Setelah pengalaman serangan hacker, Daffa dan Bima mulai lebih percaya diri dalam mengelola aset digital mereka. Proteksi sudah kuat, strategi makin matang, bahkan komunitas forum mulai mengenal nama mereka sebagai pemuda yang rajin berbagi edukasi.
Namun, seiring kedalaman pengetahuan mereka, realitas baru mulai terbuka. Dunia crypto ternyata bukan hanya tempat orang mencari ilmu atau membangun inovasi. Ada ruang-ruang gelap yang penuh manipulasi. Suatu malam, Daffa menjelajah lebih jauh di forum-forum crypto. Ia menemukan tautan ke sebuah sub-forum yang disebut “Crypto Underground”. Rasa penasaran membuatnya masuk. Di sana, ia terkejut membaca berbagai topik: “Cara Pump and Dump Koin Baru – Untung 300% dalam sehari!” “Panduan Membuat Token Sendiri untuk Mengelabui Investor” “Strategi Manipulasi Pasar untuk Pemula” Daffa merasakan hawa dingin merayap. “Astaga… jadi ada dunia seperti ini juga?” bisiknya. Keesokan harinya, Daffa menunjukkan temuan itu pada Bima. “Bim, lihat ini. Ada orang-orang yang sengaja membuat koin palsu hanya untuk menipu investor kecil. Mereka menyebutnya pump and dump.” Bima membaca cepat, wajahnya berubah muram. “Jadi selama ini, banyak orang rugi bukan hanya karena salah strategi, tapi memang sengaja dijebak?” “Ya,” jawab Daffa pelan. “Dunia crypto ternyata punya sisi gelap.” Beberapa hari kemudian, seseorang dengan nama akun CryptoWolf99 mengirim pesan pribadi kepada Daffa. > “Hei, aku dengar kamu anak baru yang pintar. Kalau mau, aku bisa ajak kamu masuk grup eksklusif. Kita sering main pump and dump bareng. Modal kecil, untung besar, cepat. Jangan khawatir, semua orang melakukannya.” Daffa terdiam lama membaca pesan itu. Ada godaan kuat dalam dirinya. “Modal kecil, untung besar, cepat…” Kalimat itu berputar-putar di kepalanya. Malam itu, Daffa tidak bisa tidur. Ia membayangkan jika bergabung, ia bisa cepat kaya. Bisa membantu orang tuanya, bisa punya lebih banyak modal untuk proyek impiannya. Namun, di sisi lain, ia sadar pump and dump berarti menjebak orang lain. Untung dirinya berasal dari kerugian orang lain. Ia menutup matanya rapat-rapat. “Apakah aku rela membangun kesuksesan di atas penderitaan orang lain?” Daffa akhirnya memutuskan menemui Pak Arkan. “Pak,” kata Daffa dengan suara berat, “saya mendapat tawaran untuk ikut kelompok yang katanya bisa cepat kaya lewat strategi pump and dump. Saya bingung… ini salah, kan?” Pak Arkan menatapnya dalam-dalam. “Daffa, dalam dunia digital, ada dua jalan. Jalan cepat tapi kotor, atau jalan lambat tapi bersih. Pertanyaannya, siapa dirimu sebenarnya? Apakah kamu hanya ingin kaya, atau ingin membangun sesuatu yang bertahan lama?” Daffa menunduk. Kata-kata itu menusuk hatinya. Sepulang dari pertemuan itu, Daffa membuka jurnalnya. Ia menulis: “Keuntungan tanpa etika adalah racun. Crypto seharusnya membawa kebebasan dan transparansi, bukan jebakan dan manipulasi. Jika aku ikut cara kotor, aku akan menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.” Air matanya jatuh di halaman jurnal itu. Ia merasa seperti sedang berada di persimpangan hidup. Esoknya, Daffa memberi tahu Bima. “Aku menolak tawaran itu.” Bima menepuk bahunya. “Itu keputusan yang tepat, Daf. Kita mungkin tidak akan kaya secepat mereka, tapi kita akan tidur dengan tenang. Kita akan membangun sesuatu yang benar.” Daffa menghela napas lega. Untuk pertama kalinya, ia merasa memilih jalan sulit tapi benar. Sejak saat itu, Daffa melihat dunia crypto dengan kacamata baru. Ada dua sisi: terang dan gelap. Dan setiap orang harus memilih di mana mereka berdiri. Ia tahu, pilihannya mungkin membuat jalannya lebih lambat. Tapi ia yakin, masa depan hanya akan dimenangkan oleh orang-orang yang jujur dan konsisten. bayangan Daffa menatap layar laptopnya. Pesan dari CryptoWolf99 masih ada di inbox. Namun kali ini, ia sudah punya jawabannya. Ia mengetik balasan singkat: > “Tidak. Aku tidak akan ikut. Dunia crypto harus dibangun dengan kepercayaan, bukan kebohongan.” Lalu ia menekan tombol send dengan senyum mantap. Keesokan harinya setelah menolak tawaran CryptoWolf99, Daffa bangun dengan perasaan campur aduk. Ada lega karena ia menolak jalan yang salah, tapi juga ada rasa was-was. “Apakah aku akan menyesal? Bagaimana kalau sebenarnya jalan cepat itu bisa menolong keluargaku?” batinnya. Ia menatap layar laptopnya. Harga Bitcoin sedang naik tajam. Beberapa altcoin juga ikut terbang. Grup Crypto Underground yang ia intip kemarin penuh dengan sorakan gembira: mereka berhasil memanipulasi sebuah koin kecil dan meraup untung besar. Daffa menutup laptop dengan keras. “Aku tidak boleh iri… aku harus percaya pada jalanku sendiri.” Di sekolah, Bima sudah menunggu dengan wajah serius. “Daf, aku juga dapat pesan dari orang itu. Mereka benar-benar agresif. Mereka tahu kita sedang aktif di forum.” Daffa mengangguk. “Aku sudah menolak. Tapi… ada bagian dari diriku yang masih goyah, Bim. Kalau kita ikut, mungkin kita bisa kaya lebih cepat.” Bima menatapnya lama. “Tapi itu berarti kita menipu orang lain. Apa kamu tega melihat orang kehilangan uang mereka, sama seperti kita dulu kena scam?” Daffa terdiam. Kenangan pahit tentang situs penipuan di awal perjalanan mereka kembali terbayang. Rasa marah, kecewa, dan putus asa kala itu masih membekas jelas. “Tidak,” akhirnya Daffa menjawab. “Aku tidak mau jadi bagian dari mereka.” Beberapa hari kemudian, mentor mereka, Pak Arkan, mengajak Daffa dan Bima menghadiri diskusi komunitas bertajuk “Etika Digital dan Blockchain” di sebuah coworking space. Ruangan itu dipenuhi anak muda, profesional IT, investor, bahkan penggiat sosial. Di papan tulis besar tertulis: “Teknologi itu netral. Manusialah yang menentukan arahnya.” Pak Arkan membuka sesi dengan bertanya: “Apakah crypto adalah berkah atau malapetaka?” Seorang mahasiswa menjawab, “Berkah, karena bisa membebaskan masyarakat dari bank sentral yang korup.” Seorang pengusaha muda menyela, “Tapi juga malapetaka, karena banyak dipakai untuk penipuan dan pencucian uang.” Daffa mendengarkan dengan seksama. Ia merasa diskusi ini menyentuh inti kegelisahannya. Ketika giliran peserta dipersilakan berbicara, Daffa memberanikan diri berdiri. “Saya Daffa, masih belajar crypto. Pertanyaan saya sederhana: Kalau kita bisa cepat kaya dengan cara memanipulasi orang lain, apakah itu salah kalau semua orang sudah melakukannya? Apakah tidak lebih baik kita ikut saja arus?” Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju pada Daffa. Pak Arkan tersenyum tipis. “Pertanyaan bagus, Daffa. Itulah dilema terbesar dunia digital. Pertanyaannya bukan apakah semua orang melakukannya, tapi apakah kamu siap hidup dengan beban moral karena melukai orang lain?” Kata-kata itu menghantam dada Daffa seperti palu godam. Setelah sesi selesai, Daffa menghampiri Pak Arkan. “Pak, saya baru sadar… selama ini saya hanya melihat crypto dari sisi keuntungan. Tapi saya lupa, setiap angka di grafik itu mewakili orang sungguhan yang bisa rugi atau untung.” Pak Arkan menepuk bahunya. “Benar, Daffa. Itulah sebabnya etika digital penting. Dunia virtual memang tampak tak nyata, tapi dampaknya nyata bagi kehidupan orang-orang.” Bima yang mendengar percakapan itu menambahkan, “Kita harus belajar bukan hanya tentang trading, tapi juga tentang tanggung jawab. Kalau tidak, kita sama saja dengan para penipu.” Malam itu, Daffa kembali menulis di jurnalnya. “Aku melihat sisi gelap crypto hari ini. Ada orang yang menjadikannya senjata, ada yang menjadikannya alat perubahan. Aku ingin jadi bagian dari yang kedua. Mungkin jalannya lambat, mungkin sulit, tapi aku ingin membangun sesuatu yang bisa dipercaya.” Ia menutup buku itu dengan perasaan mantap. Beberapa hari kemudian, Daffa kembali menerima pesan, kali ini lebih agresif: > “Hei, kamu benar-benar bodoh menolak tawaran kami. Kamu bisa jadi kaya dalam semalam. Kalau tidak mau ikut, jangan salahkan dirimu nanti ketika melihat kami sukses besar.” Tangannya gemetar membaca pesan itu. Ada amarah sekaligus ketakutan. Namun kali ini ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia menekan tombol delete tanpa membalas. “Jika mereka sukses dengan cara kotor, biarlah. Aku tidak akan menukar hatiku dengan uang cepat.” Beberapa hari setelah itu, Daffa dan Bima berkumpul bersama mentor di sebuah kafe kecil. Pak Arkan berkata, “Kalian sudah berada di persimpangan jalan. Sekarang kalian tahu, crypto bisa dipakai untuk membangun atau menghancurkan. Jadi tanyakan pada diri kalian: mau dikenang sebagai apa?” Bima menjawab cepat, “Aku mau dikenal sebagai orang yang jujur.” Daffa menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku… ingin dikenal sebagai seseorang yang membangun sesuatu yang bermanfaat, bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk orang lain.” Mentor tersenyum. “Bagus. Ingat, di dunia digital, reputasi lebih berharga daripada uang cepat.” Sejak percakapan itu, Daffa merasa lebih mantap. Ia tidak lagi terombang-ambing oleh godaan kaya instan. Baginya, etika dan tanggung jawab moral kini sama pentingnya dengan grafik harga dan strategi trading. Ia tahu, perjalanan masih panjang, masih penuh godaan dan rintangan. Tapi ia juga tahu, ia telah memilih jalannya sendiri. Daffa menatap layar laptopnya yang kali ini menampilkan bukan forum gelap, melainkan artikel tentang Blockchain for Good – bagaimana teknologi ini bisa dipakai untuk mendukung donasi transparan, manajemen identitas, dan pemerataan ekonomi. Ia tersenyum kecil. “Inilah jalanku. Dunia crypto mungkin gelap, tapi aku akan menyalakan cahaya kecil dari tempatku berdiri.”Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.
Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik
Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.
Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k
Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A
Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t