06
"Mau apa kamu nelepon aku?" tanya Naysila, tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.
"Aku baru dengar kabar tentang musibah yang menimpamu, Nay," balas Ratan Akandra, mantan kekasih Naysila.
"Dengar dari mana? Aku nggak nyebar berita itu ke teman-teman kita," tukas Naysila.
"Dari kakakku. Dia dengar berita itu dari temannya yang kerja di kantormu. Maksudku, Dewawarman."
Naysila menggerutu dalam hati, karena ternyata kabar itu sudah tersebar luas. "Hmm, ya."
"Gimana kondisimu, Nay?"
"Sangat baik."
"Syukurlah." Ratan terdiam sejenak, lalu dia bertanya, "Kapan kamu pulang ke sini?"
"Belum tahu."
"Kabarin, ya. Aku pengen ketemu."
"Buat apa?"
"Aku kangen."
Naysila memutar bola matanya, jengah dengan rayuan Ratan. "Ada lagi yang mau diomongin? Aku mau tidur."
"Enggak ada."
"Oke, bye."
Naysila menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Ratan. Mengingat sosok pria itu menyebabkannya kembali emosi, karena perpisahan mereka empat bulan lalu masih menyakitkan bagi gadis tersebut.
Naysila meletakkan ponselnya ke meja. Kemudian dia berbaring miring ke kanan. Dia memejamkan mata sembari mengatur napas agar lebih tenang.
Kilasan saat Yusuf membelai rambutnya, kembali terbayang. Naysila seolah-olah masih merasakan sentuhan lembut pria tersebut di rambutnya, dan itu menyebabkannya terkejut.
Naysila kembali membuka mata. Dia memindai sekitar, karena merasa seakan-akan ada orang di dekatnya. Namun, ternyata tidak ada dan dia hanya sendirian di sana.
"Kenapa jadi horor gini?" gumam Naysila.
Gadis tersebut menggeleng pelan, lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Naysila termangu saat terbayang wajah Yusuf, sesaat setelah ditamparnya.
Naysila meringis. Dia merasa bersalah, karena Yusuf hanya berusaha membuatnya hangat, sesuai dengan teori yang bisa dijalankan saat darurat.
"Maaf, aku sudah nampar Abang," bisik Naysila. "Kapan-kapan, aku mau ngasih kado sebagai ucapan terima kasih. Nanti, tapi, nunggu kesalku hilang, karena Abang sudah menyentuh badanku," lanjutnya.
Tiba-tiba pipi Naysila memanas. Dia malu, karena Yusuf menjadi pria pertama di luar keluarga, yang bisa bersentuhan kulit dengannya. Naysila menggeleng lagi untuk melenyapkan kenangan itu dari ingatannya.
***
Waktu bergulir dengan cepat. Tibalah hari kepulangan Naysila ke Indonesia. Dia berpamitan pada Earlene dan keluarga Yang, lalu dia menaiki bus dari hotel yang akan mengantarkan rombongan itu ke bandara.
Sepanjang jalan itu Naysila memvideokan sekeliling sebagai kenang-kenangan. Meskipun mengalami peristiwa yang kurang enak di kota itu, tetapi Naysila tidak jera untuk kembali dinas ke Guangzhou.
Naysila sebetulnya masih ingin menjelajahi tempat itu. Terutama karena dia belum puas menjelajahi banyak tempat wisata, dari kota yang terkenal dengan taman dan bunganya yang indah.
Gadis berjaket hijau itu berniat akan mengunjungi kota tersebut, di masa yang akan datang. Namun, dia tidak mau lagi menggunakan helikopter, karena khawatir musibah itu akan terulang kembali.
Yusuf yang berada di kursi deretan belakang, merekam berbagai ekspresi semua penumpang bus. Dia jalan mundur sambil memvideokan orang-orang yang spontan bergaya. Yusuf berhenti di dekat sopir dan menonaktifkan kamera beresolusi tinggi miliknya.
Yusuf menengadah ketika dipanggil Atalaric yang menempati kursi terdepan bersama Hisyam. Yusuf mendatangi Atalaric, lalu berpegangan ke besi di belakang kursi sopir.
Ketiga lelaki di depan berbincang dengan serius. Naysila yang berada di kursi kedua bersama kakaknya, tanpa sadar mengamati pria berponi di depan.
Kala tatapan mereka bersirobok, Naysila spontan tersenyum. Yusuf terkejut, tetapi kemudian dia membalas dengan tersenyum pula.
Damsaz yang melihat hal itu, memandangi adiknya dan Yusuf secara bergantian. Damsaz membuang pandangan ke kiri untuk menyembunyikan senyumannya, karena merasa lucu dengan tingkah Yusuf dan Naysila.
Sesampainya di tempat tujuan, semua orang turun sambil membawa tas masing-masing. Yusuf, Chyou, To Mu, Jianzhen dan Fillbert, mengikuti langkah rombongan itu menuju pintu khusus penerbangan luar negeri.
Wirya memanggil Yusuf yang segera mendekat, lalu dia memberikan amplop putih pada Yusuf yang langsung menyimpan amplop ke saku dalam jaket putihnya.
"Hati-hati di tempat proyek, Suf. Jangan keluyuran sendirian. Harus ada yang nemenin kamu," cakap Wirya.
"Ya, Bang," jawab Yusuf.
"Kalau pulang ke kota, mending kamu tinggal sama Kinsey di apartemennya. Di sana ramai."
"Hu um."
"Nyampe Sydney nanti, langsung ke hotel dulu. Baru ke lapas."
"Aku mau ke apartemen.aja, Bang. Ngapel Avreen."
Wirya menyentil telinga kiri sang ajudan. "Jangan coba-coba jadi pebinor. Tak hajar!"
"Harusnya Abang dukung aku. Kita, kan, sama-sama pebinor."
Wirya kembali menyentil telinga juniornya. "Kita beda level. Aku sudah master."
"Iya, deh. Aku memang anak bawang."
Keduanya tergelak dan memancing rasa penasaran yang lainnya. Naysila yang berada di kursi deretan kedua, mengamati interaksi antara sang dirut dengan calon direktur marketing PBK di masa mendatang.
Kesepuluh pengawal lapis tiga telah dipecah untuk menempati lima posisi penting di dua perusahaan. Hisyam, Yusuf, Jauhari, Aditya dan Jeffrey, ditempatkan di PBK. Sedangkan Qadry, Nanang, Fawwaz, Ibrahim dan Chairil, ditugaskan di PB.
Kedua perusahaan itu berada dalam satu panji, yakni Prada-Balt, alias Pramudya dan Baltissen. Bila PB khusus menangani sekuriti, PBK mengelola pengawal.
Qadry yang diserahi mandat sebagai direktur utama PB menggantikan Yanuar, telah mulai bertugas sejak tanggal 2 Januari tahun lalu. Selain Qadry, keempat temannya juga langsung menempati posisi masing-masing untuk menggantikan Daus, Bambang, Jaiz dan Nasir.
Yusuf dan kelima rekannya, tengah dipersiapkan untuk mengambil alih tugas Wirya, Zulfi, Yoga, Andri dan Haryono, yang akan lengser maksimal 2 tahun mendatang. Sebab itulah Yusuf dan yang lainnya berusaha ekstra keras untuk menyamai kemampuan kelima petinggi PBK tersebut.
Pengumuman dari petugas, menjadikan puluhan orang yang akan berangkat, menyalami para pengantar. Yusuf mendekap Hisyam dan Zijl sedikit lebih lama. Kemudian dia berpindah untuk menyalami yang lainnya.
Kala tiba di hadapan Naysila, Yusuf sempat ragu-ragu, sebelum mengulurkan tangan kanan. Naysila menjabat tegas tangan Yusuf, lalu menarik tangannya.
"Aku belum ngucapin makasih buat Abang," tutur Naysila.
"Untuk apa?" tanya Yusuf.
"Karena telah menarikku keluar dari helikopter. Kalau nggak, mungkin sekarang aku sudah mati."
"Aku hanya menjalankan tugas sebagai pengawalmu."
"Ehm, ya." Naysila menatap lelaki di hadapannya lekat-lekat. "Makasih juga, karena Abang telah menghiburku saat menangis tempo hari," lanjutnya.
"Hmm, kembali kasih."
"Aku juga mau minta maaf, karena sudah nampar Abang."
Yusuf tertegun sesaat, lalu dia menyahut, "Aku juga minta maaf, Nay. Kamu benar, harusnya aku ngompres kamu pakai air hangat. Atau membungkusmu dengan jas panjangku. Bukannya ... ehm ... gitu, deh."
"Waktu itu, pikiranku kacau. Jadinya nggak bisa nahan emosi."
Yusuf mengangguk mengiakan. "Aku paham, Nay. Jika aku yang berada di posisimu, mungkin aku juga akan begitu."
"Aku sebetulnya malu, Bang. Jadinya nggak bisa ngontrol diri."
Yusuf meringis. "Tenang. Aku nggak lihat apa-apa. Selain karena di situ agak gelap, pikiranku juga terfokus untuk membuatmu berhenti menggigil."
Naysila manggut-manggut. "Sekali lagi, terima kasih karena telah berusaha menyelamatkanku."
"Sama-sama."
"Saat Abang pulang nanti, aku mau traktir Abang. Sebagai bentuk terima kasihku."
Yusuf terkesiap. Hingga Naysila berlalu dari hadapannya, pria beralis tebal itu masih terpaku. Yusuf tidak menduga jika Naysila ternyata mau mengaku salah, bahkan hendak mentraktirjya.
Sudut bibir Yusuf melengkung ke atas mengukir senyuman. Dia merasa senang, karena masalahnya dengan Naysila telah berakhir.
Yusuf memandangi punggung gadis itu yang tengah bergerak menjauh. Ketika Naysila menoleh ke belakang, Yusuf refleks tersenyum dan melambaikan tangannya, yang dibalas hal yang sama oleh gadis bermata besar tersebut.
83Ratusan orang berkumpul di ruang tunggu khusus pesawat pribadi dan carteran, di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Mereka berkumpul sesuai tujuan masing-masing. Tim Australia yang mengenakan baju putih, berangkat terlebih dahulu menggunakan pesawat milik Timothy Arvhasatys. Disusul tim Kanada. Pasukan pimpinan Aditya yang kompak menggunakan baju hitam, menaiki pesawat carteran berukuran besar. Sebab mengangkut banyak pengawal muda yang hendak dinas di sana. Selanjutnya, tim Eropa yang menumpangi pesawat pribadi milik keluarga Baltissen, dan satu pesawat carteran. Seperti halnya rombongan Kanada, pesawat carteran juga mengangkut banyak pengawal muda angkatan terbaru, yang akan menggantikan posisi senior mereka. Rombongan China yang dipimpin Nawang, menjadi penumpang terakhir yang meninggalkan bandara. Mereka berduyun-duyun menaiki pesawat carteran berukuran cukup besar. Supaya bisa menampung semua orang yang jumlahnya banyak. Yusuf memastikan semua barang bawaan masuk
82Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Yokohama. Setelah terparkir sempurna, petugas membukakan pintu dan menurunkan tangga. Semua penumpang melepaskan sabuk pengaman. Lyon menyalami Tanaka Hideyoshi dan asistennya, kemudian Lyon berbalik dan keluar dari pesawat. Tanaka Hideyoshi turut menuruni tangga bersama asisten dan semua kru pesawat. Mereka bersalaman, lalu Hideyoshi dan tim-nya menaiki mobil sedan mewah yang telah menunggu sejak tadi. Kelompok Lyon memasuki ruang tunggu kecil yang tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang berada di sana, termasuk asisten Lyon, yakni Jemmy. Lyon hendak mendatangi sang asisten. Namun, beberapa orang menghadangnya. Pria terdepan membuka masker yang dikenakan, lalu dia menunjukkan kartu identitas. "Kami interpol. Anda ditangkap atas tuduhan berlapis," tukas pria beralis tebal dengan bahasa Inggris berlogat aneh. Lyon hendak menyanggah, tetapi beberapa orang lainnya telah menodongkan senapan laras pendek ke arahnya, dan anak buahnya.
81Malam beranjak larut. Suasana di kediaman Gamal Dewawarman telah sepi. Semua penghuni sudah berpindah ke kamar masing-masing guna beristirahat, sejak satu jam silam. Naysila keluar dari kamar mandi sembari merapikan jepitan rambut. Dia berhenti di depan meja rias untuk mengecek kebersihan wajah. Yusuf yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, mengamati Naysila sembari membatin, jika perempuan itu sepertinya sengaja berlama-lama di depan cermin.Yusuf mengangkat alis, ketika Naysila berbalik dan menjauh. "Mau ke mana?" tanyanya. "Matiin lampu," jawab Naysila. "Enggak usah. Nanti aja." "Aku nggak bisa tidur kalau terang, Bang." "Tidur?" "Hu um." Yusuf melengos. "Aku sudah nungguin kamu dari tadi, tapi kamu malah pengen tidur." Naysila menggigit bibir bawah. Dia memahami maksud Yusuf. Namun, Naysila masih ngeri untuk berdekatan dengan lelaki berkaus putih. Yusuf menyalakan lampu kecil di sisi kanan dan kiri kasur. "Oke, sekarang lampunya boleh dimatikan," ujarnya. Nay
80Seorang pria berpakaian ala pendekar zaman dulu, hadir dari pintu kanan panggung dengan diiringi lagu khas Sunda. Dia berhenti di tengah-tengah panggung, lalu berbalik menghadap panggung kecil. Lelaki berbaju merah itu, mengambil kedua kipas dari dalam pakaian, lalu mengembangkannya di masing-masing tangan. Yìchèn yang berdiri di panggung kecil, meniup serulingnya untuk mengiringi gerakan silat Hendri, yang dipadukan dengan jurus halus olah napas Margaluyu. Yìchèn bergegas turun dan mendampingi Hendri. Yìchèn mengeluarkan dua kipas, lalu dia berpose bak pendekar China, sambil mengembangkan kedua benda di tangannya.Musik berganti dengan genderang perang. Hendri dan Yìchèn berlakon bertarung. Keduanya mengeluarkan jurus olah napas masing-masing, sembari berganti posisi. "Haiyya! Lu olang, ngalangin jalan owe!" seru Wirya yang datang dari pintu kiri panggung, sambil menuntun sepeda ontelnya. "Engkoh lewat sana aja," balas Hendri yang terpaksa berhenti bertarung. "Ooo, tidak bi
79Ruangan luas yang dihias dengan indah, siang itu tampak banyak orang. Mereka menduduki kursu-kursi di sekitar meja bundar, sesuai dengan kategori tamu. Tatapan hadirin mengarah pada tepi kanan panggung, di mana Fikri dan Rinjani tengah bertugas sebagai MC. Pasangan tersebut menyapa hadirin dengan salam, kemudian menyebutkan semua nama tamu penting, yang menempati ruang VIP 1, 2 dan 3. Sekian menit berlalu, seluruh lampu dipadamkan. Beberapa lampu sorot mengarah ke pintu utama. Lagu rock menghentak terdengar dari pengeras suara. Pintu terbuka dan Yusuf maju beberapa langkah, lalu dia salto berulang kali. Hadirin berseru ketika pengantin laki-laki tersebut berhenti di tengah-tengah area. Yusuf menyambar tongkat gemerincing yang dilemparkan rekannya, kemudian dia menaiki tangga hingga tiba di panggung. Kesembilan tim lapis tiga lainnya muncul dari sisi kanan dan kiri panggung. Mereka membentuk formasi di belakang Yusuf yang tengah berpose bak pendekar. Suitan Nanang menjadi kode.
78*Grup Konvoi Pengantar Pengantin* Haryono : Ladies and guys, piye kabare? Darma : Alhamdulillah. Pangestu, @Haryono.Bambang : Apik, @Yono. Hans : Aku lapar. Di mobil nggak ada stok kue. Fuad : Suruh sopirnya menepi dulu, kukasih bagianmu. Seunit mobil MPV putih menepi. Ilyas yang menjadi sopir, membuka kaca untuk mengambil kotak kue yang diberikan Fuad dari mobil sebelah. Setelah mobil Fuad melaju, Ilyas mengekori sambil mengunyah kue yang diulurkan Hans Daus : Mobil nomor 9, mohon izin belok kiri. Penumpangnya kebelet. Jaiz : Siapa yang kebelet? @Daus. Daus : Jingga. Dia nyaris ngompol, karena dicandain sopir gelo. Syuja. Nasir : Syuja tambah usil sekarang. Kalau dia muncul di kantorku, para karyawati dikerjain.Rusli : Kata Yoga, Syuja stres. Kebelet nikah. Ridwan : Dia dilewat 2 Adik sepupunya yang laki-laki, dan 4 yang perempuan. Jadinya, gitu. Yusri : Kayaknya para pengawal kita, banyak yang bujang lapuk. Aswin : Mereka seleranya tinggi. Sulit dapat calon istri.