Share

Bab 6

Setiap hari seperti hari melelah bagi Daisy. Ia sudah enggan menangis, air matanya seakan habis menangisi takdirnya. Sudah ditinggal kedua orang tua, diperkosa, dan sekarang ia juga harus menanggung beban perusahaan.

Jika boleh memilih, Daisy ingin terbebas dari semua ini. Ia ingin terbebas dari segala rasa khawatir tentang perusahaan yang berpotensi jatuh ke tangan Bibinya sendiri. Ia ingin hidup tenang, sekali saja. Tanpa bayang-bayang semua orang yang ingin jahat dengannya.

Daisy menghentikan mobilnya di depan pekarangan rumah mewah peninggalan Mama dan Papa. Dari kejauhan ia sudah dapat melihat seseorang yang paling ingin ia hindari—Bibi Calyn, berdiri di depan pintu. Kali ini wanita paruh baya itu tidak sendirian, melain dengan dua orang laki-laki dewasa yang berpakaian jas rapi.

“Kau dari mana saja, sayang?”

Daisy mendengkus, ia menatap Bibinya tanpa minat, sebelum mengeluarkan kunci rumah. Membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan mengisyaratkan semua orang untuk masuk ke dalam.

“Sudah lama tidak bertemu, ya, sayang. Kau makin terlihat cantik,” puji Bibi Calyn.

Sebenarnya tanpa basa-basi pun, Daisy tahu akan ada bencana setelah kehadiran orang ini. Selera humornya benar-benar hilang, ia sama sekali tidak bisa menanggapi candaan Bibi Calyn dengan tawa.

“Ada apa?” tanya Daisy dengan mata menajam. Malas berbasa-basi lagi.

Bibi Calyn tampak kecewa dengan sikap Daisy, namun ular itu bisa dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya. “Daisy, perkenalkan, ini adalah Tuan Robert, pengacara baru yang menggantikan pengacara Papamu, dulu.”

“Salam kenal, Nona Daisy.”

Daisy mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Tuan Robert. Setelahnya Tuan Robert tampak mengeluarkan sebuah amplop coklat yang dalamnya adalah sebuah berkas.

“Tolong tanda tangan di sini,” pinta pengacara berambut klimis itu.

Daisy menaikkan sebelah alisnya, “Untuk apa?”

“Pengalihan ahli waris, karena usiamu belum genap 25 tahun, sayang.” Bibi Calyn menatap Daisy dengan senyum yang sulit diartikan.

Daisy membaca beberapa deret kalimat di lembar kertas itu, lalu membalik beberapa lembar lagi. Tak terasa genggaman pada pulpen di tangannya mengerat lebih kuat. Surat perjanjian resmi ini disertai dengan bukti-bukti surat penting di dalamnya, surat yang seharusnya dibawa Layton.

“Ayo, tinggal tanda tangan di sini, Daisy!”

“Dari mana kau mendapat semua berkas ini?” tanya Daisy, ada sesak di dadanya ketika melihat senyum kemenangan tercetak jelas di bibir Bibi Calyn.

“Dari Papamu, dia sendiri yang memberikannya pada Bibi, sayang.”

Daisy meremas sisi berkas itu. Kesal sekali.

“Nona, lebih baik kau tanda tangan saja. Kami tidak punya banyak waktu, ada beberapa hal yang harus kami urus lagi,” ucap Tuan Robert, merasa keadaan semakin memanas.

Kalah telak. Daisy tidak dapat melakukan apa-apa karena bukti yang dimiliki Bibi Calyn sudah sangat kuat. Ia tidak dapat mengelak. Berkas yang ia harap bisa disembunyikan dengan baik, justru jatuh dengan mudah ke tangan wanita ular ini. Ia tidak punya pilihan lain, selain membubuhkan tanda tangan di berkas itu dengan setengah hati. Harta Mama dan Papa harus diambil alih Bibi Calyn.

Setelah kepergian pengacara dan rekannya, Bibi Calyn masih ada di sana. Menatapi Daisy yang sekarang hanya diam. “Sekarang, kau sudah tidak punya apa-apa lagi gadis sombong.” Bibi Calyn meremehkan.

“Segera kemasi barangmu dan pergi dari rumah ini!”

Daisy menoleh. “Ini rumahku, Bi. Aku akan tinggal di sini.”

“Rumah ini termasuk aset milik orang tuamu, Daisy. Sekarang semuanya sudah jadi milikku!”

“Dasar licik!"

Bibi Calyn tertawa. “Kasihan sekali, seharusnya kau menyalahkan kekasihmu, bukan Bibi. Dia sendiri yang menyerahkan bukti ini pada Seryl.”

Napas Daisy tercekat, ia hanya dapat menahan tangisnya, ia tidak boleh kelihatan lemah.

“Kau boleh menginap di sini satu malam, besok kau harus pergi dari sini!” tegas Bibi Calyn.

Daisy meremas dress yang ia kenakan, mencoba menahan sesak di hati. Ia merasa kakinya begitu lemas, tak cukup mampu untuk berjalan menuju kamar. Setelah kepergian Bibi Calyn, Daisy membanting tubuhnya ke sofa dan mulai terisak keras, sendirian.

Kenapa kehidupannya serumit ini?

***

Siapa yang menginginkan kehidupan seperti ini? Semua orang jika ada di posisi Daisy mungkin juga sama depresinya seperti dia.

Pada akhirnya Daisy meninggalkan rumah mewah bak istana peninggalan orang tuanya. Ia menyeret koper besarnya untuk berjalan tak tentu arah. Tidak ada yang ingin ia tuju, semuanya tampak kosong, pikirannya dan hatinya, semuanya. Namun, ia justru sampai di depan unit apartemen Eve. Tangannya bergerak untuk mengetuk pintu dan tak lama pintu itu terbuka.

“Da—Daisy, kenapa malam-malam kemari?” tanya Eve, terkejut. Ini sudah pukul setengah dua belas malam.

Pandangan Eve jatuh pada koper besar di belakang tubuh Daisy. “Kau?”

“Rumahku sudah jadi milik Bibi Calyn,” jawab Daisy, ia memaksakan senyumnya.

Eve menggeser tubuhnya dan membuka pintu lebih lebar, menyuruh sahabatnya itu masuk. Ia membuatkan secangkir teh untuk Daisy yang terlihat begitu pucat. Setelah terjadi hening cukup lama, Daisy akhirnya mulai menceritakan apa yang terjadi. Tentang Layton yang berkhianat dan memberikan semua berkas penting ke tangan Bibi Calyn.

Lebih hancurnya lagi, Bibi Calyn dan Seryl yang menyuruh Layton menghancurkan masa depan Daisy. Seluruh keluarga besar Xavier sudah menerima foto-foto hubungan malam Daisy dengan Layton, dan mencaci Daisy di grup keluarga. Mereka merasa malu dengan tindakan Daisy, tanpa tahu itu semua hanya jebakan. Tidak ada yang mau menerimanya, bahkan paman yang berhubungan baik dengan Papa begitu enggan menerima Daisy. Yang ia miliki hanya Eve.

“Daisy, kau tidak boleh menangis.” Eve bergerak maju, memeluk sahabatnya yang kini kembali terisak.

“Apa aku sekotor itu? Hingga mereka membuangku seperti ini, Eve.”

“Tidak, kau tidak seperti itu.” Eve mengusap punggung Daisy lembut. “Kau bisa tinggal di sini, aku tidak akan memperlakukanmu seperti mereka, Daisy.”

Percayalah, Daisy orang baik, ia selalu membantu teman-temannya ketika kesulitan. Dulu, saat masih berkuliah, Daisy pernah membantu Eve melunasi biaya administrasi kuliahnya karena orang tua Eve terjebak skandal narkoba. Maka dari itu, Eve sangat menyayangi Daisy lebih dari seorang sahabat.

“Aku sudah cukup merepotkanmu, Eve.”

“Tidak ada yang direpotkan.” Eve menangkup pipi dingin Daisy. “Aku tidak merasa keberatan, mari kita jalani hidup berdua sebagai seorang saudara.”

Daisy menarik napas berat, mencoba berpikir apakah keputusannya menerima tawaran Eve untuk tinggal di apartemennya adalah jalan terbaik.

Sebenarnya Daisy punya sedikit tabungan yang terpisah dari semua aset orang tuanya. Mama dan Papa memberikan uang tabungan itu ketika Daisy berusia 20 tahun, untuk keperluannya meneruskan kuliah nanti.

"Tapi, bagaimana jika Austin ke sini?" tanya Daisy.

"Tidak apa-apa, ini apartemenku, bukan milik Austin." Eve dengan begitu mudah mengedikkan bahu.

"Kau tinggal bersamaku, ya," pinta Eve, matanya berbinar layaknya mata anak kecil.

Daisy meneguk ludah, bimbang sekali. Namun, pada akhirnya ia mengangguk pelan. Nanti saja setelah ia mendapatkan pekerjaan sampingan, ia akan menyewa apartemen sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status