Sebuah peristiwa yang direncanakan oleh bibinya, membuat Daisy harus kehilangan mahkota berharga dalam dirinya yang ia jaga selama 23 tahun. Semula kehamilannya berjalan lancar, tetapi, suatu hal tiba-tiba terjadi yang mengakibatkan dia kehilangan buah hatinya yang sudah ia kandung selama sembilan bulan. Dari kejadian itu, Daisy mengenal seseorang yang tiba-tiba mengajaknya untuk menikah. Yang mengajarkannya sebuah kehidupan rumah tangga yang selalu harmonis dan romantis, yang selalu menguatkan Daisy dan mengubahnya menjadi wanita tangguh.
Lihat lebih banyakDaisy sesekali menoleh pada pintu utama rumah sakit yang terbuat dari kaca transparan, menunggu pintu itu terbuka dan sosok lelaki yang ia tunggu datang. Lama sekali, ia jadi merasa sangat gugup dan berdebar. Ia mengalihkan perasaan aneh itu dengan mengetukkan ujung sepatunya ke lantai sembari meremas ujung dress yang ia kenakan.
Lama menunduk, Daisy merasakan tempat duduk di sebelahnya bergerak. Senyum manis Daisy muncul bersama lesung pipinya, ia mendongak. “Sudah selesai Ar—“
“Arthur?”
“Kenapa Daisy? Takut bertemu aku lagi?”
Daisy membulatkan mata, terkejut. Ia ingin sekali berlari dan berteriak meminta bantuan orang-orang, tapi tubuhnya seperti sedang terikat oleh tali yang tak terlihat. Tubuhnya sulit digerakkan dan dia hanya bisa terdiam di tempat.
“Lepaskan, lepaskan aku!” pekik Daisy, ketika seseorang di depannya menyeret dirinya keluar rumah sakit.
“Layton!”
Lelaki bernama Layton itu menghempaskan tangan Daisy kuat-kuat, ketika mereka sampai di area parkir yang cukup sepi. Ia berbalik, menatap Daisy yang terlihat sedang mengatur napas.
“Kau mau apa lagi? Aku sudah tidak punya apa-apa,” teriak Daisy. Ia muak bertemu Layton. “Berhenti mengusik hidupku, Layton!”
“Aku hanya ingin mengambil bayiku. Di mana dia?” tanya Layton, ada kilat kemarahan di mata coklat lelaki itu.
Daisy menggeleng pelan, ia berusaha tenang meski sebenarnya ingin meledak. “Bayimu? Bahkan kau tidak pernah menemuinya saat aku tengah mengandung, masih berani kau mengatakan jika dia bayimu?”
“Aku yang membuatnya susah payah!”
“Kau pikir, rahimku hanya sebagai tempat menabur benihmu?” teriak Daisy.
“Memang, kau adalah jalang tempat anak-anakku tumbuh.”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Layton.
“Aku juga tidak akan sudi mengandung anak-anakmu!”
Layton tertawa sumbang, mengusap pipinya yang memerah karena tamparan Daisy. Lelaki itu meludah ke samping, sebelum mencengkeram dagu Daisy kuat hingga membuat wanita itu meringis menahan sakit.
“Lepaskan aku, Layton!” Daisy berusaha melepaskan cengkeraman Layton di dagunya. Air mata wanita itu sudah meluruh sejak tadi.
“Dasar wanita lemah, begini saja kau sudah menangis. Pantas saja, harta kedua orang tuamu dikuasai oleh Bibi Calyn, kau saja tidak punya kekuatan untuk melawan mereka selain menangis dan menangis!” Layton menyeringai.
Daisy semakin terisak.
“Aku hanya ingin bayiku, di mana dia sekarang?”
“Dia sudah meninggal!” teriak Daisy sangat kencang, hingga cengkeraman di dagunya perlahan mengendur.
Layton terlihat terkejut dan marah, ia mengepalkan tangannya kuat, dan tanpa perasaan menampar Daisy sampai wanita itu tersungkur ke tanah. “Dasar wanita tidak berguna!” tukas Layton. “Kenapa kau membunuh anakku, bodoh!”
Daisy menangis sejadi-jadinya.
“Kau memang tidak akan pernah pantas menjadi seorang ibu! Aku akan membunuhmu juga karena telah membunuh anakku!” murka Layton.
Tak tanggung-tanggung, Layton menendang perut bekas luka cesar Daisy berkali-kali. Sementara Daisy hanya bisa menjerit kuat karena merasakan rasa sakit yang teramat hingga tubuhnya bergetar.
“Jangan, jangan tendang perutku Layton. Sakit, ku mohon!” Daisy berusaha melindungi perutnya.
“Kau harus mati!”
Beberapa saat, Layton begitu terkejut melihat darah yang begitu banyak keluar dari paha dalam Daisy. Lalu sebagian lagi merembes di perut wanita itu, yang menyebabkan dress putih yang ia kenakan berwarna kemerahan. Daisy tersengal, tubuhnya bergetar hebat karena rasa sakit yang tidak berhenti menghunjam tubuhnya.
“Tolong!” ucap Daisy lirih, ia menatap Layton yang berlari tunggang langgang meninggalkannya dengan mata mengabur.
Ini sudah di ujung ajal.
Semakin Daisy mencoba menarik napas, rasa sakitnya semakin menjadi.
Daisy tahu, ia tidak akan ditemukan dengan mudah oleh seseorang, karena Layton membawanya ke tempat parkir yang begitu sepi. Tidak ada orang di sini, tidak ada yang tahu ia kesakitan, tidak akan ada yang menolongnya.
Pada akhirnya, Daisy akan mati di tempat ini, sendirian. Mungkin, jika nanti seseorang menemukannya, itu karena bau menyengat dari tubuhnya yang membusuk.
Astaga, dia akan mati mengenaskan.
Pemikiran buruk itu terus memenuhi isi kepala Daisy, ia benar-benar sudah putus asa dan berharap mati di tempat ini.
Lebih baik seperti itu, dia akan bertemu Mama dan Papa di sana. Ia akan bertemu Alden—putranya, dan bermain bersama di atas sana. Dia tidak perlu menahan sakit di payudaranya yang penuh karena asinya yang keluar percuma. Dia tidak akan merasa sakit untuk pemulihan pasca operasi cesar. Dia tidak akan merepotkan Eve lagi, dia akan terlepas dari rasa sakit yang setiap hari menghantuinya.
Sampai tiba-tiba, seseorang menariknya dalam dekapan. “Daisy!”
Mata hijau itu lagi—Arthur. Daisy dapat melihat dengan jelas kekhawatiran di mata hijau meneduhkan milik Arthur.
Sekali gerak, Arthur menggendong tubuh lemas Daisy. Lelaki itu berjalan setengah berlari menuju rumah sakit, sesekali kepalanya ia tolehkan ke bawah untuk melihat kondisi Daisy.
“Biarkan aku mati, biarkan aku mati!” racau Daisy.
Sebelum Daisy benar-benar kehilangan batas kesadarannya, sayup-sayup ia mendengar suara Arthur yang terdengar bagai gema di kepalanya.
“Aku tidak akan membiarkanmu mati! Aku mencintaimu, Daisy.”
"Bagaimana jika honeymoon bersama?"Austin yang ada di sebelah Arthur sampai tersedak ketika sang istri mengatakan hal itu.Mereka berempat---Arthur, Daisy, Eve, dan Austin. Sedang makan malam bersama di sebuah restoran yang tidak jauh dari toko kue Daisy. Reunian dadakan, setelah hampir empat bulan tidak bertemu karena Eve menemani Austin ke luar negeri."Honeymoon lagi?" Austin agaknya keberatan. "Bulan kemarin kau sudah memintanya, sayang."Daisy yang mulai tahu akan ada perdebatan di antara pasangan itu, akhirnya bersuara. "Honeymoon, ke mana?""Ya, ke mana saja. Berempat.""Aku keberatan," sahut Arthur yang sejak tadi hanya diam, menyimak.Daisy sebenarnya ingin protes, tetapi ketika ia tahu mata Arthur mengarah ke mana, ia tidak jadi protes. "Aku tidak bisa untuk beberapa bulan ini.""Ya, tidak seru sekali." Eve menghela napas, kecewa."Tunggu sampai bayiku lahir dulu," ucap Daisy.Kehamilannya sudah memasuk
"Aku sudah memaafkan mereka," ungkap Daisy, mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polosnya bersama Arthur. Arthur yang hanya terpejam, mengangguk singkat. "Aku tahu kau sangat baik," bisiknya, mengecup puncak kepala Daisy begitu lama. "Mungkin, hukuman itu membuat Layton dan Seryl tidak bisa menikmati kebersamaan merawat anak mereka. Aku sering berpikir, apakah aku terlalu jahat menjebloskan lelaki itu ke penjara?" Arthur terkekeh. "Tidak ada yang jahat. Itu sudah menjadi tanggung jawab Layton. Berani berbuat berarti berani menanggung konsekuensi, sayang." Sejenak, Daisy menikmati usapan lembut Arthur di perut besarnya. Sebelum merespon ucapan Arthur. "Termasuk Seryl juga?" "Ya, Seryl dan mamanya juga pantas mendapatkan semuanya. Kau sudah lama tersiksa, sayang. Sekarang giliranmu bahagia, bukan?" Balas dendam bukan solusi terbaik untuk sebuah masalah. Meski Daisy sempat kesal dan membenci, bagaimana pun juga Seryl adalah keluarga.
Kring ... kring ....Bel yang menandakan pelanggan baru saja masuk ke dalam toko kue kembali terdengar. Daisy menunjukkan senyum manisnya dan berdiri dari tempatnya duduk."Selamat datang di toko DaisyMilk, ada yang bisa saya bantu?"Daisy memberikan buku menu yang berisi bermacam-macam roti yang ada di toko ini. Toko kue peninggalan Mama Erisya yang sedikit diubah Arthur menjadi toko minimalis.Setelah usia kandungan Daisy memasuki enam bulan. Ia diberi kesibukan untuk mengurus toko bernama DaisyMilk ini bersama empat karyawan lain yang bertugas di dapur."Baik, satu kue tart yang akan diambil besok, ya. Mohon dicek kembali pesanan anda."Daisy menyodorkan tulisan pesanan yang sudah ia tulis di note pada pelanggan.Sudah pukul dua lewat lima belas menit. Waktunya Daisy untuk pulang ke rumah, tetapi masih ada beberapa pesanan yang belum dicek ulang."Nona, lebih baik istirahat saja. Nanti biar saya yang menyelesaikan pesanan."
Dokter dan beberapa perawat mencoba untuk menenangkan Seryl yang histeris karena kontraksi. Sementara Daisy sudah tidak tahan lagi harus terus berdiri dengan tangan yang di genggam Seryl kuat-kuat. "Dokter, aku sudah tidak kuat," lirih Daisy, memegang perutnya sendiri yang sejak tadi kram. Arthur sedang keluar untuk menelepon polisi. Tidak ada keluarga lain yang bisa dihubungi dan satu-satunya orang yang dapat menemani Seryl melahirkan adalah Layton. "Nona, kau bisa duduk dulu di sini. Perutmu kram?" Daisy mengangguk. Seorang suster memberikan kursi pada Daisy dan membantu gadis itu untuk duduk. Jeritan Seryl sama sekali tidak bisa membuatnya tenang. Daisy diselimuti rasa khawatir juga mengenai persalinan ini. Tadi, ia sempat mendengar percakapan Arthur dengan dokter yang menangani Seryl. Ketuban yang pecah dini, membuat bayi di dalam rahim Seryl kekurangan oksigen. "Daisy," panggil Arthur. Bagaimana?" "Perizinan
2 bulan kemudian .... Arthur menatap setiap inci rumah peninggalan Erisya. Menyerap semua memori dan memutarnya kembali dalam kepala. Kenangan demi kenangan muncul, bagai skenario indah yang Tuhan ciptakan untuk Arthur. "Jika memang belum siap, kenapa terburu-buru?" Daisy mengusap bahu Arthur sebagai bentuk menenangkan. "Menunggu terlalu lama akan semakin membuatku sulit melepaskan ini semua, Daisy." Arthur memilih untuk menjual rumah peninggalan Erisya, karena tidak ada yang akan menempati rumah itu. Ia sudah bertekad untuk pindah ke rumah sederhana yang dibangun untuk Daisy. "Apa kita pindah lagi saja di sini? Kita bisa menjual rumah baru kita, sayang," putus Daisy. "Tidak, kita harus bisa merelakan Mama dan semua kenangannya." Dua bulan kepergian Mama, baik Arthur dan Daisy, mereka sama-sama merasakan ruang kosong di hati masing-masing. Mereka kehilangan sosok yang paling berjasa dan dicintai. Terlalu larut dalam kes
"Mama!"Arthur berlari sekuat tenaga untuk bisa cepat sampai di ruang rawat inap Mama. Ia bahkan sampai menabrak beberapa perawat hingga peralatan medis yang mereka bawa terjatuh.Dia tidak peduli lagi, Arthur terus berlari.Tapi, ternyata sudah terlambat.Tubuh Mama sudah ditutup dengan kain putih, dengan Daisy yang menangis meraung-raung memeluk jasad Mama. Entah sejak kapan gadis itu ada di sini, Arthur bahkan lupa jika Daisy ada di sini. Ia terlalu kalut.Arthur berjalan perlahan untuk mendekat. Ia tak menyangka hal ini akan terjadi dalam hidupnya. "Mama." Hanya itu yang bisa ia keluarkan, berharap ketika Arthur memanggil Mamanya lagi, beliau akan menjawab dengan suara merdunya."Mama," panggil Arthur sekali lagi, membuka penutup kain di wajah Mama dengan tangan yang gemetar.Arthur dapat melihat wajah Mama yang begitu pucat dan bibir yang sudah membiru. Sakit sekali, sesak sekali. Lelaki itu tidak dapat menggambarkan bagaimana ha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen