“Tatu hamil, Dok … “ ucap Tatu lirih menundukkan kepalanya dalam. Kerutan di alis Dokter Farida menandakan ada kecewa, heran dan bahagia yang bercampur menjadi satu. Dia tahu Tatu belum berkeluarga, dan riwayat penyakitnya.
“Ayo berbaring, kita periksa dulu,” Dokter Farida berdiri dari kursi kebesarannya, mengulurkan tangan mengajak Tatu menuju ranjang periksa. Tatu menghela napas lega, ia ketakutan. Dokter Ida menuntun Tatu berbaring pada ranjang, perawat membantunya menyingkap seragam Tatu, perut yang semula rata sudah kelihatan menyembul.
“Sekarang seperti orang cacingan ya dok? Apa orang ga pernah olahraga?” kelakar Tatu ngawur. Demi mengalihkan kegugupannya, Dokter Farida hanya terkekeh dengan guyonan receh Tatu.
“Ini mah kayak orang makan ngabisin menu di warteg,” timpal Dokter cantik itu dengan senyum mengembang. Rasa dingin dari gel yang dioleskan pada perut bawah Tatu membuat wanita muda itu begidik.
“Coba kita lihat ke layar,” instruksi Dokter Ida, membuat Tatu mendongak pada layar yang tertempel di dinding.
“Masyaallah, udah mau 10 minggu loh. Lihat sudah nampak kayak kecebong kecil ya, lucu banget ‘kan?” Dokter Ida menjelaskan dengan antusias. Tatu hanya meringis sedih, 10 minggu usia anaknya. Berarti pertama ia menggunakan test pack janin itu sudah hampir enam minggu.
“Kok bisa hamil dok?” tanya Tatu dengan raut masih tidak terbaca.
“Kamu melakukan hubungan intim kan? Nah, itu sebabnya, ayo nanti saya jelaskan,” Tatu meringis lagi, bukan itu maksudnya. Tentu saja karena bercocok tanam yang menghasilkan anak bukan padi. Tapi, dahulu dokter yang sudah kembali duduk di kursi kebesarannya itu pernah menyatakan Tatu akan sulit memiliki keturunan, tapi tidak mengatakan tidak akan bukan?
“Kamu mengalami nyeri ga, Ta? Atau flek?” tanya dokter Ida dengan mata menatap Tatu lamat-lamat.
“Tidak, Dok. Bahkan atau muntah pun jarang, hanya jika terlalu lapar atau lelah,” jelas Tatu. Memang dahulu jika ia terlambat mengonsumsi obat saat periodenya, rasa sakit akan muncul dan sangat tak tertahankan. Namun sejak dua bulan lalu, rasa itu tidak muncul, hanya sedikit kram di perut bagian bawahnya.
“Begini Ta, karena riwayat penyakit kamu. Sebaiknya kamu harus memeriksakan lebih ekstra, sampai trimester pertama seharusnya kamu kesini dua minggu sekali. Dan pada trimester kedua jika ada flek segera kesini. Karena banyak resiko yang akan kamu tanggung, tidak hanya untuk bayimu tapi untuk keselamatanmu," ujar Dokter Ida dengan pelan dan penuh kelembutan.
"Apakah aku akan mati, Dok?" tanya Tatu lirih, retinanya menatap dokter kesayangannya dengan seksama.
"Jangan berpikiran negatif, kamu wanita kuat dan hebat. Selama kamu tidak merasakan sakit apapun. Semuanya akan baik-baik saja. Ajaklah ayahnya ke sini, dia pun harus tahu kondisimu dengan kehamilan ini," saran Dokter Ida seperti mengejar layangan putus, tak akan bisa ia laksanakan. Tatu akan malas mengejar, biarkan ia abaikan layangan itu.
" Tapi, selain berbahaya untuk Tatu dan calon anak di rahimku apakah ada lagi?" Tatu harus mengetahui semuanya, supaya ia bisa waspada. Dan berhati-hati dengan kahamilannya.
"Beberapa resiko bisa terjadi, Ta. Preeklampsia atau komplikasi jika tekanan darahmu tinggi. Tapi tadi tekanan darahmu bagus. Pertahankan, jang stress, bawa happy aja seperti Tatu yang biasa, okay?" Dokter Ida menepuk punggung tangan Tatu yang terlipat di atas meja
"Dok, apakah penyakit ini bisa disembuhkan?" Tatu baru terpikir sekarang, dulu ia sibuk dengan kuliahnya dan melupakan juga abai terhadap penyakitnya.
"Sebenarnya jika kamu mau, sebelum kamu hamil harus di laparoskopi. Tapi kamu bilang ga usah. Harusnya udah sembuh, loh Ta," Dokter berlesung pipi itu mengingatkan, beberapa kali beliau menawarkan. Tapi karena kendala biaya yang besar, Tatu merasa tidak membutuhkan itu. Toh saat itu ia tak yakin ada yang akan menyukainya bahkan memilikinya.
Ia sempat berpikiran tidak akan menjalin hubungan dengan laki-laki juga menikah. Karena penyakitnya memang menjadi momok menyeramkan. Beberapa kali di tinggalkan membuat Tatu sadar diri, hingga Josh datang menawarkan apa yang disebut pacaran.
Namun ternyata, pacaran yang Josh tawarkan tidak hanya sudah membuai dirinya, tapi juga menjerumuskan Tatu pada dosa zina.
"Bawa ya, ayahnya ke sini?" bujuk Dokter Ida. Tatu mendesah lelah, tak mungkin membawa lelaki itu. Pasti dia akan lari setelahnya, Tatu sangat yakin
"Insyaallah, Dok. Tatu usahakan untuk pertemuan berikutnya," ucap Tatu tak yakin.
“Jangan hanya diusahakan, tapi kamu harus mengupayakan, Ta. Demi keselamatan bayi dan kamu. Jika kamu merasa tidak enak hati, ingat saat kalian membuat. Pasti dengan senang hati ‘kan? Dia harus bertanggung jawab untuk kalian,” remasan pada tangannya menguatkan Tatu dari kerapuhan. Dan Tatu lakukan hanya mengangguk patuh, ada rasa pesimis dalam hatinya tapi, ia akan mengupayakan seperti nasehat Dokter Ida.
Dia harus berjuang untuk hidup dan matinya karena kehamilan itu. Josh memang mengatakan akan bertanggung jawab, dan lelaki memang harus membuktikan kata-kata yang sudah ia lontarkan.
Di akhir sesi pertemuan itu, banyak wejangan yang diberikan Dokter Ida. Kata-kata penguat dan semangat. Seandainya Lara tahu, mungkin ia sudah menumpahkan tangisnya di pangkuan sahabatnya itu. Tapi Tatu terlalu pengecut. Raut kekecewaan wanita ayu itu sudah membayangi pelupuk matanya. Walaupun Lara tidak akan membuangnya, tapi kekecewaan yang ia torehkan nantinya yang akan membuatnya membuang diri.
***
Sudah hampir pukul sebelas saat Tatu menginjakkan kaki di depan kost. Ia berjalan menunduk dengan kuyu dan layu. Banyak yang ia pikirkan hingga ia tak menyadari, seseorang sedang menunggu di depan teras kamarnya yang masih gelap, sosok itu menutupi wajahnya dengan topi dan tertidur di kursi.
Tatu memutar kunci, membuka pintu dan menyalakan lampu, kamar dan juga teras.
“Baru pulang, kowe?” suara serak dan berat khas orang bangun tidur mengagetkan Tatu. Menengok arah sumber suara, Tatu mendengus tak kentara, untuk apa kakak tirinya datang? Pasti dia jadi kernet truk yang akan menyebrang ke luar pulau jawa.
“Iya, Mas ngapain di sini?” selidik Tatu dengan raut bosan.
“Kowe tak, telpon ga ngangkat, di sms ra bales,(kamu aku telepon ga mengangkat, di sms juga tidak membalas)” ucap Ganjar dengan sinis. Melempar tas kerjanya ke sembarang arah, Tatu menutup pintu kamarnya lagi, berdiri di hadapan pria yang duduk nyaman di kursi tamu.
“Mau apa, Mas? Tatu kerja, ga sempet buka HP,” kilah Tatu,
“Alesan kamu! Bilang aja kamu ga mau bantuin aku, iya to!” seru Ganjar. Bangkit dari duduknya dan mencoba membuka kamar Tatu.
“Mas, apa-apaan kamu?” Tatu maju, menahan Ganjar yang hendak masuk.
“Mana tasmu? Kamu pasti punya uang kan? Jangan pelit! kalau kamu ga bisa ngambilin , aku bisa ambil sendiri,” Ganjar mendorong pundak Tatu, beruntung Tatu bisa menyeimbangkan badannya dengan berpegangan pada tiang.
Ganjar, masuk dan meraih tas Tatu yang tadi ia lempar tadi, mengeluarkan semua isi tas hingga berserakan di lantai. Tatu masuk, hendak mengambil dompet yang terlempar ke ranjang. Ganjar dengan cepat mengambil, hingga tarik menarik pun tak dapat dihindari.
“Serahkan!” pinta Ganjar dengan berteriak. Suara keras Ganjar tentu membuat penghuni kost lain mendengar, tapi belum ada yang keluar.
“Jangan, Mas. Tatu ga punya uang … “ mohon Tatu. Tetap mempertahankan dompetnya.
“Atau aku akan perkosa kamu!” Ganjar meraih kerah kemeja Tatu dan menariknya dengan kuat.
“MAS!! JANGAANN!!!!
“Ta, kamu ga apa-apa?” tanya Ayu mendekap Tatu yang gemetaran Sementara, kakak tirinya melarikan diri setelah sebagian penghuni kost berhamburan dan berteriak meminta tolong. “Minum dulu, Ta,” Dinda salah satu penghuni kost lain mengulurkan mug teh hangat untuk Tatu minum. Air mata masih menganak sungai dari kelopak mata bulat milik Tatu. Hanya beberapa tegukan, penghuni kost lain dan beberapa warga terdekat masih berkerumun di depan kost. Ya, mereka memang mengenal Tatu. Karena semenjak mulai bekerja di pabrik Fiskar lima tahun lalu. Tatu tidak pernah berpindah kost, dan ia tidak ragu untuk bersosialisasi terhadap warga sekitar. “Neng Tatu, atuh kenaon … “ Bu Iroh, penjual pecel depan kost berhambur masuk, logat khas sundanya menggema di kesunyian kamar Tatu. Dinda, Mbak Ayu dan bebera
Tatu hanya membatu, saat rindu menjadi temu yang ia sudah nyatakan tak akan mau. Namun Tuhan tahu, kepada siapa hatinya hanya merindu dan bibir ingin berucap ‘aku membutuhkanmu’. Saat iris mata bertemu tak ada yang bisa meragu, keduanya tak bisa berpaling dari rasa yang sama-sama menggebu. Dengan jantung yang bertalu, Tatu memberanikan diri menyapa. "Ng-ngapain kamu di sini Josh?" cicitnya gagu. Josh naik ke teras, menatap nyalang pria dengan baju batik di hadapan Tatu. "Siapa yang hampir di perkosa? Jawab saya Pak!" seru Josh, dengan tak sabaran. Pak RT berdiri wajahnya memucat, tubuhnya sedikit gemetar. Berhadapan dengan pria asing, membuat nyali Pak RT menciut. "Bukan, eh maaf bapak siapa?" tanya Pak RT gugup. "Saya? Pengacara. Ada apa? Kenapa anda datang ke kost Tatu pagi-pagi seperti ini? Bukan seharusnya bertamu itu sore atau malam hari?" Josh mencoba mengintimidasi, tapi malah membuat Tatu menahan kekehannya. 'Lha dia nyuruh orang bertamu jangan pagi-pagi, dia sendiri nga
Tatu terhenyak namun enggan membuka mata, semburan dingin dari arah depan juga aroma terapi yang sangat familiar menyamankan indra penciumannya, terdengar suara-suara berisik dan raungan knalpot yang mengganggu telinganya. Mencoba merenggangkan badan, tangan kanannya menangkap wajah seseorang. Jantungnya berdegup kencang. Bayangan Ganjar tidur di samping membuat Tatu segera memaksa matanya untuk terbuka. “Arrrgghhh, di mana ini … di mana ini …!!” teriak tatu panik, ia terbangun menoleh ke kanan dan ke kiri terkejut bukan main, karena di depan matanya adalah jalan toll dengan truk yang berjalan pelan. Bayangan ganjar menculiknya membuat Tatu ketakutan. Cengkraman di tangan kanannya, membuat Tatu menoleh dengan cepat. “Ania sayang, calm down. Baby,” ucap Josh dengan suara pelan, membawa jemari Tatu ke mulutnya dan mengecupinya. “Bagaimana bisa kamu membawaku, Josh!” seru Tatu tak terima, otaknya masih mencerna dan memikirkan. Bagaimana Josh bisa membawanya ke dalam mobil dan sekaran
“Josh! Aku mau pulang!” Tatu berdiri, meraih tas di sofa. Dia hendak berjalan ke arah pintu, saat tangan besar mencekal pergelangan tangannya. “Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini.” Josh menarik Tatu hingga tubuhnya membentur tubuh lelaki besar itu. Josh segera mengungkung wanita yang masih memakai seragam itu dalam dekapannya. Tatu mendesah lelah, mendongakkan kepala demi melihat wajah pria pemaksa yang sudah membawanya ke apartemen mewah itu. “Kamu tidak punya hak untuk memaksaku tinggal di tempat ini,” katanya, membawa dua tangannya ke dada Josh dan mendorong pelan. Namun sia-sia, tenaganya tak sebanding dengan tenaga pria kekar itu. Josh menunduk, menatap lekat iris sewarna jelaga yang menjadi favoritnya. “Humm, seperti itu?” ucap Josh dengan seringai licik. Lelaki itu mengeratkan pelukannya pada pinggang Tatu dengan sebelah tangan, sedang tangan lainnya bergerak ke atas hingga tengkuk. Dia sangat hapal, bagaimana menjinakkan gadis keras kepala yang sudah mengisi hari-ha
Tatu mencoba memuka pintu kamar Josh. Sialnya, lelaki itu mengunci dari luar, entah apa yang ada di pikirannya. Padahal Tatu tak berencana kabur, percuma saja ‘kan? Sudah lewat tengah malam. “Josh!” Tatu masih tidak menyerah memanggil. Setelah terbangun tadi dan tak menemukan Josh di sampingnya. Tatu mengabaikan kantuk dan rasa lelah, ia segera ke kamar mandi mencuci muka lalu mencari baju. Ia termangu di depan almari, antara lega dan juga merasa tak mempunyai harga diri. Tumpukan baju yang Josh persiapkan untuknya masih tersusun rapi. Lengkap, mulai dari pakaian dalam hingga dress. Dengan lemas ia menarik celana panjang dan sweater segera memakainya. Bunyi kunci yang diputar, memaksa Tatu untuk mundur. Dan Josh berdiri dengan celana pendek yang menggantung tak sopan di pinggang rampingnya. “Ada apa, Baby? Kenapa bangun? Apa lapar lagi?” tanya Josh perhatian. Tatu menggeleng, mengabaikan Josh. Ia berjalan keluar kamar, menuju dapur dan mengambil air minum. “Siapa tadi yang dat
Tatu mengusap air matanya kasar, ia seharusnya tak menjadi lemah. Sudah terbiasa diabaikan sejak kecil, seharusnya dia tidak terbawa perasaan. Ibunya memang seperti itu ‘kan? Entah bagaimana perlakuan ayah tirinya saat pria itu datang nanti. Setelah ibunya kembali, Tatu segera makan. Mandi dan mengunci kamar. Ia menyumpal telinganya dengan earphone, mencoba mengistirahatkan badannya yang lelah dan matanya yang sudah memberat. Hampir empat jam ia mengistirahatkan otak dan tubuhnya. Suara langkah kaki di luar kamarnya membuatnya terjaga. Dan riuh suara tawa yang terdengar tak terlalu jauh membuat tatu berdecak. Pasti kawan-kawan preman sang ayah tiri. Sepertinya pulang ke rumah orang tuanya bukan pilihan yang tepat. Ini sama saja seperti keluar dari kandang buaya masuk ke dalam mulut ular. Tatu duduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya lalu meraih air mineral di samping ranjang kecilnya dan menenggak sampai habis. Ketukan tak sabaran membuatnya harus keluar, dengan muka ku
Tatu memutar badannya dengan pelan, lelaki tinggi dengan kulit coklat itu tersenyum simpul. Sudah hampir enam tahun tak bertemu, lelaki itu masih terlihat sama. tatu tersenyum canggung, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.“Arga?” Tatu maju selangkah, tidak tahu harus mengatakan apa. Fakta bahwa lelali di depannya adalah seseorang yang pernah ibunya jodohkan demi hal yang belum Tatu ketahui.“Apa kabar?” Pertanyaan singkat Arga yang terdengar ramah membuat tatu meringis. Pria berwajah manis itu mengulurkan tangan dengan senyum masih tersungging.“Baik, kamu?” Tatu menyambut uluran tangan lelaki itu.“Baik juga, mau kemana? Lama gak ketemu, jarang pulang?” Pe
Pertanyaan Arga tak membuat Tatu terkejut, ia sudah memantapkan hati untuk semua kemungkinan terburuk. Bibir tipis wanita itu tersunging hanya pada bagian ujungnya saja. “Hebat kamu, Ar, bisa tahu. Apa terlihat sekali?” Tatu memalingkan wajah, memandang kemanapun asal tidak pada lelaki di hadapannya. “Di bawah kakimu ada susu yang aku tahu hanya untuk ibu hamil,” kata Arga santai, lelaki itu kembali menyuap makanannya dan menghabiskan dengan cepat. Tatu tak tertarik untuk membahas susu itu. Biarkan Arga dengan asumsinya, ia hanya cukup melihat reaksi pria yang menjadi teman sekolahnya dulu. “Aku tidak akan menghakimimu, bahkan di sini juga banyak kok. Hanya saja kenapa bisa sampai kebobolan. Kita sudah sama-sama dewasa Ta, kamu gak usah sungkan.” Arga menyerup