Share

BAB 12

Author: Dafin
last update Last Updated: 2025-08-31 19:20:23

Setelah melewati pengalaman menegangkan dengan forum gelap dan godaan jalan instan, Daffa merasa perlu mencari ruang baru. Ia tahu bahwa dunia crypto tidak bisa dijalani sendirian.

Malam itu, ia berbincang dengan Bima di teras rumahnya.

“Bim, aku merasa kita harus mencari komunitas baru. Bukan forum yang isinya manipulasi harga atau scam, tapi tempat di mana orang benar-benar belajar dan berbagi.”

Bima mengangguk. “Aku juga setuju. Aku sudah browsing beberapa grup di Telegram dan Discord. Ada yang namanya Crypto Nusantara Community. Dari deskripsi, sepertinya mereka fokus pada edukasi dan inovasi, bukan cuma spekulasi harga.”

Daffa menyalakan laptopnya. Ia mengetik cepat, mencari informasi lebih lanjut. Mata Daffa berbinar ketika membaca:

> “Komunitas terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar dan membangun masa depan bersama teknologi blockchain. Tidak ada janji kaya instan, hanya belajar, diskusi, dan kolaborasi.”

Kalimat itu menenangkan hatinya.

Malam berikutnya, Daffa dan Bima bergabung dengan ruang obrolan Discord komunitas tersebut. Mereka disambut dengan ramah oleh seorang admin yang memakai username @CryptoEdu_ID.

“Selamat datang, Daffa dan Bima! Silakan perkenalkan diri, apa latar belakang kalian, dan apa yang ingin kalian pelajari,” tulis admin.

Bima langsung mengetik:

“Halo semua, saya Bima. Masih SMA, baru belajar crypto beberapa bulan. Ingin lebih paham strategi investasi yang sehat.”

Daffa menambahkan:

“Saya Daffa, juga SMA, tertarik bukan hanya trading, tapi juga bagaimana blockchain bisa dipakai untuk hal-hal bermanfaat.”

Tak lama kemudian, berbagai anggota merespons dengan emoji sambutan dan kata-kata penyemangat. Ada yang berkata, “Mantap, generasi muda sudah peduli teknologi.” Ada juga yang berkata, “Kalau ada pertanyaan, jangan ragu. Semua di sini belajar bareng.”

Daffa tersenyum. Ia merasa berada di ruang yang tepat.

Hari-hari berikutnya, Daffa aktif di komunitas itu. Ia membaca pengalaman para anggota yang bervariasi.

Seorang anggota bernama SintaCrypto bercerita bagaimana ia pernah kehilangan aset karena lupa seed phrase. Pesannya jelas: jangan pernah remehkan keamanan.

Seorang lagi, Rizal_Block, membagikan kisah sukses membangun aplikasi kecil untuk mempermudah pelaporan pajak aset crypto. Daffa terinspirasi: ternyata blockchain bisa punya kegunaan nyata, bukan sekadar spekulasi harga.

Daffa menulis catatan di jurnalnya:

“Pelajaran hari ini: pengalaman orang lain adalah guru terbaik. Aku tak perlu mengulangi kesalahan yang sama. Dan aku bisa belajar bagaimana mereka menemukan peluang dari masalah nyata.”

Suatu malam, komunitas mengadakan sesi diskusi via voice channel. Tema: “Masa Depan Blockchain di Indonesia.”

Daffa dan Bima ikut bergabung. Ada sekitar 50 orang di ruangan virtual itu. Moderator membuka diskusi dengan pertanyaan:

“Apa potensi blockchain yang paling besar menurut kalian?”

Beberapa orang menjawab:

“Transparansi donasi.”

“Sertifikasi digital untuk pendidikan.”

“Supply chain pertanian.”

Saat tiba gilirannya, Daffa memberanikan diri bicara.

“Menurut saya, blockchain bisa dipakai untuk membangun sistem voting yang transparan. Banyak orang tidak percaya pada pemilu karena rawan manipulasi. Kalau ada cara digital yang aman, mungkin kepercayaan publik bisa meningkat.”

Ruangan hening beberapa detik, lalu terdengar tepuk tangan virtual dari reaksi emoji. Moderator berkata, “Ide bagus, Daffa. Itu contoh bagaimana generasi muda melihat persoalan nyata.”

Daffa tersipu malu, tapi juga bangga.

Meski diterima dengan baik, Daffa kadang merasa minder. Banyak anggota komunitas yang jauh lebih tua, ada yang sudah bekerja di perusahaan IT besar, ada yang investor sukses.

Ia pernah berkata pada Bima, “Kadang aku merasa kecil di antara mereka. Kita cuma anak SMA, mereka sudah pro semua.”

Bima menepuk bahunya. “Jangan lupa, Daf. Kita punya kelebihan: masih muda, masih punya energi belajar, dan bisa melihat dunia dengan cara baru. Justru itu kekuatan kita.”

Kata-kata Bima membuat Daffa kembali bersemangat. Ia belajar untuk tidak membandingkan, tapi menghargai prosesnya sendiri.

Di komunitas itu, Daffa dan Bima juga bertemu dengan seorang figur senior bernama Kirana, seorang perempuan muda yang sudah lama menjadi developer blockchain.

Kirana sering memberi materi ringan tentang smart contract, DeFi, dan NFT. Ia tidak sombong, malah sabar menjelaskan dengan bahasa sederhana.

Suatu kali ia berkata,

“Blockchain bukan soal cepat kaya. Blockchain soal membangun kepercayaan di dunia yang penuh ketidakpercayaan.”

Kalimat itu menancap di hati Daffa. Ia merasa menemukan sosok panutan baru, selain Pak Arkan.

Beberapa minggu aktif, Daffa mendapat pesan pribadi dari salah satu anggota bernama Fahri:

“Daf, aku lihat kamu aktif banget di diskusi. Aku lagi mikir bikin proyek kecil untuk lomba inovasi digital. Mau ikut brainstorming bareng?”

Daffa langsung mengajak Bima. Mereka pun masuk ke grup kecil bersama Fahri, SintaCrypto, dan Rizal_Block.

Di sinilah awal sebuah perjalanan baru: bukan lagi sekadar belajar, tapi mulai merintis kolaborasi nyata.

Daffa duduk di kamarnya, menatap layar laptop dengan semangat baru. Ia merasa perjalanan crypto-nya kini memasuki tahap berbeda: dari sekadar penonton pasar, menjadi bagian dari komunitas yang membangun.

“Inilah yang kucari… bukan sekadar keuntungan, tapi keluarga digital yang bisa tumbuh bersama.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 20

    Malam sudah larut. Jam dinding di kamar kos menunjukkan pukul 23.47. Hujan baru saja reda, menyisakan titik-titik air di kaca jendela. Suara tetesan masih terdengar, berpadu dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas. Daffa duduk sendirian di kursi kayu kecil dekat jendela. Di hadapannya, laptop menyala dengan dashboard EduCoin yang menampilkan grafik transaksi token dan jumlah pengguna yang terus bertambah. Ada rasa bangga, tapi juga ada sesuatu yang mengganjal di hatinya: perasaan campur aduk antara puas, takut, dan bingung. Daffa menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. “Aku bahkan nggak percaya aku bisa sejauh ini.” Ia menutup mata, membiarkan pikirannya berputar ke masa lalu. Ia melihat dirinya dan Bima di perpustakaan kampus. Buku-buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan tab penuh artikel tentang blockchain. Daffa ingat rasa frustrasi saat itu. “Bim, ini maksudnya apa sih? Ledger, mining, peer-to-peer… kayak bahasa alien.” Bima tertawa kecil. “Tenang, Daf.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 19

    Pagi itu Daffa merasa hari berjalan seperti biasa. Ia bangun, berangkat ke kampus, mampir ke kantin. Tapi satu hal kecil mengubah segalanya: sebuah notifikasi berita di ponselnya.Di layar tertera judul besar:“Inovasi Anak Muda: EduCoin, Token Belajar untuk Pelajar Indonesia.”Tangannya refleks gemetar. Ia baca cepat artikel itu, menelusuri setiap kalimat: tentang ide awal mereka, tujuan edukasi, bahkan kutipan dari postingan mereka di forum crypto lokal.“Guys, kita masuk berita!” seru Daffa, bangkit dari kursi kantin.Karin hampir menjatuhkan sendok nasi gorengnya. “Apa?! Serius?”Bima langsung meraih ponselnya. Sinta dan Rizal mendekat, mereka berebut membaca. Saat benar-benar melihat artikel itu nyata, wajah mereka berbinar-binar.“Ini gila. Kita cuma bikin proyek kecil-kecilan, eh diliput media,” kata Fahri dengan nada tak percaya.Artikel itu sederhana, tapi efeknya luar biasa.Tak butuh waktu lama, tautan artikel dibagikan di Twitter, Instagram, hingga TikTok.Komentar publik

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 18

    Setelah melewati masa penuh tekanan, tim EduCoin memutuskan untuk mengadakan rapat besar di ruang komunitas kampus yang biasanya sepi di akhir pekan. Daffa berdiri di depan papan tulis, tangannya memegang spidol, wajahnya penuh tekad.“Kemarin kita dihantam masalah bertubi-tubi. Server down, bug, regulasi. Tapi aku percaya, ini bukan akhir ini justru jalan menuju solusi.”Semua anggota tim menatapnya dengan harapan. Karin duduk sambil memegang laptop, Bima siap dengan catatan, Fahri tampak masih lelah tapi fokus, Rizal menyalakan recorder agar rapat terdokumentasi, sementara Sinta menyiapkan slide presentasi sederhana.Daffa menuliskan tiga kata besar di papan tulis: Stabilitas – Strategi – Inovasi.“Ini tiga pilar kita sekarang,” ujarnya. “Tanpa stabilitas, pengguna nggak percaya. Tanpa strategi, kita kehilangan arah. Tanpa inovasi, kita akan ditinggalkan.”Fahri mendapat giliran bicara. Ia maju dengan membawa laptop.“Pertama soal server. Aku sudah riset beberapa opsi cloud service.

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 17

    Setelah kampanye promosi pertama EduCoin sukses, antusiasme pengguna meningkat pesat. Dalam waktu singkat, jumlah akun pelajar yang mendaftar melonjak lebih dari dua kali lipat.Daffa menatap dashboard server dengan mata berbinar. “Lihat, traffic kita naik gila-gilaan! Dalam sehari ada 500 user baru.”Bima ikut mencondongkan badan. “Ini luar biasa, Daf. Kita bener-bener bikin sesuatu yang disukai.”Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar. Malam harinya, notifikasi merah memenuhi layar Daffa. Server down.“Tidak… jangan sekarang!” Daffa menepuk jidat.Besok paginya, grup chat tim penuh pesan panik.Sinta: “Daf! Aku nggak bisa login. Anak-anak yang pakai juga pada ngeluh.”Rizal: “Twitter kita udah rame. Banyak yang nanya kenapa aplikasi error.”Fahri: “Aku cek log. Sepertinya server nggak kuat menahan lonjakan traffic.”Daffa langsung ke rumah Fahri untuk memperbaiki sistem. Dengan wajah lelah, mereka berdua begadang semalaman, mencoba menstabilkan server.“Masalahnya bukan di k

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 16

    Beberapa hari setelah uji coba pertama EduCoin selesai, Daffa masih tenggelam dalam evaluasi. Ia duduk di kafe kecil dekat kampus, menatap layar laptop penuh catatan bug dan feedback dari siswa.“Desain aplikasimu keren sih, Daf,” kata Bima yang duduk di seberangnya. “Tapi jujur aja, tampilannya agak… kaku. Anak-anak suka fungsinya, tapi kalau tampilannya lebih menarik, pasti makin nempel.”Daffa menghela napas. Ia tahu itu kelemahannya: urusan desain dan tampilan. Ia bisa membangun sistem yang aman, algoritma yang efisien, tapi kalau soal estetika? Nol besar.Tiba-tiba, seseorang dari meja sebelah menoleh. Seorang gadis berambut sebahu, mengenakan hoodie biru tua, sedang menggambar di tablet grafis. Ia tersenyum tipis.“Maaf, aku nggak sengaja dengar obrolan kalian,” katanya. “Aku setuju sama temanmu. Sistem yang bagus perlu wajah yang ramah. Kalau nggak, orang males pakai.”Daffa dan Bima saling pandang. “Eh, iya… kamu siapa?” tanya Bima agak kikuk.Gadis itu memperkenalkan diri. “A

  • DAFFA DAN MATA UANG DIGITAL   BAB 15

    Hari itu terasa berbeda bagi Daffa. Ia bangun lebih pagi, sarapan seadanya, lalu duduk di depan laptop dengan tangan agak gemetar. Hari ini adalah hari yang sudah mereka tunggu-tunggu: uji coba pertama EduCoin.Selama berminggu-minggu mereka bekerja siang malam. Daffa dengan coding, Bima dengan riset, Sinta dengan konten edukasi, Fahri dengan server, dan Rizal dengan komunikasi ke sekolah. Akhirnya, sebuah sekolah menengah di pinggiran kota bersedia menjadi tempat uji coba terbatas.Sekolah itu bukan sekolah elite, melainkan sekolah negeri dengan fasilitas sederhana. Justru di situlah Daffa merasa ide mereka lebih relevan. EduCoin bukan sekadar teknologi, tapi alat untuk memberi semangat baru bagi pelajar biasa.Di ruang guru, mereka diterima oleh Bu Rini, seorang guru yang dikenal progresif.“Jadi, kalian mau bikin eksperimen kecil di sekolah ini?” tanya Bu Rini dengan nada penasaran.Rizal menjawab dengan antusias, “Iya, Bu. Sederhana saja. Kami ingin mencoba memberi reward berupa t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status