Kehamilan adalah sebuah proses yang membuat wanita berpasrah kepada kekuatan Tuhan yang tidak terlihat di balik semua takdir kehidupan manusia. Kehamilan juga sangat menakjubkan, ia bisa mengubah mental seorang wanita menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri.
Begitu pula dengan yang dialami Tatu. Ia menjadi pribadi yang berbeda, rasa malasnya yang dulu sering melanda perlahan terkikis. Dia tidak ingin sifat dasar keluarganya akan menurun pada anaknya kelak. Yaitu malas. Jika ia malas karena rasa lelah setelah bekerja. Berbeda dengan kakak tirinya. Di umur hampir menginjak 30 tahun, pria itu masih saja selalu merecokinya. Tatu masih dongkol dengan bapaknya yang meminta uang, kakak tirinya pun setali tiga uang.
Setelah kemarin dipusingkan dengan Mbak Ayu yang menuduhnya dengan fakta yang tak terpikirkan olehnya. Tatu berhasil berkelit lagi. Dan melepaskan diri dari wanita julid itu. Namun kesialannya belum berakhir. Setelah makan malam sederhananya, ya, tatu hanya makan malam dengan telur dadar dan sambal. Dia berniat akan lebih hemat. Namun sepertinya rencana itu hanya akan menjadi isapan jempol. Karena keluarganya bahkan tidak pernah membiarkan ia bernapas lega.
Panggilan dari kakak tirinya tidak ia hiraukan, ia tahu apa yang akan kakak tirinya itu sampaikan. Uang, uang dan uang, walaupun rentetan pesan memenuhi notifikasi. Tatu tetap tak bergeming, ia mencoba tetap acuh. Setelah membuat susu untuk ibu hamil, Tatu segera mengistirahatkan badannya. Mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk. Dia sengaja tidak mematikan ponselnya. Karena itu seperti ia adalah seorang pengecut, dan Tatu bukan orang seperti itu. Maka biarkanlah.
Pagi ini, setelah sarapan ia segera berangkat bekerja. Ia masih tak memperdulikan ponselnya. Ia ingin hati dan pikirannya tetap waras, beruntung kehamilannya yang masih belum tahu usianya tidak merepotkan. Hanya sesekali ia akan muntah, tapi tidak setiap hari maupun setiap pagi seperti kebanyakan teman-temannya. Tatu beruntung, calon anaknya tidak merepotkan.
Tatu berencana mengunjungi dokter yang selama ini menanganinya. Ia ingin memastikan usia kehamilan dan juga kondisi rahimnya. Tidak ia pungkiri, perkataan Josh saat kunjungan dadakannya membuat Tatu berpikir dan juga mempertimbangkan. Ia mungkin tidak lagi peduli dengan Josh. Tapi dia peduli dengan anak lelaki itu. Eh. Tentu saja, karena ia adalah ibunya bukan? Dan janin itu berada di rahimnya.
Tatu sedang berada di depan pos satpam, saat Lara menepuk pundaknya pelan. Ibu dua orang anak itu tersenyum manis, Tatu membalas senyumnya lalu kembali memfokuskan pandangannya pada ponsel di tangan. Ia masih sibuk memesan taksi online. Ia akan ke rumah sakit, janji temu dengan dokter Obgyn pukul tujuh malam nanti, dua jam sekiranya cukup waktu yang ia butuhkan untuk menuju rumah sakit.
“Yah, dikacangin nih,” protes Lara. Mengerucutkan bibirnya dan memalingkan muka dari Tatu. Tatu berdecak, “Ah elah, ngambeg gitu doang. Ga dikasih sama Pak Gary ya … marahnya ke aku!” sungut Tatu. Menoel dagu Lara dengan gemas.
“Aku mau ke dokter Farida ni, Ra. Udah mau habis obatku,” ujar Tatu. Mencoba memberi alasan, supaya Lara tidak curiga. Memasukkan ponselnya pada bagian depan tas kerjanya. Akhir bulan memang biasa ia memeriksakan penyakitnya dan meminta resep.
Lara menatap Tatu dengan alis bertaut menggigit ujung bawah bibirnya seperti mengingat sesuatu. “Memang tanggal ini? Kayaknya ga deh … “ Lara masih mencoba berpikir, Tatu menyentil kening Lara. “Aku maunya sekarang, ga mau nunggu obatku habis. Ga mau ‘lah kesakitan, ga ada kamu yang bisa aku repotin,” kilah Tatu. Jantungnya sudah berdendang, takut Lara akan curiga.
“Kenapa ga bareng aku aja? Mas Gary masih sama Mr. Trevor. Bentar juga keluar,” protes Lara. Merasa Tatu menghindarinya. Biasanya sahabatnya itu tak segan-segan meminta mereka menunggu untuk ikut bareng kalau akan ke pusat kota. Maklum lokasi pabrik tempat mereka bekerja di pinggiran kota, dan memerlukan waktu satu setengah jam perjalanan menuju rumah sakit besar ataupun pusat perbelanjaan.
“Sorry, soyongku ulu ulu. Aku mau belajar mandiri. Males lah bareng kalian mah, Pak Gary nyosor mulu, heran deh … kayak masih pacaran aja kalian ini. Aku ga kuat kalo harus ngeliat adegan dewasa terus,” pura-pura cemberut. Tatu memberikan alasan yang masuk akal. Karena memang seperti itu kenyataanya. Membuat Lara spontan membekap mulut Tatu.
“Bisa ga sih, ini bibir digembok. Hadeh … masih banyak orang gini, Ta,” Lara dengan gemas memeluk kepala Tatu dengan masih membungkam mulutnya, Tatu hanya terkekeh. Melihat sekeliling pos satpam dan halaman parkir pabrik yang memang masih banyak karyawan yang sedang menunggu jemputan mereka, ataupun bercengkrama dengan teman sejawat.
Tatu mencoba melepaskan telapak tangan Lara pada mulutnya. “Eh itu, taksi aku datang Ra, aku duluan ya? Ga usah kangen, besok juga ketemu lagi,” mengedipkan sebelah matanya, Tatu mencuri cium ke pipi Lara dan berlari menuju taksi online yang menunggunya di pinggir jalan masuk pabrik. Lara mendengus tapi tetap tersenyum dan melambai.
Tatu sempat tertidur di dalam taksi, setelah menahan kantuk saat jam kerja tadi. Walaupun hanya satu jam tertidur di dalam taksi, tapi Tatu merasa badannya sudah segar. Jalanan yang macet membuat perjalanan ke rumah sakit menjadi sedikit lebih lama. Beginilah jika ia memilih waktu jam pulang kerja. Tapi ia tidak mempunyai pilihan lain.
Dokter Farida hanya praktek pada hari kerja, karena ia menggunakan asuransi wajib untuk seluruh rakyat indonesia. Jadi dia harus rela berjibaku dengan kemacetan dan kebosanan di sepanjang perjalanan. Meneguk air mineral yang memang selalu ia bawa menggunakan botol plastik dengan merk favorit Emak-emak. Ia mencoba mengalihkan rasa gugup dan takut yang menyelimuti.
Tatu takut jika kehamilannya akan berpengaruh buruk tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk sang jabang bayi. Sesampai di rumah sakit, Tatu mampir ke arah mushola. Menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang pernah taat, lalu khilaf.
Yah, begitulah manusia. Disaat dekat dengan Tuhan, setan pun berlomba-lomba menggoda iman.
Dan ternyata iman Tatu tak sekuat iman sahabatnya. Ck, sahabatnya memang beriman tebal, tak usah diragukan lagi. Setelah kegiatannya di mushola kecil rumah sakit berakhir. Tatu menuju pendaftaran, mengkonfirmasi kedatangannya.
Tidak menunggu waktu lama, namanya dipanggil, ia sudah mengenal beberapa perawat. Salah satunya Mas Aji, bagian pendaftaran. Selama hampir empat tahun menjadi pasien tetap yang jadwalnya selalu bolong-bolong. Mas Aji adalah orang yang paling sering memberikan peringatan dan teguran, karena sudah menganggap Tatu seperti adiknya dan kebetulan rumah sakit itu bekerja sama dengan pabrik tempat ia bekerja.
“Assalamu’alaikum Dokter!” sapa Tatu saat memasuki ruang pemeriksaan. Dokter Farida, tersenyum menyambut kedatangan pasien setianya. Dokter yang sudah berusia setengah abad itu berdiri menyambut Tatu, menerima uluran tangan dan ciuman di punggung tangannya yang mulai mengeriput.
“W*’alaikumsalam, Alhamdulillah akhirnya datang juga. Hayoo berapa lama absen? Ga ada ngabar-ngabarin juga loh!” jawab Dokter dengan raut wajah dibuat kecewa karena absennya beberapa bulan.
“Hehe … Tatu sibuk Dok. Banyak lembur,” kilah Tatu. Tatu menggigit bibir bawahnya, mencoba meredakan gugup.
“Ada apa, Ta? Ada yang mengganggu perasaan kamu? Apa ada yang terjadi selama kamu tidak memeriksakan diri?” Dokter Farida menyadari ketidak nyamanan Tatu.
“Dok … Tatu itu Dok … “ ucap Tatu meremas dua tangannya, kebingungan bagaimana mengatakan yang sedang terjadi padanya. Menatap takut-takut Dokter yang tersenyum lembut, menatap Tatu sabar.
“Iya, Sayang. Ada apa?” ulangnya dengan lembut, membuat Tatu semakin tidak enak. Dokter Farida selalu sabar dan memahami Tatu selama ia menjadi pasien beliau.
“Ta-Tatu ha--ham-hamil Dok … “
“Tatu hamil, Dok … “ ucap Tatu lirih menundukkan kepalanya dalam. Kerutan di alis Dokter Farida menandakan ada kecewa, heran dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Dia tahu Tatu belum berkeluarga, dan riwayat penyakitnya. “Ayo berbaring, kita periksa dulu,” Dokter Farida berdiri dari kursi kebesarannya, mengulurkan tangan mengajak Tatu menuju ranjang periksa. Tatu menghela napas lega, ia ketakutan. Dokter Ida menuntun Tatu berbaring pada ranjang, perawat membantunya menyingkap seragam Tatu, perut yang semula rata sudah kelihatan menyembul. “Sekarang seperti orang cacingan ya dok? Apa orang ga pernah olahraga?” kelakar Tatu ngawur. Demi mengalihkan kegugupannya, Dokter Farida hanya terkekeh dengan guyonan receh Tatu. “Ini mah kayak orang makan ngabisin menu di warteg,” timpal Dokter cantik itu dengan senyum mengembang. Rasa dingin dari gel yang dioleskan pada perut bawah Tatu membuat wanita muda itu begidik. “Coba kita lihat ke layar,” instruksi Dokter Ida, membuat Tatu mendonga
“Ta, kamu ga apa-apa?” tanya Ayu mendekap Tatu yang gemetaran Sementara, kakak tirinya melarikan diri setelah sebagian penghuni kost berhamburan dan berteriak meminta tolong. “Minum dulu, Ta,” Dinda salah satu penghuni kost lain mengulurkan mug teh hangat untuk Tatu minum. Air mata masih menganak sungai dari kelopak mata bulat milik Tatu. Hanya beberapa tegukan, penghuni kost lain dan beberapa warga terdekat masih berkerumun di depan kost. Ya, mereka memang mengenal Tatu. Karena semenjak mulai bekerja di pabrik Fiskar lima tahun lalu. Tatu tidak pernah berpindah kost, dan ia tidak ragu untuk bersosialisasi terhadap warga sekitar. “Neng Tatu, atuh kenaon … “ Bu Iroh, penjual pecel depan kost berhambur masuk, logat khas sundanya menggema di kesunyian kamar Tatu. Dinda, Mbak Ayu dan bebera
Tatu hanya membatu, saat rindu menjadi temu yang ia sudah nyatakan tak akan mau. Namun Tuhan tahu, kepada siapa hatinya hanya merindu dan bibir ingin berucap ‘aku membutuhkanmu’. Saat iris mata bertemu tak ada yang bisa meragu, keduanya tak bisa berpaling dari rasa yang sama-sama menggebu. Dengan jantung yang bertalu, Tatu memberanikan diri menyapa. "Ng-ngapain kamu di sini Josh?" cicitnya gagu. Josh naik ke teras, menatap nyalang pria dengan baju batik di hadapan Tatu. "Siapa yang hampir di perkosa? Jawab saya Pak!" seru Josh, dengan tak sabaran. Pak RT berdiri wajahnya memucat, tubuhnya sedikit gemetar. Berhadapan dengan pria asing, membuat nyali Pak RT menciut. "Bukan, eh maaf bapak siapa?" tanya Pak RT gugup. "Saya? Pengacara. Ada apa? Kenapa anda datang ke kost Tatu pagi-pagi seperti ini? Bukan seharusnya bertamu itu sore atau malam hari?" Josh mencoba mengintimidasi, tapi malah membuat Tatu menahan kekehannya. 'Lha dia nyuruh orang bertamu jangan pagi-pagi, dia sendiri nga
Tatu terhenyak namun enggan membuka mata, semburan dingin dari arah depan juga aroma terapi yang sangat familiar menyamankan indra penciumannya, terdengar suara-suara berisik dan raungan knalpot yang mengganggu telinganya. Mencoba merenggangkan badan, tangan kanannya menangkap wajah seseorang. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan Ganjar tidur di samping membuat Tatu segera memaksa matanya untuk terbuka. “Arrrgghhh, di mana ini … di mana ini …!!” teriak tatu panik, ia terbangun menoleh ke kanan dan ke kiri terkejut bukan main, karena di depan matanya adalah jalan toll dengan truk yang berjalan pelan. Bayangan ganjar menculiknya membuat Tatu ketakutan. Cengkraman di tangan kanannya, membuat Tatu menoleh dengan cepat. “Ania sayang, calm down. Baby,” ucap Josh dengan suara pelan, membawa jemari Tatu ke mulutnya dan mengecupinya. “Bagaimana bisa kamu membawaku, Josh!” seru Tatu tak terima, otaknya masih mencerna dan memikirkan. Bagaimana Josh bisa membawanya ke dalam mobil dan sekaran
“Josh! Aku mau pulang!” Tatu berdiri, meraih tas di sofa. Dia hendak berjalan ke arah pintu, saat tangan besar mencekal pergelangan tangannya. “Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini.” Josh menarik Tatu hingga tubuhnya membentur tubuh lelaki besar itu. Josh segera mengungkung wanita yang masih memakai seragam itu dalam dekapannya. Tatu mendesah lelah, mendongakkan kepala demi melihat wajah pria pemaksa yang sudah membawanya ke apartemen mewah itu. “Kamu tidak punya hak untuk memaksaku tinggal di tempat ini,” katanya, membawa dua tangannya ke dada Josh dan mendorong pelan. Namun sia-sia, tenaganya tak sebanding dengan tenaga pria kekar itu. Josh menunduk, menatap lekat iris sewarna jelaga yang menjadi favoritnya. “Humm, seperti itu?” ucap Josh dengan seringai licik. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada pinggang Tatu dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya bergerak ke atas hingga tengkuk. Dia sangat hapal, bagaimana menjinakkan gadis keras kepala yang sudah mengisi hari-ha
Tatu mencoba memuka pintu kamar Josh. Sialnya, lelaki itu mengunci dari luar, entah apa yang ada di pikirannya. Padahal Tatu tak berencana kabur, percuma saja ‘kan? Sudah lewat tengah malam. “Josh!” Tatu masih tidak menyerah memanggil. Setelah terbangun tadi dan tak menemukan Josh di sampingnya. Tatu mengabaikan kantuk dan rasa lelah, ia segera ke kamar mandi mencuci muka lalu mencari baju. Ia termangu di depan almari, antara lega dan juga merasa tak mempunyai harga diri. Tumpukan baju yang Josh persiapkan untuknya masih tersusun rapi. Lengkap, mulai dari pakaian dalam hingga dress. Dengan lemas ia menarik celana panjang dan sweater segera memakainya. Bunyi kunci yang diputar, memaksa Tatu untuk mundur. Dan Josh berdiri dengan celana pendek yang menggantung tak sopan di pinggang rampingnya. “Ada apa, Baby? Kenapa bangun? Apa lapar lagi?” tanya Josh perhatian. Tatu menggeleng, mengabaikan Josh. Ia berjalan keluar kamar, menuju dapur dan mengambil air minum. “Siapa tadi yang dat
Tatu mengusap air matanya kasar, ia seharusnya tak menjadi lemah. Sudah terbiasa diabaikan sejak kecil, seharusnya dia tidak terbawa perasaan. Ibunya memang seperti itu ‘kan? Entah bagaimana perlakuan ayah tirinya saat pria itu datang nanti. Setelah ibunya kembali, Tatu segera makan. Mandi dan mengunci kamar. Ia menyumpal telinganya dengan earphone, mencoba mengistirahatkan badannya yang lelah dan matanya yang sudah memberat. Hampir empat jam ia mengistirahatkan otak dan tubuhnya. Suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terjaga. Dan riuh suara tawa yang terdengar tak terlalu jauh membuat tatu berdecak. Pasti kawan-kawan preman sang ayah tiri. Sepertinya pulang ke rumah orang tuanya bukan pilihan yang tepat. Ini sama saja seperti keluar dari kandang buaya masuk ke dalam mulut ular. Tatu duduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya lalu meraih air mineral di samping ranjang kecilnya dan menenggak sampai habis. Ketukan tak sabaran membuatnya harus keluar, dengan muka ku
Tatu memutar badannya dengan pelan, lelaki tinggi dengan kulit coklat itu tersenyum simpul. Sudah hampir enam tahun tak bertemu, lelaki itu masih terlihat sama. tatu tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.“Arga?” Tatu maju selangkah, tidak tahu harus mengatakan apa. Fakta bahwa lelali di depannya adalah seseorang yang pernah ibunya jodohkan demi hal yang belum Tatu ketahui.“Apa kabar?” Pertanyaan singkat Arga yang terdengar ramah membuat tatu meringis. Pria berwajah manis itu mengulurkan tangan dengan senyum masih tersungging.“Baik, kamu?” Tatu menyambut uluran tangan lelaki itu.“Baik juga, mau kemana? Lama gak ketemu, jarang pulang?” Pe