Share

Bab 4

Tidak ada pilihan lain, selain menceritakan masalah serius ini pada Layton. Setidaknya, Daisy memiliki harapan jika Layton mau mendampinginya untuk mengurus segala surat-surat. Ayah Layton bertugas sebagai hakim di salah satu departemen, ia bisa sesekali menanyakan langkah apa yang harus ia ambil untuk mempertahankan harta orang tuanya nanti, melalui perantara Layton.

Layton membaca berkas yang diserahkan Daisy padanya. “Biar kusimpan di sini, dengan aman, Sayang,” ucapnya menenangkan.

Daisy mengangguk sekilas.

“Kau baik-baik saja?” tanya Layton, mengusap sisi wajah Daisy.

“Aku jauh lebih baik dari sebelumnya, Lay.”

Mereka berdua sedang berada di unit apartemen milik Layton. Daisy sengaja datang jauh-jauh ke apartemen itu untuk menyampaikan semua masalah yang sedang ia hadapi pada kekasihnya.

Selama hampir satu tahun ia menjalin hubungan dengan lelaki bermata coklat itu, Daisy memiliki tempat keluh kesah, selain dengan Eve.

Layton semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh ramping Daisy, sesekali juga mencium wangi leher kekasihnya. “Kau ingin pergi untuk melepas penat hari ini?” tanya Layton.

“Pergi ke mana, Lay? Aku ingin menghabiskan waktu denganmu di sini,” kata Daisy.

“Kita juga bisa menghabiskan waktu di sana, Sayang. Bagaimana, kau mau?” tawar Layton.

“Ke mana?”

Layton mendongakkan dagu Daisy agar ia bisa lebih leluasa menatap mata hazel Daisy. “Nanti kau akan tahu di mana tempatnya, dan aku yakin, kau menyukainya.”

***

Bar tender menaruh gelas berukuran besar di meja Layton, lalu tanpa ragu lelaki itu menyodorkan gelas berisi alkohol pada Daisy yang tengah menikmati musik yang terputar di klub malam ini.

“Bagaimana, kau menyukainya, bukan?” tanya Layton, satu tangannya ia gunakan untuk menarik pinggang Daisy mendekat.

Ini bukan pertama kalinya Daisy pergi ke klub, ia sering menikmati suasana seperti ini. “Tidak terlalu buruk,” jawabnya.

Bau alkohol yang menguar ketika Layton terkekeh, membuat Daisy sedikit menjauh. Sudah gelas ketiga yang diteguk oleh lelaki itu. Sedari dulu, Daisy memang dikenal kuat meminum alkohol, berapa pun ia meneguk minuman itu, Daisy akan tetap sadar.

“Sudah, Layton. Kau terlalu banyak minum malam ini!” Daisy menjauhkan gelas keempat dari jangkauan Layton. Lelaki itu sudah terlihat sangat mabuk.

Baru saja ingin membawa Layton pergi dari klub, lelaki berambut ikal dengan tindik di telinga kirinya itu mendaratkan ciuman di bibir tipis Daisy. Daisy sampai harus mendorong tubuh Layton karena terkejut, ini bukan Layton yang dia kenal. Sepanjang hubungan mereka menjadi sepasang kekasih, Layton tidak pernah melakukan kontak fisik seperti itu, mereka berkomitmen untuk melakukannya setelah menikah.

“Layton!” pekik Daisy.

Tangan besar Layton berulah lagi, dengan meremas paha Daisy. Sekarang gadis itu terpojok di dinding, pergerakannya terkunci karena Layton membawa kedua tangannya ke atas, seperti tengah di borgol.

“Ayolah Daisy, jangan munafik! Aku sudah menginginkanmu sejak dulu,” bisik Layton di telinga Daisy. Lelaki itu juga mengulum daun telinga Daisy yang menimbulkan efek geli.

Ini sudah sangat keliru. “Kau gila, ya!” kesal Daisy.

Layton justru tertawa.

“Sayang, kau adalah wanita paling munafik. Mana ada lelaki yang akan tahan berpacaran tanpa melakukan sentuhan dan ciuman, bodoh!” jujur Layton. “Aku menahan diriku untuk tidak menyentuhmu, sesuai yang kau mau. Tapi, apa kau tahu? Di belakangmu aku sering berciuman dengan wanita lain.”

Daisy merasa matanya memanas, ia tidak menyangka Layton akan jujur dengan masalah ini. “Kau terlalu banyak minum, aku akan pulang sendiri saja, Layton.”

Gadis itu menepis tangan Layton, ia keluar dari klub dengan jantung yang berdebar kencang. Rasa sesak dan nyeri menyeruak ke dalam dadanya.

“Daisy!”

“Daisy, tunggu!”

Panggilan itu terus saja terdengar dan Daisy berusaha mengabaikan dengan mempercepat langkah kakinya. Berharap sebuah taksi cepat datang. Sial sekali, jalan yang ia lalui begitu sepi, Daisy harus berlari dari kejaran Layton.

Tetapi, sangat percuma. Dengan mudah Layton menangkap Daisy. “Kau mau ke mana, Sayang?”

“Aku ingin pulang!” sentak Daisy.

“Kenapa, kau belum bersenang-senang denganku.” Layton menyapukan jemarinya di pipi Daisy. “Kau harus membayar waktu satu tahun kita, malam ini!”

Layton menarik tubuh Daisy sampai ke mobil, seringai tipis tercetak di bibir lelaki itu. Malam ini, ia tidak akan membiarkan Daisy lolos.

Dan malam itu, malam terburuk untuk kehidupan seorang Daisy.

***

Layton membanting tubuh Daisy hingga terhempas ke ranjang. Lelaki itu berhasil membawa Daisy ke apartemennya secara paksa, dan membiarkan wanita itu terus saja menangis.

Malam semakin larut, di luar sedang hujan disertai petir yang menyambar-nyambar. Daisy sudah tidak dapat melakukan perlawanan apa pun. Ia pasrah saja ketika Layton mulai naik ke atas ranjang, menindihnya dengan seringai yang tercetak jelas.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Daisy dengan bibir bergetar.

Di bawah sana, Layton sengaja merapatkan miliknya ke milik Daisy yang masih terbalut celana jeans. “Apalagi jika bukan bercinta,” jawab Layton santai.

Daisy mencoba berontak, tapi lagi-lagi tenaganya tak cukup kuat untuk melawan. Jujur, ia tidak ingin berakhir menyedihkan.

Layton menyatukan tangan Daisy ke atas kepala, seperti di borgol, lalu ia mulai mengendus aroma Daisy yang memabukkan, yang sudah menjadi incarannya sejak lama.

“Lepaskan aku, Lay! Aku mohon.” Daisy meronta, kakinya bergerak asal, mencoba membebaskan diri dari tindihan Layton.

Layton yang kesal karena ciumannya selalu meleset, menampar pipi Daisy hingga kepala gadis itu terpelanting ke kanan. Panas dan perih menjadi satu.

“Jika kau tidak ingin aku bermain kasar, maka berhentilah memberontak!”

Daisy menangis terisak, saat Layton mengikat kaki dan tangannya menggunakan dasi yang ada di laci. Lalu tangan nakal lelaki itu bergerak melucuti semua pakaiannya. Tidak ada yang bisa Daisy tutupi, tubuh polosnya sudah dilihat Layton.

“Mari bersenang-senang, Sayang.” Layton berbisik.

Tangan besar Layton mulai menjamah tubuhnya, ia tidak berhenti mencium setiap inci leher dan dada Daisy. Meninggalkan jejak kemerahan di sana, sebagai tanda bahwa malam ini Daisy adalah milik lelaki itu. Layton mulai turun ke bawah, meremas gundukan di dada Daisy dan memainkan kuncupnya.

“Ah ....” Desahan kecil lolos dari bibir gemetar Daisy.

Lelaki itu turun lagi ke bawah, meraba area paling sensitif Daisy dengan jemarinya, yang sontak membuat Daisy membuka mata.

“Jangan!” lirih Daisy, ia merapatkan kedua kakinya.

“Buka!” perintah Layton.

Daisy tak bergeming. “Ja—jangan,” katanya lagi dengan suara parau.

“Buka dengan lebar atau ku tampar lagi?” desak Layton, ia sudah tidak dapat menahan miliknya yang mendesak.

Daisy menggeleng, ia masih mempertahankan mahkotanya untuk suaminya kelak, ia hanya berharap ada keajaiban yang membawa Eve ke sini. Tapi, akibat dari penolakan itu, Layton kembali melayangkan tamparan keras. Kali ini bukan hanya tamparan, lelaki itu juga mencekik Daisy sampai gadis itu kesulitan bernapas.

“Lepaskan, ku mo—mohon!” Daisy kehilangan napas.

Layton memperhatikan perubahan wajah Daisy yang memerah, mata hazel gadis itu mulai tampak layu. Merasa puas, ia melepaskan cekikan di leher Daisy, membiarkan gadis itu meraup oksigen seperti ikan yang baru saja dikeluarkan dari air.

“Bajingan!” Daisy meludah tepat di wajah Layton.

“Kau sudah mulai berani, ya?!” sentak Layton, mengusap air liur Daisy.

Kesal, Layton membekap bibir mungil Daisy dengan bibirnya, ia tidak memberi kesempatan gadis itu untuk mengambil oksigen. Pagutan demi pagutan ia lakukan dengan kasar, hingga bibir bawah Daisy pun ikut terkoyak karena ulah Layton.

Tanpa melepaskan ciuman panas itu, Layton mengarahkan juniornya ke milik Daisy. Lelaki dengan keringat yang sudah mengembun di pelipisnya itu melebarkan kaki Daisy pada dan mulai menggesekkan miliknya di sana.

Daisy menggeleng kuat, antara kenikmatan dan kekecewaan yang beradu.

“Mendesah, Sayang. Mendesah untukku,” bisik Layton.

Milik Layton menyentak Daisy dengan kasar, ini baru pertama kali Daisy rasakan, sakit sekali. Ketika lelaki itu mulai bergerak, Daisy melengkungkan punggungnya, ia meremas seprai sebagai bentuk pesakitan. Miliknya terasa penuh dan genjotan Layton belum juga berhenti, semakin lama semakin dalam dan cepat.

Layton tertawa kecil ketika melihat dada Daisy yang membusung, seperti menantang. Dengan nakal ia mencubit kuncupnya.

Daisy meremas seprai lebih kuat, ketika merasa sesuatu dalam dirinya mendesak keluar, bahkan ia sampai mengeram rendah. Klimaks, mereka mencapai klimaks secara bersamaan dan Daisy langsung pingsan karena hal itu.

Itu tidak hanya dilakukan Layton satu kali, dalam keadaan Daisy yang pingsan. Ia mengambil kesempatan lebih banyak untuk menabur benih dan melebur Daisy dengan miliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status