Share

BAB 10

Author: Dafin
last update Last Updated: 2025-08-28 08:17:06

Pak Arkan kemudian mengeluarkan sebuah benda kecil dari sakunya: hardware wallet berwarna hitam.

“Inilah yang disebut cold wallet,” jelasnya. “Berbeda dengan hot wallet di exchange yang selalu online, cold wallet tidak terhubung internet. Hacker tidak bisa mencurinya kecuali mereka mencuri fisik perangkat ini.”

Daffa menatap benda itu dengan kagum. “Jadi ini seperti brankas digital?”

“Tepat sekali. Simpan sebagian besar aset di sini. Hanya sisakan sedikit di exchange untuk trading. Anggap exchange itu seperti dompet kecil untuk belanja harian, sedangkan cold wallet adalah rekening tabungan jangka panjang.”

Bima berkomentar, “Andai kita sudah pakai ini dari dulu…”

Pak Arkan menepuk bahunya. “Jangan sesali masa lalu. Belajarlah darinya. Lebih baik kalian kena sekarang dengan jumlah kecil daripada nanti saat jumlahnya besar.”

Malam itu, Daffa dan Bima langsung mempraktikkan apa yang mereka pelajari.

Mereka membuat password baru sepanjang 20 karakter dengan simbol acak.

Mengunduh aplikasi autentikasi, lalu menautkannya ke akun exchange baru.

Membeli hardware wallet sederhana, lalu memindahkan sebagian saldo yang masih aman ke sana.

Daffa merasakan perasaan baru. Meski kehilangan semalam masih menyakitkan, kini ada rasa tenang. Ia tahu langkah-langkah kecil ini bisa menjadi pondasi besar untuk masa depan.

Meski sudah lebih aman, rasa trauma masih membayangi. Setiap kali membuka laptop, Daffa merasa cemas. Setiap notifikasi masuk membuat jantungnya berdegup cepat.

Namun ia belajar menghadapinya. Ia menulis di jurnal digitalnya:

“Hacker mungkin bisa mencuri uangku, tapi tidak bisa mencuri semangat belajarku. Aku akan gunakan pengalaman ini untuk menjadi lebih kuat. Aku ingin suatu hari nanti bisa melindungi bukan hanya diriku, tapi juga orang lain dari bahaya digital.”

Bima pun merasakan hal serupa. Ia mulai tertarik mendalami bidang cyber security, bukan hanya trading. “Daf, kau tahu? Dunia ini lebih luas dari sekadar investasi. Ada medan perang tak terlihat, dan kita baru saja disentuh olehnya.”

Beberapa hari kemudian, mereka kembali berdiskusi di kafe favorit.

Bima berkata, “Aku rasa kita tidak cukup hanya jadi trader atau investor. Kita harus jadi orang yang paham keamanan digital. Bayangkan kalau nanti kita punya proyek besar, tapi keamanannya lemah. Semua bisa runtuh.”

Daffa mengangguk penuh keyakinan. “Kita akan belajar lebih jauh. Bukan hanya soal profit, tapi soal melindungi apa yang kita bangun. Keamanan adalah pondasi segalanya.”

Mereka berdua pun berjanji: mulai dari sekarang, setiap langkah di dunia digital harus ditempuh dengan kesadaran keamanan.

Malam itu, sebelum tidur, Daffa menulis kembali:

“Pengalaman diretas mengajarkan satu hal: teknologi tanpa keamanan hanyalah ilusi. Seperti rumah megah tanpa kunci, indah tapi rapuh. Mulai sekarang, aku tidak akan membangun tanpa pondasi. Dunia digital bukan hanya tentang peluang, tapi juga tentang bagaimana menjaga diri dari bahaya yang selalu mengintai.”

Dengan pikiran itu, ia memejamkan mata. Rasa takut masih ada, tapi kini bersanding dengan penasaran

Beberapa hari berlalu sejak peretasan itu. Meski langkah-langkah keamanan baru sudah mereka terapkan, rasa kehilangan masih membekas. Daffa sering kali membuka catatan saldo asetnya hanya untuk menyadari angka-angka itu sudah berubah.

Ia menatap layar kosong, lalu bergumam, “Andai saja aku lebih hati-hati dari awal, mungkin semuanya tidak akan seperti ini.”

Bima yang duduk di sampingnya mencoba menenangkan. “Jangan terlalu keras pada dirimu, Daf. Justru dari sini kita belajar. Kalau kita tidak pernah jatuh, kita tidak akan pernah tahu betapa pentingnya proteksi.”

Kalimat itu menancap di hati Daffa. Ia sadar, benar apa yang dikatakan Bima. Peretasan ini bukan akhir, tapi permulaan.

Rasa penasaran membuat Daffa mencoba melacak apa yang sebenarnya terjadi. Ia membuka riwayat login akunnya di salah satu exchange.

Di sana ia menemukan catatan aneh: ada login dari IP asing, sebuah lokasi di negara yang bahkan belum pernah ia dengar. “Ini dia… hacker itu masuk dari sini,” gumamnya.

Bima mencondongkan tubuhnya. “Mereka benar-benar bergerak tanpa batas negara, ya? Dunia digital ini… seperti medan perang global.”

Daffa menutup laptopnya. “Dan kita harus sadar, proteksi aset digital itu bukan pilihan. Itu kewajiban.”

Mereka kembali menemui Pak Arkan. Kali ini, wajah keduanya lebih tenang meski masih ada sedikit trauma.

“Pak,” kata Daffa, “kami sadar satu hal: tidak ada gunanya mengejar keuntungan kalau aset kami sendiri tidak terlindungi. Semua bisa hilang dalam sekejap.”

Pak Arkan mengangguk. “Kalian baru saja memahami inti dari dunia digital. Proteksi bukan sekadar tambahan, melainkan fondasi. Bayangkan kalian membangun rumah megah tanpa pondasi, sekuat apa pun dindingnya, akan roboh juga.”

Bima bertanya, “Tapi Pak, bagaimana dengan orang-orang lain? Banyak sekali pemula seperti kami yang belum sadar bahaya ini.”

“Benar. Itulah mengapa kalian harus menjadi berbeda. Jangan hanya jadi pemain pasar, jadilah pelindung. Proteksi bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain.”

Kalimat itu membakar semangat keduanya.

Malamnya, Daffa termenung di kamarnya. Ia memandangi laptop, lalu menulis di jurnal:

“Aset digital bukan sekadar angka. Itu adalah wujud dari kerja keras, waktu, dan mimpi. Kehilangannya sama seperti kehilangan sebagian hidup. Maka proteksi aset digital adalah proteksi kehidupan digital.”

Ia lalu mengingat-ingat pengalaman pahit seminggu terakhir. Dari rasa panik saat saldo hilang, hingga rasa aman setelah punya cold wallet dan 2FA. Semuanya terasa seperti perjalanan batin.

Esoknya, Bima datang dengan ide baru. “Daf, bagaimana kalau kita mulai menulis panduan kecil tentang keamanan digital untuk pemula? Kita bisa posting di forum. Jangan sampai orang lain jatuh ke lubang yang sama.”

Mata Daffa berbinar. “Kau serius? Itu ide bagus. Kita bisa menulis dari pengalaman pribadi. Biar orang tahu ini nyata, bukan teori semata.”

Mereka pun mulai merancang artikel sederhana berjudul “Proteksi Aset Digital untuk Pemula”.

Isinya:

1. Jangan gunakan password lemah.

2. Aktifkan 2FA dengan aplikasi, bukan SMS.

3. Simpan aset utama di cold wallet.

4. Waspada phishing.

5. Jangan mudah tergiur janji profit besar.

Artikel itu mereka unggah ke forum yang dulu menjadi pintu awal rasa penasaran Daffa.

Tak disangka, artikel mereka mendapat respon luar biasa. Puluhan komentar bermunculan:

“Terima kasih, aku baru saja mau pakai SMS 2FA. Untung baca ini.”

“Wah, aku juga pernah diretas. Salut kalian mau berbagi.”

“Tolong bahas lebih detail soal cold wallet, ya!”

Daffa merasa haru. “Bim, lihat ini… ternyata pengalaman pahit kita bisa jadi pelajaran berharga buat orang lain.”

Bima tersenyum puas. “Betul. Proteksi itu bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk komunitas. Semakin banyak orang sadar, semakin sulit hacker mencari mangsa.”

Suatu malam, setelah membaca banyak tanggapan positif, Daffa menulis lagi di jurnalnya:

“Aku sadar satu hal besar: dunia digital adalah dunia kepercayaan. Jika kepercayaan hilang, semuanya runtuh. Dan dasar dari kepercayaan adalah keamanan. Jadi, proteksi aset digital bukan hanya soal uang, tapi soal menjaga kepercayaan diri, komunitas, bahkan masa depan teknologi itu sendiri.”

Tulisan itu membuatnya merasa semakin mantap melangkah.

Di sekolah, saat jam istirahat, Bima berkata, “Aku rasa perjalanan kita baru saja dimulai. Kita belajar crypto, lalu jatuh karena diretas, lalu bangkit lagi dengan kesadaran baru. Ini seperti jalan panjang yang membentuk kita.”

Daffa mengangguk. “Dan aku yakin, nanti kita akan menghadapi tantangan yang lebih besar. Tapi kali ini, kita sudah tahu: jangan pernah melupakan proteksi.”

Bima menambahkan, “Ya. Keuntungan bisa datang dan pergi, tapi keamanan harus selalu ada.”

Beberapa hari kemudian, mereka memutuskan membeli cold wallet baru, kali ini model yang lebih canggih. Mereka berdua menuliskan di secarik kertas:

“Keamanan adalah kebebasan.”

Lalu menempelkannya di meja belajar. Setiap kali membuka laptop, mereka akan selalu diingatkan bahwa proteksi adalah kunci.

Pada akhirnya, ini menjadi titik balik bagi Daffa dan Bima. Dari rasa takut, kehilangan, hingga lahirnya kesadaran baru.

Kini, mereka tidak lagi melihat aset digital hanya sebagai peluang kaya. Mereka melihatnya sebagai tanggung jawab. Tanggung jawab untuk melindungi, merawat, dan mengamankan.

Daffa menutup jurnal malam itu dengan satu kalimat:

“Hacker telah mengajarkanku arti sebenarnya dari keamanan. Aku tidak akan pernah lagi menyepelekan proteksi. Karena tanpa proteksi, semua mimpi hanyalah fatamorgana.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 20

    Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 19

    Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 18

    Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 17

    Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 16

    Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 15

    Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status