Share

Bab 5

“Dia tertidur di apartemenku.”

Dini hari, Layton baru mengantarkan Daisy pulang dengan kondisi gadis itu yang tertidur. Eve membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Layton yang menggendong tubuh Daisy masuk. Ia membukakan pintu kamar mereka, dan menunggu Layton selesai membaringkan Daisy.

“Pakaiannya sedikit basah karena kehujanan, kau ganti, ya.”

“Bagaimana dengan rencana Daisy, kau menyetujuinya?” tanya Eve, menahan Layton di depan pintu.

Layton mengangguk kecil. “Gampang, aku akan mengurusnya nanti. Kau tenang saja.”

“Aku pulang dulu!” ucap Layton, terlihat tergesa.

Mengedikkan bahu, Eve memilih masuk ke dalam rumah, memastikan setiap pintu di rumah besar itu sudah terkunci, lalu naik ke lantai atas.

Eve masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaian Daisy, dan ia mulai curiga ketika tak sengaja melihat bibir bawah Daisy yang sedikit robek, belum lagi sudut bibirnya yang membiru. Bercak kemerahan yang begitu banyak tercetak jelas di bagian dada dan leher. Apa mungkin?

“Daisy,” panggil Eve. Gadis itu menatap seluruh penjuru kamar seperti orang kebingungan.

Sedetik kemudian, tanpa menjawab pertanyaan Eve terlebih dahulu, Daisy mencoba turun dari ranjang dan merasakan pusat dirinya begitu sakit dan perih.

“Kau kenapa?” tanya Eve khawatir, karena setelahnya Daisy terisak hebat.

“Ada apa, Daisy? Kenapa kau menangis seperti ini?”

“Dia menghancurkan hidupku.” Daisy meremas sisi ranjang.

Tanpa dikatakan dua kali pun, Eve mengerti. “Kau?”

“Dia—dia memperkosaku.”

“Astaga.”

Daisy menangis di pelukan Eve, satu-satunya penyemangat yang ia miliki. Sementara Eve mengusap punggung Daisy, mencoba menenangkan gadis itu meski tangisnya justru semakin keras. Malang sekali, Daisy.

“Lebih baik kau tidur,” ucap Eve. Setelah ia membantu Daisy berbaring.

Daisy berbalik memunggungi Eve, sakit sekali, saat ia menutup mata bayangan menjijikkan itu selalu terbayang di kepalanya. Ia memeluk tubuhnya sendiri yang terasa remuk, hingga akhirnya ia diserang kantuk. Kesunyian malam menyuruhnya untuk melupakan malam buruk itu, meski hanya sebentar.

***

“Aku sudah melakukan apa yang kau mau,” ucap Layton.

Seorang wanita di depan Layton tersenyum, puas. “Mana buktinya?”

Layton memberikan amplop coklat dan sebuah dokumen pada wanita yang berusia lebih tua darinya dua tahun itu. Lalu duduk di depan wanita tersebut.

“Ini dokumen apa?”

“Kau buka saja sendiri, aku sudah muak membantu gadis lemah itu.”

Wanita itu membulatkan mata ketika membaca sederet kalimat dalam berkas yang diberikan Layton. “Gila, aku mendapatkannya dengan begitu mudah.”

Layton berdecak, ia mulai bosan. “Mana imbalanku?” desaknya.

“Tenang saja, aku tidak pernah ingkar janji.”

Layton menyeringai. “Seharusnya, imbalanku bertambah karena bukti yang kuberikan juga bertambah,” katanya tegas.

Wanita dengan balutan dress mewah itu mendengus. “Baiklah, kau mau apa dariku, Layton?”

Tampaknya, Layton sedang memikirkan sesuatu yang dia inginkan. Namun, sedetik kemudian lelaki itu menjentikkan jarinya. “Hm, aku belum membutuhkan sesuatu. Jadi, aku akan meminta imbalanku, nanti.”

“Terserah kau saja.” Wanita itu menjentikkan jemarinya, lalu dua bodyguard datang dengan membawa seorang wanita.

Sesuai apa yang Layton inginkan, seorang wanita berparas cantik dan polos. Membuat senyum Layton terukir, ia sangat puas melihat hadiah imbalan ini.

“Oke, Seryl. Tugasku sudah selesai, saatnya aku bersenang-senang.” Layton berdiri, menghampiri sang wanita yang diberikan Seryl.

Wanita yang tidak lain adalah—Seryl—anak Bibi Calyn itu tertawa. “Selamat bersenang-senang, Layton!”

Seryl memasukkan berkas dan amplop itu dalam tas. “Mama pasti akan senang jika tahu aku mendapatkan sesuatu yang berharga.”

***

“Nona, seharusnya kau menjaga perilakumu di luar. Jika foto ini tersebar ke situs-situs internet, semua karyawan akan menurunkan jabatanmu.”

Daisy menaruh tablet di tangannya setengah membanting. Ia muak sekali, mendengar sekretaris Papa terus saja mengomel tentang perilaku yang baik. “Aku rasa pertemuan untuk membahas masalah kantor sudah selesai, aku masih ada jadwal lain.”

Sekretaris itu berdeham sejenak. “Baiklah Nona, minggu depan aku akan ke sini lagi.”

Syukurlah, sekretaris itu mau mengerti ketika Daisy mencoba mengusirnya dengan cara halus.

Sepi sekali, Eve sudah pulang ke apartemennya dan bibi yang bertugas membersihkan rumah juga sudah pergi. Sebenarnya, sendiri bukanlah hal yang terlalu menakutkan bagi Daisy, karena sejak kecil ia memang sering ditinggal sendirian di rumah besar bak istana ini. Tapi, sekarang keadaannya berbeda, semakin Daisy merasa sendiri dan sepi, semakin ia mengingat kedua orang tuanya yang telah pergi.

“Akhh....” Daisy tidak sengaja menghempaskan lengannya terlalu keras ke sofa, hingga luka membiru di sana kembali berdenyut.

“Kenapa bekasnya tidak juga hilang?” kesalnya.

Luka-luka pada tubuhnya yang tercipta karena Layton. Terkadang, Daisy menangis ketika melihat luka di tubuhnya dan teringat malam itu. Sudah hampir dua minggu kejadian itu berlalu, namun sesak di dadanya tak kunjung hilang.

Ditambah, foto-foto dirinya beradegan ranjang dengan Layton tersebar di antara teman-teman kampus. Menambah beban di pundak Daisy, yang semakin hari semakin membuatnya terlihat membungkuk. Entah kentara atau tidak, Daisy merasa tubuhnya mengalami perubahan drastis, berat badannya turun banyak hanya dalam kurun waktu tiga bulan.

Lama melamun, Daisy tersentak dengan pikirannya. Ia menyambar benda pipih di atas meja dekat pulpen.

“Eve, kau sedang sibuk atau tidak?”

“Ada apa, Daisy?”

Daisy meremas ujung kausnya. “Aku harus kembali, kembali ke apartemen lelaki itu. Barang berhargaku, Eve. Tertinggal.”

***

“Mungkin dia sedang pergi.”

Daisy berhenti mengetuk pintu apartemen Layton, dengan wajah pias ia terduduk di depan pintu yang tertutup rapat. Ia tidak bertemu Layton, apa mungkin lelaki itu menghindar darinya. Ia hanya ingin mengambil berkas penting itu, yang ia titipkan sebelum malam buruk itu datang.

“Lalu bagaimana?”

Eve yang tidak tega melihat sahabatnya bersedih ikut berjongkok, mengusap lembut bahu Daisy, menenangkan. “Besok kita kembali lagi ke sini, Daisy. Aku akan menemanimu.”

“Tapi—“

“Sudahlah, tidak akan terjadi apa-apa. Percaya padaku.” Eve tersenyum.

Mau tidak mau, Daisy harus pergi dari tempat itu. Percuma, Layton sepertinya memang sedang tidak ada di rumah. Ketika sampai di lobi, mata Eve tidak sengaja melihat Layton sedang berbincang dengan seorang wanita.

“Daisy, itu Layton!”

Dengan langkah cepat Daisy menemui Layton. “Layton,” panggil Daisy, yang sukses membuat langkah Layton dan seorang wanita yang menopang tubuhnya berhenti.

“Ah, jalangku datang lagi.”

Daisy menepis tangan Layton yang hampir menyentuh dagunya. “Di mana berkas yang aku titipkan padamu, kemarin?”

Bukannya mendapat jawaban, Daisy hanya mendengar kekehan menyebalkan dari lelaki itu. Membuat ia semakin geram. “Mana berkasku Layton?!”

“Berkas tidak berguna itu? Sudah kujual.”

Daisy membulatkan matanya. “Kau jangan bercanda!” kesalnya, ia sampai menarik kerah Layton, tidak peduli jika tingginya hanya sebatas dada lelaki itu.

Dengan kasar pula Layton menarik pakaiannya kembali. “Aku menjualnya! Kau tuli? Tidak bisa mendengar?” teriak Layton.

“Di mana kau menjualnya, Layton?”

Huek ...

Daisy dan Eve mundur tiga langkah ketika Layton tiba-tiba memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Lelaki itu mabuk, dan seorang wanita yang tadi menopang tubuhnya langsung menjauh juga—seperti jijik.

“Aku menjualnya pada seseorang, dan aku mendapat sebuah imbalan yang tak kalah cantik darimu.” Layton menarik wanita di sampingnya mendekat. “Ini imbalanku, cantik bukan?”

Keadaan semakin tidak kondusif, Layton mulai berkata kotor dan menjelekkan Daisy. Bahkan Eve bisa melihat mata Daisy yang berkaca-kaca. Jujur, jika bukan karena surat penting itu, Daisy benar-benar tidak mau bertemu Layton lagi.

“Dasar laki-laki bajingan!” pekik Daisy, melayangkan tasnya ke pipi Layton begitu keras.

Ia tidak peduli protes dari wanita di sebelah Layton, setelah lega dengan kekesalannya, ia segera menarik Eve untuk pergi dari tempat itu.

“Daisy, bagaimana sekarang?”

Gadis itu mengusap kasar air matanya. “Tidak tahu, aku sudah tidak peduli lagi.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status