin* Haryono : Ladies and guys, piye kabare? Darma : Alhamdulillah. Pangestu, @Haryono.Bambang : Apik, @Yono. Hans : Aku lapar. Di mobil nggak ada stok kue. Fuad : Suruh sopirnya menepi dulu, kukasih bagianmu. Seunit mobil MPV putih menepi. Ilyas yang menjadi sopir, membuka kaca untuk mengambil kotak kue yang diberikan Fuad dari mobil sebelah. Setelah mobil Fuad melaju, Ilyas mengekori sambil mengunyah kue yang diulurkan Hans Daus : Mobil nomor 9, mohon izin belok kiri. Penumpangnya kebelet. Jaiz : Siapa yang kebelet? @Daus. Daus : Jingga. Dia nyaris ngompol, karena dicandain sopir gelo. Syuja. Nasir : Syuja tambah usil sekarang. Kalau dia muncul di kantorku, para karyawati dikerjain.Rusli : Kata Yoga, Syuja stres. Kebelet nikah. Ridwan : Dia dilewat 2 Adik sepupunya yang laki-laki, dan 4 yang perempuan. Jadinya, gitu. Yusri : Kayaknya para pengawal kita, banyak yang bujang lapuk. Aswin : Mereka seleranya tinggi. Sulit dapat calon istri.