Suara ketukan di pintu membuat percakapan Kai dan Livi terjeda. Setelah dipersilakan, ada Siska yang masuk sambil membawa proposal yang tadi diminta Livi."Apa itu?" Tanya Kai sambil mengerutkan dahi."Ini proposal untuk DL Grup.""Aku sudah menyuruhmu membuatnya dari seminggu yang lalu. Baru hari ini kamu selesaikan?"Siska menunduk. Dia mencuri pandang ke arah Livi yang santai memainkan ponsel. Sementara Kai memeriksa pekerjaannya. Sudut bibir Siska tertarik, terlihat sekali meremehkan Livi.Perempuan itu langsung berasumsi kalau Livi menemui Kai hanya untuk berduaan. "Dasar murahan," batin Siska culas."Kamu serius mau ajukan ini ke DL Grup?" Kai memandang Siska dari atas map biru yang sedang dia pegang."Tentu saja, proposal saya sangat bagus, detail, juga up to date dengan data pasar saat ini."Kai menghela napas, lalu melirik Livi yang hanya tersenyum samar tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel."Lalu bagaimana dengan ini?" Kai ganti menyodorkan map lain pada Siska. Peremp
Jika di tempat Livi, hari pertama kerja diwarnai dengan tantangan. Maka hal lebih ekstrim terjadi di Harindaya Grup. Sejumlah petinggi perusahaan langsung melayangkan protes, berteriak bahkan sampai mengancam Irfan.Pria yang begitu masuk ke gedung berlantai lima belas itu, langsung mengeluarkan daftar orang yang hari itu juga dia pecat. Beserta bukti kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan."Kamu tidak bisa melakukan ini. Aku ini pamanmu. Dan mereka adalah orang yang berjasa membesarkan nama Harindaya Grup."Mahendra Harindaya, paman Irfan, kakak dari ayah Irfan, berteriak tidak terima di depan sang keponakan yang duduk dengan tenang di kursi yang beberapa waktu lalu adalah milik Mahendra.Di belakangnya ada Melvin Harindaya, putra Mahendra, pria seumuran Irfan yang secara mengejutkan justru naik pangkat jadi wakil Irfan. Sebenarnya Mahendra juga tidak dipecat, hanya dimutasi."Paman pikir juga begitu?""Tentu saja. Kami sudah bersusah payah membesarkan perusahaan ini. Kamu tida
Seminggu berlalu sejak Livi jatuh di kamar mandi. Juga malam pertama Arch dan Livi yang akhirnya terjadi di kamar Arch sendiri, di The Mirror. Livi pulih sepenuhnya dengan pekerjaan baru menunggu. Kai dipastikan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa menarik Livi ke kantor pusat. Pria itu tidak melunak sama sekali saat Livi terus membujuk."Suamimu sudah ACC dan Irfan Harindaya telah kembali ke tempatnya, bawa pimpro kita. Aku harus dapat ganti yang sepadan dong. Ogah rugi aku. Besok pagi kamu harus mulai ngantor. Kerjaan kita banyak."Perkataan Kai lebih pada ultimatum. Dan Livi merasa tidak punya pilihan. Hingga di sinilah dia berada, menghela napas setelah selesai mengenakan setelan semi formal berwarna biru langit. Tampak manis di tubuhnya. Dia yang sudah nyaman dengan celana plisket dan kemeja, terpaksa kembali ke setelan awal. "Gak usah cemberut, sudah cukup cosplay jadi buruh pabrik. Negosiator ya negosiator aja," seloroh Satria yang tersenyum melihat wajah manyun
"Ini terlalu pendek, Vi.""Haish! Geser ke tempat lain."Livi dan Tina melakukan video call. Sesuai arahan Irfan, Livi diminta untuk membantu Tina memilih outfit yang akan dia pakai untuk bekerja di Harindaya Grup.Berhubung punggung Livi masih sakit, jadi dia tidak bisa mengantar Tina shopping. Akhirnya dia bantu Tina belanja saja melalui video call. "Kenapa sih tidak pakai celana plisket terus pakai kemeja saja," gerutu Tina yang sibuk mengubek gantungan baju.Berbekal bonus dari Arch, Tina bisa belanja baju. Kalau tidak dia mungkin akan pakai pakaian seadanya saja. Nanti setelah gajian baru dia beli baju."Kalau kamu pede, tidak masalah pakai itu. Cuma mix and match-nya harus tepat. Itu tu plisket. Nyaman dipakai. Sama blus itu, bagus. Coba. Beli dulu beberapa yang warnanya netral, nanti bisa dipadu padankan."Livi terus mengarahkan Tina, kebetulan selera mereka hampir sama. Gadis itu masih betah tengkurap. Dia belum berani telentang lama-lama. Tulang ekornya masih sakit."Apa-apa
"Jahat!" Hanya satu kata itu yang bisa Anita ucapkan. Setelah Livi dengan suara lirih, nyaris berbisik menceritakan perbuatan Sandra dan Axel padanya."Dan kamu diam saja?" Anita menuntut jawaban."Nek, aku sudah terlalu sedih tiap kali ingat hal ini. Aku tidak tahu akan jadi apa masa depanku nanti."Pandangan Livi memburam waktu melihat ke arah Arch. Pria tampan yang look-nya kian sempurna dengan kaca mata baca di wajahnya.Livi berkaca-kaca. Ingin sekali menangis, dan terjadi. "Sudah, sudah. Kamu masih muda. Tubuhmu sehat, kamu gadis beruntung. Walau tidak mudah, nenek yakin kamu akan memilikinya nanti."Kalimat Anita terjeda ketika suara Arch masuk ke rungu Livi. "Dia kenapa, Nek?" Ekspresi panik terlihat nyata di wajah Arch.Anita diam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia tahu Livi ingin menyimpan sendiri lukanya."Sakit," rintih Livi."Obatnya kan baru diminum. Tunggu sebentar, nanti akan bereaksi. Atau dikompres saja, bisa kan Nek?""Oh, bisa. Bisa. Nenek ambilkan." Anita berder
Livi sudah bisa membayangkan bagaimana nyeri yang akan dia tanggung, jika menghantam kursi besi itu. Axel sesaat terkejut menyadari apa yang bakal terjadi.Namun semua itu batal berlaku ketika Arch dengan sigap menahan pinggang Livi. Menariknya di waktu yang tepat. Hingga benturan terelakkan."Are you okay?" Suara dalam dan berat Al terdengar lembut, tapi tatapannya menyiratkan ancaman begitu besar untuk Axel, dan Sandra yang langsung mundur panik.Livi cukup terkejut sekaligus lega melihat kedatangan Arch. Tangannya reflek menyentuh dada sang suami. Satu situasi yang membuat hati Axel panas."Sakit," kata Livi tidak bohong. Nyut-nyutan punggungnya, dia benar-benar ingin rebahan."Oke, kita pulang." Putus Arch segera. Ingin dia menangani Sandra tapi keadaan Livi membuatnya agak cemas. Sang dokter telah memberitahunya, kondisi Livi memang baik-baik saja. Namun wanita itu saat ini menanggung nyeri luar biasa.Livi mengangguk manut. Lagi pula dia muak melihat Axel dan Sandra di depannya