Share

# 5

Kehamilan adalah sebuah proses yang membuat wanita berpasrah kepada kekuatan Tuhan yang tidak terlihat di balik semua takdir kehidupan manusia. Kehamilan juga sangat menakjubkan, ia bisa mengubah mental seorang wanita menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri.

Begitu pula dengan yang dialami Tatu. Ia menjadi pribadi yang berbeda, rasa malasnya yang dulu sering melanda perlahan terkikis. Dia tidak ingin sifat dasar keluarganya akan menurun pada anaknya kelak. Yaitu malas. Jika ia malas karena rasa lelah setelah bekerja. Berbeda dengan kakak tirinya. Di umur hampir menginjak 30 tahun, pria itu masih saja selalu merecokinya. Tatu masih dongkol dengan bapaknya yang meminta uang, kakak tirinya pun setali tiga uang. 

Setelah kemarin dipusingkan dengan Mbak Ayu yang menuduhnya dengan fakta yang tak terpikirkan olehnya. Tatu berhasil berkelit lagi. Dan melepaskan diri dari wanita julid itu. Namun kesialannya belum berakhir. Setelah makan malam sederhananya, ya, tatu hanya makan malam dengan telur dadar dan sambal. Dia berniat akan lebih hemat. Namun sepertinya rencana itu hanya akan menjadi isapan jempol. Karena keluarganya bahkan tidak pernah membiarkan ia bernapas lega.

Panggilan dari kakak tirinya tidak ia hiraukan, ia tahu apa yang akan kakak tirinya itu sampaikan. Uang, uang dan uang, walaupun rentetan pesan memenuhi notifikasi. Tatu tetap tak bergeming, ia mencoba tetap acuh. Setelah membuat susu untuk ibu hamil, Tatu segera mengistirahatkan badannya. Mengabaikan semua pesan dan telepon yang masuk. Dia sengaja tidak mematikan ponselnya. Karena itu seperti ia adalah  seorang pengecut, dan Tatu bukan orang seperti itu. Maka biarkanlah.

Pagi ini, setelah sarapan ia segera berangkat bekerja. Ia masih tak memperdulikan ponselnya. Ia ingin hati dan pikirannya tetap waras, beruntung kehamilannya yang masih belum tahu usianya tidak merepotkan. Hanya sesekali ia akan muntah, tapi tidak setiap hari maupun setiap pagi seperti kebanyakan teman-temannya. Tatu beruntung, calon anaknya tidak merepotkan.

Tatu berencana mengunjungi dokter yang selama ini menanganinya. Ia ingin memastikan usia kehamilan dan juga kondisi rahimnya. Tidak ia pungkiri, perkataan Josh saat kunjungan dadakannya membuat Tatu berpikir dan juga mempertimbangkan. Ia mungkin tidak lagi peduli dengan Josh. Tapi dia peduli dengan anak lelaki itu. Eh. Tentu saja, karena ia adalah ibunya bukan? Dan janin itu berada di rahimnya.

Tatu sedang berada di depan pos satpam, saat Lara menepuk pundaknya pelan. Ibu dua orang anak itu tersenyum manis, Tatu membalas senyumnya lalu kembali memfokuskan pandangannya pada ponsel di tangan. Ia masih sibuk memesan taksi online. Ia akan ke rumah sakit, janji temu dengan dokter Obgyn pukul tujuh malam nanti, dua jam sekiranya cukup waktu yang ia butuhkan untuk menuju rumah sakit.

“Yah, dikacangin nih,” protes Lara. Mengerucutkan bibirnya dan memalingkan muka dari Tatu. Tatu berdecak, “Ah elah, ngambeg gitu doang. Ga dikasih sama Pak Gary ya … marahnya ke aku!” sungut Tatu. Menoel dagu Lara dengan gemas.

“Aku mau ke dokter Farida ni, Ra. Udah mau habis obatku,” ujar Tatu. Mencoba memberi alasan, supaya Lara tidak curiga. Memasukkan ponselnya pada bagian depan tas kerjanya. Akhir bulan memang biasa ia memeriksakan penyakitnya dan meminta resep. 

Lara menatap Tatu dengan alis bertaut menggigit ujung bawah bibirnya seperti mengingat sesuatu. “Memang tanggal ini? Kayaknya ga deh … “ Lara masih mencoba berpikir, Tatu menyentil kening Lara. “Aku maunya sekarang, ga mau nunggu obatku habis. Ga mau ‘lah kesakitan, ga ada kamu yang bisa aku repotin,” kilah Tatu. Jantungnya sudah berdendang, takut Lara akan curiga. 

“Kenapa ga bareng aku aja? Mas Gary masih sama Mr. Trevor. Bentar juga keluar,” protes Lara. Merasa Tatu menghindarinya. Biasanya sahabatnya itu tak segan-segan meminta mereka menunggu untuk ikut bareng kalau akan ke pusat kota. Maklum lokasi pabrik tempat mereka bekerja di pinggiran kota, dan memerlukan waktu satu setengah jam perjalanan menuju rumah sakit besar ataupun pusat perbelanjaan.

Sorry, soyongku ulu ulu. Aku mau belajar mandiri. Males lah bareng kalian mah, Pak Gary nyosor mulu, heran deh … kayak masih pacaran aja kalian ini. Aku ga kuat kalo harus ngeliat adegan dewasa terus,” pura-pura cemberut. Tatu memberikan alasan yang masuk akal. Karena memang seperti itu kenyataanya. Membuat Lara spontan membekap mulut Tatu. 

“Bisa ga sih, ini bibir digembok. Hadeh … masih banyak orang gini, Ta,” Lara dengan gemas memeluk kepala Tatu dengan masih membungkam mulutnya, Tatu hanya terkekeh. Melihat sekeliling pos satpam dan halaman parkir pabrik yang memang masih banyak karyawan yang sedang menunggu jemputan mereka, ataupun bercengkrama dengan  teman sejawat. 

Tatu mencoba melepaskan telapak tangan Lara pada mulutnya. “Eh itu, taksi aku datang Ra, aku duluan ya? Ga usah kangen, besok juga ketemu lagi,” mengedipkan sebelah matanya, Tatu mencuri cium ke pipi Lara dan berlari menuju taksi online yang menunggunya di pinggir jalan masuk pabrik. Lara mendengus tapi tetap tersenyum dan melambai. 

Tatu sempat tertidur di dalam taksi, setelah menahan kantuk saat jam kerja tadi. Walaupun hanya satu jam tertidur di dalam taksi, tapi Tatu merasa badannya sudah segar.  Jalanan yang macet membuat perjalanan ke rumah sakit menjadi sedikit lebih lama. Beginilah jika ia memilih waktu jam pulang kerja. Tapi ia tidak mempunyai pilihan lain. 

Dokter Farida hanya praktek pada hari kerja, karena ia menggunakan asuransi wajib untuk seluruh rakyat indonesia. Jadi dia harus rela berjibaku dengan kemacetan dan kebosanan di sepanjang perjalanan. Meneguk air mineral yang memang selalu ia bawa menggunakan botol plastik dengan merk favorit Emak-emak. Ia mencoba mengalihkan rasa gugup dan takut yang menyelimuti.

Tatu takut jika kehamilannya akan berpengaruh buruk tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk sang jabang bayi. Sesampai di rumah sakit, Tatu mampir ke arah mushola. Menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang pernah taat, lalu khilaf.

Yah, begitulah manusia. Disaat dekat dengan Tuhan, setan pun berlomba-lomba menggoda iman. 

Dan ternyata iman Tatu tak sekuat iman sahabatnya. Ck, sahabatnya memang beriman tebal, tak usah diragukan lagi. Setelah kegiatannya di mushola kecil rumah sakit berakhir. Tatu menuju pendaftaran, mengkonfirmasi kedatangannya.

Tidak menunggu waktu lama, namanya dipanggil, ia sudah mengenal beberapa perawat. Salah satunya Mas Aji, bagian pendaftaran. Selama hampir empat tahun menjadi pasien tetap yang jadwalnya selalu bolong-bolong. Mas Aji adalah orang yang paling sering memberikan peringatan dan teguran, karena sudah menganggap Tatu seperti adiknya dan kebetulan rumah sakit itu bekerja sama dengan pabrik tempat ia bekerja.

“Assalamu’alaikum Dokter!” sapa Tatu saat memasuki ruang pemeriksaan. Dokter Farida, tersenyum menyambut kedatangan pasien setianya.  Dokter yang sudah berusia setengah abad itu berdiri menyambut Tatu, menerima uluran tangan dan ciuman di punggung tangannya yang mulai mengeriput.

“W*’alaikumsalam, Alhamdulillah akhirnya datang juga. Hayoo berapa lama absen? Ga ada ngabar-ngabarin juga loh!” jawab Dokter dengan raut wajah dibuat kecewa karena absennya beberapa bulan.

“Hehe … Tatu sibuk Dok. Banyak lembur,” kilah Tatu. Tatu menggigit bibir bawahnya, mencoba meredakan gugup. 

“Ada apa, Ta? Ada yang mengganggu perasaan kamu? Apa ada yang terjadi selama kamu tidak memeriksakan diri?” Dokter Farida menyadari ketidak nyamanan Tatu.

“Dok … Tatu itu Dok … “ ucap Tatu meremas dua tangannya, kebingungan bagaimana mengatakan yang sedang terjadi padanya. Menatap takut-takut Dokter yang tersenyum lembut, menatap Tatu sabar.

“Iya, Sayang. Ada apa?” ulangnya dengan lembut, membuat Tatu semakin tidak enak. Dokter Farida selalu sabar dan memahami Tatu selama ia menjadi pasien beliau.

“Ta-Tatu ha--ham-hamil Dok … “

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Tatu...Banyak sekali orang yg merongrong hidupmu....
goodnovel comment avatar
Humaira Zidny
berat ykin jd kmu Ta......... apa" sndri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status